Pemberantasan Mafia Kehutanan Jangan Sekedar Basa-Basi

Pernyataan Pers Bersama Koalisi Anti Mafia Kehutanan
PEMBERANTASAN MAFIA KEHUTANAN JANGAN SEKEDAR BASA-BASI 
- Harus ada upaya extra ordinary untuk melawan Mafia Kehutanan -
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hari Selasa (6/4) lalu meminta Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk mengurangi bahkan menghentikannya adanya mafia dalam kasus penanganan illegal logging  atau pembalakan liar yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Menurut Presiden, pemberantasan mafia kasus illegal logging sangat penting selain untuk penegakan hukum juga untuk melestarikan hutan dan lingkungan hidup di seluruh wilayah Indonesia. Pernyataan Presiden SBY pada satu sisi merupakan langkah positif untuk menuntaskan mafia kehutanan yang menyebabkan kerusakan hutan dan merugikan rakyat Indonesia.
 
Hasil riset yang dilakukan oleh Human Rights Watch pada tahun 2009 menemukan praktek korupsi dan mafia yang terjadi dalam sektor kehutanan di Indonesia menyebabkan kerugian negara sebesar 2 milyar dolar Amerika (atau kurang lebih Rp 20 Triliun) setiap tahunnya. Jumlah sebesar 2 milyar dolar yang hilang setiap tahun itu sama dengan gabungan seluruh alokasi anggaran untuk kesehatan nasional, provinsi dan kebupaten. Nilai kehilangan tahunan ini juga cukup untuk memberikan layanan dasar kepada 100 juta penduduk miskin selama hampir dua tahun. Kondisi ini sangat menyedihkan dan ironis dimana banyak daerah terpencil yang merupakan sumber pemasukan negara dari hasil kehutanan justru memiliki layanan dasar kesehatan yang paling buruk. Masyarakat yang tinggal di pinggir hutan - yang tengah dirusak untuk mempertebal kantung oknum pejabat - justru harus menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk mendapat perawatan dokter.
 
Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki wilayah hutan terbesar di dunia, tetapi sekaligus merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat penggundulan hutan yang juga tertinggi. Indonesia dilaporkan meraup 6,6 milyar dolar Amerika dari ekspor sektor kehutanannya yang sangat menguntungkan. Dengan nilai ekspor yang sedemikian besar, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Brasil dan lebih besar dari pada gabungan ekspor negara-negara di Afrika dan Amerika Tengah.
 
Namun mereka yang mendapat keuntungan terbanyak dari pembalakan liar serta korupsi yang menyertainya sangat jarang diminta pertanggungjawabannya. Sebagian hal ini disebaban oleh perilaku korupsi yang terjadi dalam tubuh penegak hukum dan peradilan. Uang suap diberikan kepada polisi untuk memanipulasi barang bukti atau bahkan menjual kembali kayu hasil sitaan kepada pembalak liar. Suap juga diberikan kepada jaksa untuk memanipulasi tuduhan (kadang-kadang sengaja menggunakan pasal yang memiliki pembuktian yang lemah), dan kepada hakim untuk putusan yang menguntungkan. Uang suap yang diberikan kepada oknum pejabat utuk meloloskan pembalakan liar atau melanggar surat izin merupakan insentif yang sangat menggoda untuk menelantarkan pencatatan data yang akurat atau kegagalan membuat laporan terjadwal kepada kementerian pusat.

***
Namun pada sisi yang lain muncul kekhawatiran pernyataan SBY soal pemberantasan mafia kehutanan tersebut hanya wacana, karena maraknya praktek illegal logging dan mafia hutan juga terjadi pada era pemerintahan SBY. Kekhawatiran lain juga muncul karena sebelumnya pemerintah pernah membuka wacana asas pembuktian terbalik dan hukuman mati bagi koruptor yang hingga saat ini belum direalisasikan. Pada bagian lain, amanat presiden juga menambah beban baru bagi Satgas Mafia Hukum. Belum tuntas dengan mafia hukum dan mafia pajak, Satgas sudah dibebani dengan penanganan mafia kehutanan dan mafia pertambangan. 
 
Seungguhnya dalam rangka melawan praktek illegal logging di Indonesia, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Illegal logging di seluruh Indonesia. Inpres ini ditujukan kepada beberapa menteri, pejabat tinggi setingkat menteri, para gubernur dan para bupati/walikota. Inpres tersebut memerintahkan kepada para pejabat terkait untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan  kegiatan illegal logging.
 
Secara khusus pula Inpres No. 4 Tahun 2005 memerintahkan kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan penebang kayu secara ilegal, melakukan tuntutan yang tegas  dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara illegal dan peredarannya pada setiap tahap penanganan baik pada tahap peniyidikan, tahap penuntutan maupun tahap eksekusi.
 
Sejauh ini, Pemerintah sudah melakukan 5 (lima) kebijakan operasi pemberantasan illegal logging yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia seperti Wana Jaya, Wana Laga, Wana Bahari, Operasi Hutan Lestari I,II dan III. Sayangnya proses penegakan hukum yang dilakukan pemerintah dan aparat penegak hukum tersebut umumnya hanya berhasil menjerat pelaku ditingkat lapangan. Beberapa kasus yang melibatkan aktor utama seringkali dihentikan penyidikanya dan sedikit yang berhasil dilimpahkan ke pengadilan.
 
Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama empat tahun terakhir (2005-2008) dari 205 orang pelaku illegal logging hanya yang telah diadili di pengadilan hanya 40 orang (19,51 %) yang tergolong pelaku utama seperti Direktur, Manajer, Komisari Utama, Pemilik Sawmill, Cukong, Penegak Hukum, Pejabat Dinas Kehutanan, Kontraktor, Warga Negara Asing. Dari jumlah tersebut sedikitnya 33 pelaku kakap divonis bebas. Selebihnya 165 orang ( 80,48 %)  adalah pelaku kelas teri seperti operator, supir truk, dan petani.  Dari semua yang diproses sedikitnya terdapat 137 orang (66,8%) yang telah dibebaskan oleh sejumlah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di Indonesia. Selebihnya, 44 orang (21,4 %) divonis dibawah 1 tahun penjara dan 14 orang (6,8 %) yang divonis antara 1 sampai 2 tahun penjara. Hanya sepuluh orang (4,8 %) yang divonis diatas 2 tahun penjara.
 
Banyaknya perkara illegal logging yang dibebaskan pengadilan setidaknya menunjukkan bahwa upaya pemberantasan praktek illegal logging yang dilakukan oleh pemerintah kenyataannya tidak mendapatkan dukungan yang maksimal dari pihak yudikatif dalam hal ini pengadilan. Jika pemerintah dinilai giat dalam memberantas praktek illegal logging, pihak pengadilan justru giat dalam membebaskan pelaku illegal logging.
 
Pada sisi lain persoalan di sektor kehutanan tidak saja soal penebangan liar karena di Indonesia kerusakan hutan justru dilakukan oleh banyak industri kehutanan yang legal atau usahanya memiliki izin. Banyak kebocoran dalam pengelolaan sumber daya kehutanan di Indonesia tidak hanya disebabkan ketidak seriusan pemerintah dalam menindak tegas pelaku kejahatan, tapi juga sifat permisif bahkan cenderung mendukung dalam kegiatan eksploitasi destruktif yang nyata-nyata telah melanggar hukum. Jelas sekali dibalik ketidak berdayaan hukum, maka disanalah mafia kehutanan yang telah merugikan negara hingga puluhan trilyun rupiah per tahun bercokol.
 
WALHI memetakan 3 (tiga) akar persoalan yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia. Pertama, pengelolaan kekayaan hutan selama ini ditujukan untuk melayani kepentingan investasi dan mengabaikan fungsi-fungsi kawasan hutan sebagai tumpuan keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Kedua, muncul berbagai konflik pengelolaan hutan, di mana rakyat semakin dihilangkan akses dan kontrol terhadap ruang hidupnya. Ketiga, terkait besarnya kapasitas produksi industri kehutanan yang terus beranjak naik setiap tahunnya (Khalisah Khalid: 2010). Ketiga akar persoalan inilah yang juga harus dijawab oleh pemerintah sebagai upaya menyeluruh melawan mafia kehutanan.
 
Laporan Koalisi Mafia Kehutanan menyatakan ketiga unsur tersebut terjadi dalam berbagai modus hingga menyebabkan kerugian negara sebesar 6,6 trilyun rupiah. Hampir semuanya menyebutkan keterlibatan aktor mafia kehutanan terdiri dari pejabat dilingkungan Kementrian Kehutanan, Kepala atau pejabat Dinas Kehutanan ditingkat provinsi/kabupaten, anggota dewan, musyarawarah pimpinan daerah, pengusaha, serta aparat penegak hukum dan militer yang berperan sebagai pelindung (backing). Dengan modus yang pula beragam, mulai dari jual beli izin, pungutan liar, surat administrasi kayu palsu, baik dalam pengangkutan kayu illegal baik di darat maupun laut/sungai serta penggunakan jasa keamanan dan transportasi.  
 
Hal ini juga dikuatkan dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI) pada semester II tahun 2008 secara selektif terhadap beberapa perusahaan di 4 propinsi di Indonesia yaitu Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Setidaknya 705 milyar rupiah potensi kerugian negara yang terungkap dari audit manajemen hutan oleh BPK-RI tidak hanya disebabkan oleh perbuatan illegal tetapi justru dengan dukungan pejabat dan aparat baik itu melalui penerbitan izin, kelalaian administrasi, bahkan penggelapan (Lihat Lampiran I).
 
Salah satu sebab kegagalan upaya penegakan hukum dalam kasus mafia kehutanan adalah karena pemerintah menggunakan cara-cara biasa dalam menjerat pelaku kejahatan kehutanan. Dalam hal ini pemerintah hanya menjerat pelaku mafia kehutanan dengan UU Kehutanan yang terbukti memiliki kelemahan dan terbukti banyak pelaku yang lolos. Padahal pelaku kejahatan kehutanan dapat dijerat dengan UU Antikorupsi dan Pencucian Uang, sebagaimana konstruksi hukum yang digunakan pada kasus Adelin Lis. Tidak heran, selama masalah-masalah penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan kehutanan tersebut belum diselesaikan, pernyataan presiden justru menimbulkan pertanyaan besar bagi publik. Apakah presiden SBY benar-benar serius mendukung pemberantasan mafia kehutanan?
 
Koalisi Anti Mafia Kehutanan tentu saja sangat berharap bahwa apa yang dinyatakan presiden bukan hanya sekedar wacana, tetapi juga mengandung komitmen keseriusan untuk berperan dalam pemberantasan mafia kehutanan secara nyata. Untuk mendorong upaya pemberantasan mafia kehutanan dengan cara extra ordinary maka kami meminta Presiden RI:

  1. menerapkan kebijakan penghentian penebangan hutan sementara (moratorium) sebagai cara menanggulangi dampak perubahan iklim akibat penggundulan hutan. Moratorium ini penting guna menyelamatkan hutan Indonesia yang tinggal sedikit dan memperbaiki segala peraturan yang tumpang tindih dan bertolak belakang dengan komitmen pemerintah sebelum seluruh hutan Indonesia habis.
  2. membatalkan sejumlah kebijakan atau regulasi yang dinilai justru menyebabkan meluasnya praktek perusakan dan pembabatan hutan di Indonesia.  Beberapa contoh dalam kasus ini adalah izin yang diberikan oleh Kementrian Kehutanan terhadap sejumlah perusahaan di Riau tanpa melalui proses verifikasi yang dipersyaratkan dalam aturannya. Serta menerbitkan izin hutan kemasyarakatan (HKm) seluas 12.000 hektar dalam hutan lindung di Kabupaten Tanggamus, Lampung. 
  3. mendorong upaya penegakan hukum terhadap praktek mafia kehutanan dengan cara memerintahkan kepada institusi penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan):
    1. membuka kembali kasus illegal logging atau kejahatan kehutanan yang dihentikan oleh aparat penegak hukum atau terindikasi melibatkan mafia kehutanan. Salah satu bukti bahwa pemerintah berkomitmen penuh menghentikan mafia kehutanan adalah dengan membuka kembali kasus penghentian (SP3) terhadap 13 perusahaan yang diduga telah melakukan kejahatan kehutanan di Provinsi Riau.
    2. segera menyelidiki indikasi mafia kehutanan yang sebagaimana telah dilaporkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dalam hasil auditnya pada tahun 2008. Kemudian meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk segera melakukan identifikasi atas profil-profil yang tercantum dalam laporan audit tersebut.
    3. untuk menjerat pelaku kejahatan kehutanan tidak saja dengan Undang-Undang Kehutanan namun juga dengan dalam Undang-Undang Tipikor dan Pencucian Uang. Presiden SBY harus mendeklarasikan perang melawan mafia kehutanan dan menjeratnya secara berlapis (dengan menggunakan UU Kehutanan, UU Tipikor, dan UU Pencucian Uang) untuk menghindari pelaku lolos dari proses hukum.  

Jakarta, 21 April 2010
Koalisi Anti Mafia Kehutanan
----------------------
untuk mengunduh file lengkap termasuk lampiran silahkan klik di sini

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan