Pemberian Remisi Koruptor Melemahkan Semangat Pemberantasan Korupsi

Pemberian remisi umum pada HUT ke-65 RI kepada ratusan koruptor menuai kritik. Karena memberikan diskon masa penahanan kepada pengemplang uang negara, pemerintah dianggap melemahkan semangat pemberantasan korupsi.

''Korupsi itu termasuk kejahatan luar biasa. Jadi, penanganannya juga harus luar biasa,'' ucap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M. Jasin kemarin (18/8) soal pengurangan hukuman bagi para koruptor.

Menurut dia, salah satu alasan KPK dibentuk adalah korupsi masuk kategori kejahatan yang luar biasa. Jadi, salah satu cara menangani itu ialah membentuk lembaga superbodi tersebut.

Menurut Jasin, Peraturan Pemerintrah (PP) No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi. Sebab, dalam PP tersebut diatur bahwa semua narapidana dan terpidana berhak mendapatkan remisi.

Padahal, kata dia, seharusnya pelaku kejahatan korupsi tidak serta merta bisa mendapatkan hak remisi. Alasannya, korupsi tergolong kejahatan luar biasa sehingga pelakunya harus diperlakukan tidak biasa. ''Seharusnya, pemerintah tidak memberikan toleransi kepada para koruptor,'' tegasnya.

Kritik senada dilontarkan Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho. Dia meminta pemerintah tidak sembarangan memberikan remisi kepada tahanan korupsi. Selain korupsi itu kejahatan luar biasa, Emerson menduga pemberian remisi rawan penyimpangan.

Bahkan, sebut dia, pemberian remisi rawan praktik korupsi. Dia mencontohkan, parameter pemberian remisi adalah narapidana berkelakuan baik. ''Kan bisa saja berkelakuan baik di mata petugas penjara atau di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM dalam tanda kutip,'' tuturnya.

Menkum dan HAM Patrialis Akbar menanggapi enteng tudingan itu. Patrialis menegaskan bahwa pemberian remisi umum kepada para narapidana, termasuk ratusan koruptor, sudah melalui mekanisme yang benar. ''Remisi adalah hak bagi setiap orang. Kami wajib memberikan hak itu tanpa perkecualian, termasuk koruptor,'' kata Patrialis saat ditemui di gedung Kemenhum HAM, Jakarta. Dia melanjutkan, pemberian hak tersebut sudah diatur dalam UU.

Sebelumnya, dalam rangka peringatan HUT ke-65 RI, Kemenkum HAM memberikan remisi kepada 58.400 narapidana di seluruh Indonesia. Di antara jumlah tersebut, 341 orang merupakan narapidana koruptor. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aulia Pohan, terpidana korupsi aliran dana BI yang juga besan Presiden SBY, mendapatkan remisi tiga bulan.

''Tidak ada pertimbangan-pertimbangan pribadi dalam pemberian remisi ini,'' tegas Patrialis.

Sementara itu, Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiono mengatakan, jika ada yang tidak berkenan para koruptor mendapatkan remisi, yang harus diubah adalah undang-undang. Selama ini pihaknya hanya melaksanakan amanat undang-undang.

Dia menerangkan, dasar pemberian remisi adalah pasal 14 UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Lantas, itu diatur lebih lanjut dalam Keppres No 14 Tahun 1999 tentang Remisi. ''Jadi, kalau enggak setuju, ubah dulu undang-undangnya,'' katanya saat ditemui di kantornya kemarin.

Bagaimana soal kasus Artalyta Suryani atau Ayin? ''Sampai sekarang belum (menerima remisi). Kami masih mengumpulkan datanya (pelanggaran terkait fasilitas mewah di Rutan Wanita Pondok Bambu),'' jawabnya.

Namun, Untung mengatakan bahwa pelanggaran Ayin sebenarnya tidak terlalu berat. ''Kan dia dapat izin. Jadi, yang salah itu petugasnya. Lain lagi kalau dia menyelundupkan,'' ucapnya.

Selain itu, lanjut Untung, yang dibawa masuk oleh Ayin ke rutan bukan barang-barang berbahaya. Apakah ada kemungkinan Ayin mendapatkan remisi? ''Ini sedang kami kaji,'' tandasnya. (kuh/c4/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 19 Agustus 2010
-----------
“Remisi Lemahkan Pemberantasan Korupsi”
ICW meminta aturan remisi ditinjau.

Komisi Pemberantasan Korupsi menilai pengurangan masa hukuman bagi koruptor oleh pemerintah melemahkan semangat pemberantasan korupsi. Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin menyatakan, upaya keras memberantas korupsi bisa sia-sia karena hukuman tersebut tak memberi efek jera bagi masyarakat. "Kalau koruptor tetap diberi kemudahan, artinya belum zero tolerance. Seharusnya tak ada toleransi terhadap mereka," kata Jasin saat dihubungi kemarin.

Jasin berharap pemerintah mengubah beleid soal remisi bagi koruptor. "Kalau hukuman koruptor diringankan, semangat undang-undang yang memberikan wewenang luar biasa dalam pemberantasan korupsi justru dilemahkan oleh peraturan pemerintah," katanya.

Sejumlah narapidana koruptor memperoleh remisi pada Hari Kemerdekaan Indonesia, Selasa lalu. Dari total 58.234 narapidana yang dikurangi masa hukumannya tahun ini, 330 orang di antaranya adalah terpidana kasus korupsi. Bahkan 11 koruptor langsung bebas setelah masa hukumannya dikurangi.

Pemberian remisi ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Bagi pelaku kejahatan luar biasa, seperti terorisme dan korupsi, pengurangan hukuman bisa diterapkan bila pelaku telah menjalani sepertiga masa hukumannya. Adapun bagi pelaku pidana umum, remisi bisa diberikan bila narapidana telah menjalani masa enam bulan dari hukumannya.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menyatakan, remisi diberikan kepada narapidana yang berhak mendapatkannya. Dia mengaku tak punya pertimbangan selain menjalankan peraturan yang ada. Padahal Kamis pekan lalu, dia berkukuh bahwa teroris dan koruptor tidak mendapat remisi.

Protes keras pun dilayangkan sejumlah pegiat antikorupsi. Kemarin Indonesia Corruption Watch menilai pernyataan Patrialis tidak bisa dipegang. Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho mengatakan, berdasarkan peraturan pemerintah, remisi tidak diberikan bagi narapidana koruptor dan teroris. "Namun, di lapangan, remisi untuk koruptor tetap menggelontor," ujarnya kemarin.

Dia mengakui, remisi memang menjadi hak bagi tahanan. Namun, dalam prakteknya, banyak yang tidak sesuai dengan aturan. "Tinjau kembali peraturan pemerintah soal remisi," ujarnya.

Senada dengan itu, Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah meminta pemerintah tak memberikan remisi kepada narapidana koruptor dan teroris. "Korupsi dan terorisme tergolong kejahatan luar biasa yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan sehingga tidak layak menerima remisi," kata Sekretaris KP2KKN Jawa Tengah, Eko Haryanto, di Semarang kemarin. ANTON SEPTIAN | SANDY INDRA PRATAMA | ROFIUDDIN
 
Sumber: Koran Tempo, 19 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan