Pemberhentian Pejabat Korup

Kesaksian Hamka Yandhu di Pengadilan Tipikor yang mengaku menyerahkan uang dari Bank Indonesia kepada beberapa anggota DPR, memunculkan desakan agar Presiden memberhentikan Paskah Suzetta dan MS Kaban (Kompas, 31/7/2008). Pimpinan parpol yang anak buahnya terseret kasus itu tampak ragu.

Ketua Fraksi PDI-P di DPR Tjahjo Kumolo mengatakan akan menindak tegas anggotanya jika terbukti menerima uang haram itu. Namun, katanya, anggota yang disebut-sebut itu mengaku tak menerima ”langsung” dari Hamka Yandhu. Ketua Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Saifuddin menyatakan akan meminta klarifikasi anggotanya yang disebut-sebut Hamka Yandhu dan akan memberhentikan jika benar menerima uang haram itu. Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla mengatakan takkan melindungi anggotanya dan pasti memberhentikan mereka jika telah dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan.

Jadi, tunggu dulu sampai mereka mengaku, memberi klarifikasi, atau sampai ada putusan pengadilan.

Tak perlu menunggu

Sebenarnya tak salah jika pimpinan partai atau Presiden bersikap menunggu, baik menunggu pengakuan maupun menunggu putusan pengadilan. Menunggu dapat dilihat sebagai sikap kehati-hatian sebelum mengambil tindakan yang mungkin dapat membunuh karier dan masa depan seseorang. Namun, dari segi lain, menunggu bisa menghambat upaya pemberantasan korupsi.

Perlu diingat, dalam hampir semua kasus korupsi tidak ada orang yang mau mengaku. Pengakuan biasanya baru diberikan jika sudah dipepet alat bukti. Maka, di peradilan pidana, pengakuan tak selalu diperlukan sebab yang dipentingkan adalah kebenaran materiil yang didukung alat-alat bukti lain. Artalyta Suryani tetap dihukum dan dinyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan meski sampai akhir persidangan bersikeras tidak mau mengaku telah menyuap.

Juga untuk mengambil tindakan atas jabatan, tak harus menunggu putusan pengadilan. Proses peradilan bisa berlangsung lama, padahal secara moral mereka yang masih menjabat tidak kredibel untuk terus menjabat. Jika menunggu putusan pengadilan, proses hukum mungkin belum selesai hingga masa jabatan orang itu berakhir.

Apalagi dengan kedudukannya, seorang pejabat dapat melakukan aneka langkah, termasuk membeli kasus melalui judicial corruption, agar proses hukum tak selesai-selesai, bahkan tak cukup bukti untuk diajukan ke pengadilan. Dalam kasus ”Ayin-Urip Tri Gunawan” yang telah divonis Pengadilan Tipikor, di Indonesia koruptor bisa membeli kasus kepada penegak hukum.

Karena itu, untuk menindak pejabat yang ”menurut logika umum” sudah cacat dan korup tak perlu menunggu ”pengakuan” atau ”putusan pengadilan.”

Landasan etik

Tindakan dapat segera diambil dengan menggunakan logika umum (common sense) berdasarkan etika dan moral. Terhadap pejabat yang sudah diindikasi korup secara terbuka—sementara yang bersangkutan tidak dapat memberikan alibi yang masuk akal untuk membalik logika yang dipercaya umum—dapat dijatuhi tindakan administratif tanpa harus menunggu vonis pengadilan.

Maka, sejak tahun 2001, MPR memberi dua ketetapan, Tap No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Tap No VIII/MPR/2001 tentang Arah dan Rekomendasi Pemberantasan KKN.

Tap No VI/MPR/2001 mengatur, pejabat publik yang terlibat kasus hukum, membuat kebijakan yang meresahkan atau mendapat sorotan publik, harus mau mengundurkan diri (dan dapat dimundurkan) tanpa harus dibuktikan lebih dulu di pengadilan. Tap MPR No VIII/2001 menegaskan, pejabat yang terlibat kasus hukum dapat dibebaskan dari jabatannya meski belum diputus pengadilan. Ini memang terkait fatsun politik dan etika kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya formalitas kepastian hukum.

Instrumen hukum ini dibuat berdasarkan pengalaman tentang banyaknya pejabat korup yang tak pernah mau mengaku saat kasusnya mulai diungkap, bahkan ikut bermain melalui judicial corruption, agar kasusnya tidak masuk ke pengadilan.

Ketentuan itu sama sekali tidak melanggar hukum, HAM, atau asas praduga tak bersalah yang berlaku umum. Ia merupakan ”tindakan administratif” yang berlaku khusus bagi pejabat publik yang bermasalah dengan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang bersangkutan dapat segera mundur atau dimundurkan, sementara proses hukumnya terus berjalan.

Karena itu, bagi pejabat yang kini disebut-sebut menerima uang haram dari BI, yang menurut logika umum benar adanya, harus tahu diri untuk segera meninggalkan jabatannya. Demi kredibilitas institusi, pimpinan mereka pun perlu menindak mereka berdasarkan Tap MPR No VI dan VIII Tahun 2001.

MOH MAHFUD MD Hakim Konstitusi

Tulisan ini disalin dari Kompas, 11 Agustus 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan