Pemberhentian KPK; Ketentuan Langgar Praduga Tak Bersalah

Ahli pidana dari Universitas Indonesia, Rudi Satria, dan mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan, Pasal 32 Ayat 1 Huruf c Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi —yang mengatur berhentinya pimpinan KPK ketika menjadi terdakwa—melanggar asas praduga tak bersalah.

PEMBERHENTIAN KPK
Ketentuan Langgar Praduga Tak Bersalah

Kamis, 5 November 2009 | 03:16 WIB

Jakarta, kompas - Ahli pidana dari Universitas Indonesia, Rudi Satria, dan mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan, Pasal 32 Ayat 1 Huruf c Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi —yang mengatur berhentinya pimpinan KPK ketika menjadi terdakwa—melanggar asas praduga tak bersalah.

Ketentuan tersebut juga dinilai diskriminatif mengingat pejabat lain baru diberhentikan secara tetap jika terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Demikian terungkap dalam persidangan uji materi UU KPK yang diajukan dua pimpinan KPK nonaktif, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, Rabu (4/11). Agenda sidang mendengarkan keterangan ahli pemohon dan pemerintah. Hadir Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, pemohon prinsipil Chandra dan Bibit, serta pihak terkait dari KPK diwakili Khaidir Ramly.

Dalam kesaksiannya, Rudi Satrio membandingkan ketentuan UU dengan UU lain. Misalnya, UU Mahkamah Agung, UU Mahkamah Konstitusi (MK), UU Badan Pemeriksa Keuangan, UU Hak Asasi Manusia, UU Pemerintah Daerah, dan UU Penyiaran yang menyebutkan anggota dan pimpinan lembaga-lembaga yang dimaksud baru berhenti tetap setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

”Memang istilah yang digunakan berbeda-beda. Ada yang berhenti secara tidak hormat, berhenti antarwaktu, tapi semuanya menyatakan sanksi baru dijatuhkan setelah ada putusan pengadilan yang inkracht,” kata Rudi.

Padahal, ujar Rudi, setiap orang berhak dianggap tidak bersalah sampai ada persidangan dan putusan pengadilan. Jadi, sampai ada putusan tersebut, sanksi atau hukuman tidak boleh dijatuhkan sampai ada putusan pengadilan, termasuk pemberhentian dari jabatan.

Abdul Hakim Garuda Nusantara menambahkan, tiap orang yang didakwa tidak bisa diasumsikan telah bersalah kemudian dihukum. Asas ini merupakan perisai terhadap pejabat negara dan publik.

Ia menambahkan, asas praduga tak bersalah dan persamaan di depan hukum merupakan bagian dari hak asasi yang tidak dapat dikurangi. Selain itu, tambahnya, ketentuan Pasal 32 Ayat 1 huruf c tersebut membuka peluang bagi eksekutif (presiden) dan DPR untuk mencampuri urusan yustisial. Hal ini menyebabkan instabilitas penegakan hukum, terutama dalam hal pemberantasan korupsi.

Terkait dengan hal itu, Menhuk dan HAM Patrialis Akbar menyatakan, ketentuan khusus untuk pimpinan KPK (harus berhenti ketika menjadi terdakwa) harus dikaitkan dengan latar belakang dibentuknya UU KPK. UU itu diterbitkan karena tindak pidana korupsi yang luar biasa sehingga perlu membentuk badan yang luar biasa.

”Orang-orang di situ (KPK) diharapkan orang-orang yang luar biasa juga. Seperti yang dikemukakan hakim Arsyad Sanusi, pimpinan KPK haruslah bagai malaikat. Itu betul-betul keinginan kita. Soal asas praduga tak bersalah, hal tersebut sudah dipikirkan betul,” ujar Patrialis.

Sidang rencananya akan dilanjutkan dengan penyerahan kesimpulan dari tiap-tiap pihak pada 11 November. Kemarin tidak ada lagi barang bukti yang diserahkan kepada MK. (ANA)

Sumber: Kompas, 5 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan