Pemberantasan Penebangan Liar Dipercepat

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan instruksi presiden (inpres) terkait penanganan penebangan liar (illegal logging). Dalam inpres tersebut Presiden meminta 18 instansi melakukan percepatan pemberantasan illegal logging di seluruh wilayah Indonesia.

Inpres tersebut baru keluar tiga hari lalu dan ditandatangani pada 18 Maret 2005, kata Menteri Kehutanan (Menhut) MS Ka'ban usai menandatangani nota kesepahaman Dephut dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Jakarta, kemarin.

Dalam Inpres No 4/2005 itu disebutkan, jajaran kementerian Polhukam, Kehutanan, Keuangan, Dalam Negeri, Perhubungan, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Luar Negeri, Pertahanan, Perindustrian, Perdagangan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Lingkungan Hidup, Jaksa Agung, Polri, TNI, Badan Intelijen Negara, gubernur, serta bupati/wali kota diminta melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal dan menindak tegas serta memberikan sanksi terhadap oknum petugas yang terlibat.

Dengan keluarnya inpres tersebut, maka Inpres No 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putin dinyatakan tidak berlaku.

Menhut menyatakan, inpres tersebut akan memudahkan koordinasi antarinstansi di pemerintah yang terkait dengan persoalan illegal logging. Presiden menganggap semua pihak terkait. Jadi, tidak ada lagi kebijakan yang saling bertentangan.

Ia memberi contoh mengenai izin pemanfaatan kayu masyarakat adat (IPKMA) yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua, justru menjadi kedok praktik penebangan liar. IPKMA merusak hutan di provinsi itu karena tidak menggunakan sistem silviculture yang benar sehingga tidak ada unsur perbaikan hutan.

Menurut dia, IPKMA itu tidak sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang (UU) No 41/1999 tentang Kehutanan dan PP No 34/2002 tentang Tata Pemanfaatan Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan. Jadi, penerbitan IPKMA tidak memiliki dasar hukum yang kuat, tegasnya.

Selama ini, Pemprov Papua selalu berdalih penerbitan IPKMA menggunakan dasar hukum UU 21/2003 tentang Otonomi Khusus Papua. Padahal, dalam UU itu tidak ada pasal yang tegas mengizinkan pemberian wewenang kepada gubernur atau pejabat daerah lain untuk menerbitkan IPKMA.

Karena itu, dalam Inpres No 4/2005 Presiden meminta para gubernur mencabut dan merevisi keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundangan di bidang kehutanan, papar dia.

Inpres tersebut dikeluarkan sebagai bagian dari keinginan pemerintah untuk menekan laju kerusakan hutan yang mencapai 2,8 juta hektare per tahun. Kerugian negara yang timbul akibat tidak adanya setoran dana reboisasi (DR) dan provisi sumber daya alam (PSDA) mencapai lebih dari Rp30 triliun per tahun.

Dijerat UU berlapis
Dalam kesempatan penandatanganan nota kesepahaman antara Dephut dan PPATK tersebut Ka'ban mengungkapkan, pihaknya yakin sekitar 85% kasus illegal logging bisa terselesaikan jika pelakunya dijerat dengan UU yang berlapis. UU berlapis yang dimaksud misalnya UU Korupsi, UU Perpajakan, UU Pencucian Uang, dan UU Pelanggaran Konservasi Hutan.

Apabila cukong-cukong kayu ilegal ini dapat ditangkap dan dijerat dengan UU yang berlaku, bisa diharapkan 85% kasus illegal logging bisa tercapai, ujarnya.

Karena itu, tambahnya, pihaknya mengadakan kerja sama dengan PPATK untuk menelusuri aliran dana dari rekening milik cukong kayu yang dicurigai.

Pada kesempatan lain, Ka'ban mengungkapkan, Presiden Yudhoyono akan mengeluarkan keputusan presiden mengenai percepatan pelelangan kayu hasil illegal logging. Hingga saat ini, ada sekitar 600 ribu meter kubik kayu ilegal yang belum dilelang.

Ia mengungkapkan, di antara kayu-kayu sitaan itu ada yang sudah menunggu untuk dilelang sejak setahun lalu. Hal ini akan memengaruhi kualitas kayu sitaan itu. Kayu hasil praktik illegal logging sebanyak 600 ribu m3 itu tersebar di Provinsi Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Riau. Kayu-kayu itu nilainya diperkirakan Rp320 miliar. (EC/E-1)

Sumber: Media Indonesia, 29 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan