Pemberantasan Korupsi; Kinerja Aparat Hukum Semakin Buruk

Masyarakat menilai, kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi kian buruk. Masyarakat juga menilai, integritas lembaga penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan Agung, maupun pengadilan, masih buruk atau negatif. Namun, masyarakat menilai, integritas Komisi Pemberantasan Korupsi baik atau positif.

Hal itu terungkap dalam hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang disampaikan Direktur Public Affairs LSI Burhanuddin Muhtadi di Jakarta, Minggu (7/11). Hadir sebagai pembicara dalam acara itu sosiolog Universitas Indonesia Kastorius Sinaga, calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto, dan pengamat hukum Refly Harun.

Burhanuddin menjelaskan, sampai akhir 2009, kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi sangat tinggi, yaitu mencapai angka 83,7 persen. ”Namun, sejak Januari atau 10 bulan terakhir, ada tren penurunan kinerja pemerintah yang tajam. Angka kinerja pemerintah turun sampai 34 persen,” katanya.

Penurunan kinerja itu, lanjut Burhanuddin, antara lain dipengaruhi oleh kinerja aparat penegak hukum dalam menangani beberapa kasus, seperti Bank Century, kasus cicak dan buaya, atau kasus mafia hukum.

Selain itu, menurut Burhanuddin, penilaian masyarakat terhadap integritas lembaga penegak hukum juga buruk atau minus. Lembaga penegak hukum, khususnya Polri, Kejagung, dan pengadilan, dinilai buruk atau minus. ”Publik masih menilai positif atau baik lembaga KPK,” katanya.

Sebagai gambaran, lanjut Burhanuddin, penilaian publik terhadap integritas Polri minus 18,3, Kejagung minus 17,6, dan pengadilan minus 15. Penilaian publik terhadap integritas KPK plus 15. Nilai minus 100 sampai minus 1 dikategorikan buruk dan nilai 1 sampai 100 dikategorikan baik.

Terkait hasil survei itu, lanjutnya, masyarakat juga menilai, hukuman terhadap koruptor sejauh ini tidak adil. ”Rakyat umumnya menginginkan koruptor dihukum seberat-beratnya, setidaknya dihukum seumur hidup, untuk menciptakan efek jera,” kata Burhanuddin.

Menurut Kastorius Sinaga, penilaian yang buruk terhadap integritas lembaga penegak hukum sebenarnya tidak asing lagi. Lembaga survei lain, seperti Transparency International, juga pernah menilai tingkat korupsi di Indonesia. KPK baru-baru ini juga menyampaikan hasil survei terhadap kinerja dan integritas lembaga-lembaga pemerintah.

Transparansi penyidikan
Menurut Kastorius, masalah transparansi proses penyidikan sangat penting untuk membangun integritas lembaga penegak hukum. Tanpa ada transparansi, penyalahgunaan kewenangan dan praktik koruptif mudah terjadi. ”Kasus Gayus, misalnya, siapa yang tahu kalau tidak dibongkar,” katanya.

Oleh karena itu, lanjut Kastorius, transparansi dalam penegakan hukum perlu terus dibangun untuk menjaga dan mengontrol integritas penegak hukum.

Bambang Widjojanto menambahkan, salah satu aspek yang jarang dilihat dalam pemberantasan korupsi adalah sistem pemenjaraan atau lembaga pemasyarakatan. Hukuman sosial juga penting bagi terpidana koruptor agar berefek jera. ”Misalnya, terpidana koruptor dihukum membersihkan got-got di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin,” katanya. (FER)
Sumber: Kompas, 8 November 2010
------------------
Pemberantasan Korupsi Dinilai Memburuk
“Diperlukan hukuman berefek jera.”

Memasuki periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, masyarakat menilai kinerja penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi semakin buruk. Hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia menyatakan hanya 34 persen dari sekitar 1.824 responden yang menilai kinerja pemberantasan korupsi baik.

“Ini angka terendah selama lima tahun ini. Tahun lalu angkanya mencapai 83,7 persen,” kata Burhanuddin Muhtadi, Direktur Lembaga Survei Indonesia, dalam acara diskusi “Ketidakpercayaan Publik pada Lembaga Pemberantasan Korupsi” kemarin.

Penilaian buruk masyarakat, kata Burhanuddin, dipengaruhi beberapa kasus besar yang muncul sejak 2009, seperti kriminalisasi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi dan kasus Bank Century. Dalam penelitian yang dilakukan pada 10-20 Oktober 2010 ini, LSI menyurvei 1.824 orang yang tersebar dari Nanggroe Aceh Darussalam hingga Irian Jaya Barat, dengan kemungkinan kesalahan atau margin of error 2,4 persen.

Hasil penelitian menunjukkan, secara nasional, responden menilai kasus korupsi di Indonesia masih tinggi. "Hanya 4,7 persen yang menganggap korupsi di sini rendah," ujarnya.

Selain tidak percaya terhadap pemberantasan kasus korupsi, masyarakat tidak mempercayai integritas lembaga penegak hukum di Indonesia. Dari empat lembaga hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan KPK, hanya KPK yang mendapat apresiasi dari masyarakat.

Masyarakat menilai kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan terlalu lemah terhadap koruptor. Publik menganggap jaksa tidak berani menuntut berat pelaku kejahatan korupsi. "Hanya 3 persen responden yang menilai jaksa berani menuntut koruptor dengan adil," ujarnya.

Publik juga kecewa atas banyaknya koruptor yang dihukum di bawah satu tahun. Karena itu, mereka meminta agar pencuri uang negara itu dihukum berat. "Masyarakat ingin koruptor dihukum seumur hidup agar ada efek jera," ujarnya.

Calon pemimpin KPK, Bambang Widjojanto, menilai koruptor tidak perlu dihukum berat. "Yang diperlukan hukuman berefek jera," kata Bambang. Ia mencontohkan sanksi sosial bagi koruptor, seperti membersihkan gorong-gorong di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. "Jadi, mereka dihukum di depan publik," ujarnya. CORNILA DESYANA
 
Sumber: Koran Tempo, 8 November 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan