Pemberantasan Korupsi Terancam; Anggota DPR Minta KPK Tak Lakukan Apa-apa

Pemberantasan korupsi menghadapi ancaman. Ini terlihat setelah sejumlah anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat mempertanyakan keabsahan keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi setelah Antasari Azhar diberhentikan sementara oleh Presiden.

Antasari adalah Ketua KPK. Ia diberhentikan sementara oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis (7/5), karena menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen di Tangerang, Banten, 14 Maret.

Tak lakukan penyidikan
Bahkan, dalam rapat dengar pendapat di Gedung DPR, Jakarta, Kamis, sejumlah anggota Komisi III DPR meminta KPK tidak melakukan penyidikan dan penuntutan selama anggota komisi itu belum kembali berjumlah lima orang. Rapat Komisi III DPR dengan KPK itu digelar untuk menyikapi status tersangka dan penahanan Antasari.

Sejak rapat yang dipimpin Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan itu dibuka sekitar pukul 10.00, empat unsur pimpinan KPK yang hadir, Chandra Hamzah, Bibit Samad Rianto, Haryono Umar, dan M Jasin langsung ditanya kondisi KPK setelah kasus yang dihadapi Antasari.

Chandra menjelaskan, masalah itu tidak mengganggu kinerja KPK karena kepemimpinan komisi itu bersifat kolektif. Wakil ketua KPK secara bergilir juga akan menjadi Pelaksana Harian (Plh) Ketua KPK. ”Untuk minggu ini, saya yang menjabat. Minggu depan, giliran M Jasin,” kata Chandra.

Bibit menambahkan, keputusan pembuatan Plh Ketua KPK diambil dalam rapat pimpinan KPK yang dihadiri lima unsur pimpinan KPK, termasuk Antasari Azhar, di rumah Antasari di Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, 1 Mei 2009. ”Saat itu beliau (Antasari) menyerahkan kewenangan yang dimilikinya kepada empat wakil pimpinan karena ingin berkonsentrasi dengan kasusnya,” papar Bibit.

Keputusan itu diambil, lanjut Bibit, karena KPK tetap harus berjalan meski satu unsur pimpinannya tidak ada. Sebelumnya, saat Antasari tidak ada di kantor, KPK juga tetap bekerja dan mengambil keputusan. Misalnya, ketika Antasari ke luar negeri pada 22-26 Juli 2008, 2-8 Desember 2008, dan 17-21 Desember 2008.

Namun, Lukman Hakim Saifuddin dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mempertanyakan keabsahan pimpinan KPK yang berjumlah empat orang. Pasal 21 Ayat 1 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, pimpinan komisi itu lima orang. ”Kami ingin persepsi ini disamakan dahulu. Untuk itu, apa pimpinan KPK tidak mengambil keputusan dahulu yang prinsipiil untuk mencegah munculnya masalah hukum?” tanyanya.

Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional, Azlaini Agus, menambahkan, putusan yang diambil keempat unsur pimpinan KPK dapat dipertanyakan keabsahannya karena tidak diambil secara kolektif. Pasal 21 Ayat 2 UU KPK menyatakan, pimpinan KPK bekerja secara kolektif. ”Jika empat orang yang mengambil putusan, apakah bisa disebut tak kolektif,” katanya.

Azlaini juga meminta pimpinan menertibkan pengunjung rapat yang duduk di balkon, antara lain wartawan dan pegawai KPK, sebab mereka beberapa kali meneriakkan ”hu...”. Mereka menilai usul anggota DPR itu mendiskreditkan dan mengecilkan KPK.

Meski muncul sejumlah cemooh, Nursyahbani Katjasungkana dari Fraksi Kebangkitan Bangsa menyarankan, selama pimpinan KPK belum genap lima orang, tak perlu diambil putusan strategis, seperti melakukan penuntutan dan penyidikan. Untuk kegiatan lain, seperti sosialisasi dan urusan internal, tetap berjalan.

Kosong delapan bulan

Menanggapi usulan itu, Jasin menyatakan, jika KPK baru dapat bekerja setelah pimpinannya lengkap, komisi itu dapat kosong dari upaya penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi selama delapan bulan. Pimpinan KPK baru akan diberhentikan tetap jika tidak aktif selama tiga bulan berturut-turut atau menjadi terdakwa. Proses pemilihan pengganti pimpinan KPK butuh waktu sekitar lima bulan.

Secara terpisah, mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki menilai, usulan anggota Komisi III DPR itu berlebihan. ”Kewenangan penyidikan dan penuntutan itu ada di tangan penyidik dan penuntut umum di KPK. Pimpinan KPK, sesuai dengan UU, memang memiliki kewenangan itu. Bukan bergantung pada Ketua KPK,” katanya.

Ruki, yang juga penyusun Rancangan Undang-Undang KPK, menambahkan, kepemimpinan KPK bersifat kolegial. Jika berhalangan tetap, seorang komisioner dapat diganti tanpa harus menghentikan kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi.

Sekitar pukul 16.00, rapat diskors. Saat dibuka kembali pukul 19.30, langsung disusun kesimpulan sementara yang isinya Komisi III DPR meminta pimpinan KPK melaksanakan tugas dan fungsinya seperti biasa. Namun, KPK diminta memerhatikan UU No 30/2002, khususnya Pasal 21 Ayat 1 dan 2.

Melihat kesimpulan itu, Bibit mengatakan, KPK tetap akan bekerja seperti biasa, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan. ”Keputusan yang diambil pimpinan KPK tetap mempunyai legitimasi. Jika ada yang mengajukan praperadilan, akan kami hadapi,” paparnya.

Zainal Arifin Mochtar, pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, menilai, logika berpikir sejumlah anggota Komisi III DPR bahwa bekerja kolektif di KPK harus dimaknai hadirnya lima unsur pimpinan adalah tidak berdasar. Sebab, ada Pasal 32 UU No 30/2002 yang mengatur pemberhentian sementara.

”Kolektif tak berarti keputusan di KPK harus selalu diambil lima pimpinan bersama-sama. Apalagi kebijakan putusan itu diambil empat orang adalah kesepakatan lima pimpinan,” papar Zainal.

Jika Dewan ngotot pada pendiriannya, ujar Zainal, berarti mereka membuat kesalahan karena tidak mengantisipasi keadaan seperti sekarang. DPR yang membuat UU KPK. (nwo/tra)

Sumber: Kompas, 8 Mei 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan