Pemberdayaan Guru Mutlak Diperlukan, Untuk Mengurangi KKN di Bidang Perbukuan

Upaya memberantas KKN perbukuan sebetulnya tidak perlu vakum hanya lantaran regulasinya belum terbit. Dengan memberdayakan guru-guru dalam memilih buku ajar pokok yang materinya sesuai kurikulum misalnya, sebetulnya itu sudah mampu mengurangi peluang terjadinya jual beli buku di sekolah yang selama ini memberatkan orangtua siswa.

Ini juga sejalan dengan nilai- nilai profesionalisme guru itu sendiri, di samping menegakkan prinsip manajemen berbasis sekolah, ujar CH Suprapto, Direktur Taman Kanak-kanak/ Sekolah Dasar Depdiknas ketika dihubungi saat ia berada di Malang, Kamis (16/6).

Suprapto dimintai pendapat sehubungan belum terbitnya regulasi perbukuan, sementara tahun ajaran baru 2005/2006 sudah dimulai pertengahan Juli (Kompas, 16/6).

Menurut Suprapto, pihaknya pun selama ini prihatin dengan munculnya keluhan para orangtua siswa pada saat-saat tahun ajaran baru. Selalu muncul masalah klasik di mana pergantian tahun ajaran selalu diidentikkan dengan pergantian buku pelajaran. Padahal, buku-buku tahun ajaran terdahulu pun sebetulnya masih relevan dipergunakan pada tahun berjalan.

Di sinilah perlunya guru diberdayakan untuk memilih buku pelajaran tanpa terpengaruh oleh petunjuk kepala sekolah, ujarnya.

Diungkapkan bahwa Depdiknas sebetulnya sudah membuat petunjuk teknis dalam pengadaan buku pelajaran sekolah, terutama berkait dengan block grant yang disalurkan langsung ke sekolah. Intinya, pemilihan buku pelajaran melibatkan guru dan komite sekolah. Namun, kata Suprapto, dengan berbagai alasan dan penafsiran, selalu saja muncul pelanggaran yang diduga kuat akibat intervensi kepala sekolah dan birokrasi pendidikan.

Dalam hal pemilihan buku ajar pokok, Suprapto mengimbau agar guru-guru SD tetap mengacu pada buku-buku pelajaran yang sudah distandardisasi oleh Depdiknas. Sejak tahun 2003, sudah ada empat mata pelajaran untuk SD yang sudah distandardisasi, yakni Matematika, Bahasa Indonesia, Sains, dan Pengetahuan Sosial.

Agar tidak selalu membuat orangtua siswa harus membeli buku baru, buku-buku tahun terdahulu pun masih bisa digunakan jika dianggap relevan dengan buku-buku yang sudah distandardisasi. Jangan mudah terpengaruh untuk mewajibkan siswa membeli buku baru hanya karena adanya petunjuk dari kepala sekolah, katanya.

Terhadap siswa yang tidak mampu membeli buku ajar yang baru, Suprapto mengimbau guru dan kepala sekolah menghidupkan perpustakaan sekolah sebagai solusinya. Caranya, sekolah diarahkan membeli buku-buku yang tidak terjangkau daya belinya oleh semua orangtua siswa. Cara ini bisa efektif mengurangi pemaksaan setiap untuk membeli buku tertentu.

Iming-iming
Joko Subandrio-guru SD Kembangan 5 (pagi) Jakarta Barat-mengakui, selama ini otoritas guru dalam memilih buku pelajaran acap kali sulit ditegakkan karena kuatnya petunjuk dari kepala sekolah. Karena sudah telanjur terikat kontrak bisnis dan iming-iming dari penerbit tertentu, kepala sekolah telah mematok judul buku dan penerbitnya.

Menyanggah kepala sekolah bisa-bisa guru dianggap mbalelo. Apalagi kalau kepala sekolah sudah membawa-bawa pengaruh birokrasi dinas pendidikan, ujar Joko. Menurut Joko, ia dipindahkan dari sebuah SD di kawasan Joglo, Jakarta Barat, ke SD Kembangan 5, gara-gara dianggap menolak petunjuk kepala sekolah dalam memilih buku pelajaran.

Berdasarkan kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang Desentralisasi Bisnis Buku Pelajaran, pelimpahan kewenangan bidang pendidikan-termasuk perbukuan-dari pemerintah pusat cenderung menempatkan bupati/wali kota dan kepala dinas pendidikan menyalahgunakan kewenangan. Apalagi selama ini belum ada mekanisme ataupun regulasi yang kuat untuk mengontrol pengadaan dan kualitas buku pelajaran di daerah.(NAR)

Sumber: Kompas, 17 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan