Pemberantasan Korupsi di BUMN

Di tengah keterbatasan sumber daya dimana banyak pejabat eselon satu yang pensiun dan mengundurkan diri, sedangkan penggantinya belum tersedia-- Kementerian BUMN menunjukkan keseriusannya dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi di BUMN. Ini terlihat bahwa dalam beberapa pekan ini, Kementerian BUMN secara terbuka membeberkan temuan adanya dugaan korupsi yang terjadi di sejumlah BUMN. Keseriusan Kementerian BUMN ini sesungguhnya merupakan respons terhadap Instruksi Presiden (Inpres) No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Sebagaimana disampaikan Presiden SB Yudhoyono pada acara Pencanangan Gerakan Anti Korupsi tanggal 9 Desember 2004, praktik-praktik korupsi di Indonesia telah merambah hampir ke seluruh sektor kehidupan masyarakat. Praktik ini telah menghambat upaya bangsa kita untuk membangun masyarakat adil, makmur dan sejahtera, sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Sehubungan dengan ini, Presiden telah mengeluarkan Inpres No 5/2004. Mengingat praktik korupsi juga terjadi dalam berbagai aktivitas kegiatan di BUMN, kantor Kementerian BUMN pun menindaklanjuti Inpres No 5/2004 tersebut guna mencegah dan memberantas setiap indikasi KKN dalam setiap aktivitas di BUMN.

Selain merupakan respons terhadap Inpres No 5/2004 tersebut, upaya pencegahan dan pemberantasan KKN di BUMN ini juga memiliki relevansi yang tinggi dengan upaya meningkatkan profitabilitas BUMN. Tindakan penghapusan praktek KKN ini didasarkan pada prinsip: (i) menempuh langkah-langkah untuk menghilangkan atau mencabut fasilitas istimewa yang telah diberikan dengan tetap mengupayakan agar perusahaan, baik yang menghasilkan barang dan jasa maupun yang melakukan perdagangan, dapat tetap berfungsi; dan (ii) langkah-langkah yang akan ditempuh tetap memperhatikan ketentuan hukum, baik nasional maupun internasional yang berlaku.

Salah persepsi
Namun, di tengah keseriusan Kementerian BUMN untuk membongkar kasus-kasus korupsi yang terjadi di masa lalu, ternyata masih saja ada salah persepsi dan keraguan dari sejumlah pihak. Dari berbagai pengamatan yang penulis lakukan ternyata ada persepsi bahwa langkah Kementerian BUMN tersebut tidak lebih dari sekedar upaya justifikasi untuk mengganti direksi dan/atau komisaris BUMN. Persepsi ini jelas keliru. Mengapa?

Apa yang dilakukan Kementerian BUMN sesungguhnya merupakan tindak lanjut dari temuan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Kementerian BUMN tersebut berdasarkan dari data-data yang konkrit dan berasal dari institusi yang terpercaya. Dan perlu diketahui bahwa basis laporan BPK yang digunakan adalah berasal dari laporan hasil audit BPK tahun 2004, yang seharusnya ditindaklanjuti oleh pemerintahan sebelumnya. Oleh karenanya, adalah keliru bahwa dibukanya berkas-berkas korupsi di BUMN saat ini hanya digunakan untuk justifikasi pergantian direksi dan/atau komisaris BUMN.

Perlu dicatat bahwa urusan mengganti direksi dan komisaris BUMN adalah urusan lain yang memiliki aturan main sendiri yang tidak boleh dilanggar. Menurut ketentuan yang ada, direksi dan komisaris BUMN baru dapat diganti bila memenuhi persyaratan: (1) karena telah berakhirnya masa jabatan; (2) sudah menjabat di perusahaan yang sama selama dua periode; (3) berhalangan tetap; (4) mengundurkan diri; (5) alasan gangguan kesehatan; (6) telah mendekati masa pensiun; (7) terlibat atau terdapat indikasi terlibat dalam suatu tindak pidana maupun perdata; (8) terjadi konflik manajemen; dan (9) tidak dapat memenuhi key performance indicator (KPI) sebagaimana yang telah ditetapkan/disepakati.

Dengan berbagai persyaratan tersebut, jelas tidak mudah untuk mengganti direksi dan/atau komisaris BUMN. Direksi dan/atau komisaris BUMN tidak dapat diganti di tengah jalan kalau tidak ada alasan yang kuat untuk menggantinya. Tentu, Kementerian BUMN tidak ingin mengulangi cerita buruk dimana ada praktek-praktek penggantian direksi dan komisaris di tengah jalan tanpa ada alasan yang jelas dan kuat. Dengan demikian, kalau saat ini terkesan ada ''tsunami'' pergantian direksi dan/atau komisaris BUMN, hal itu sesungguhnya telah memenuhi salah satu unsur persyaratan penggantian.

Satu hal yang patut dicatat, sejak keluarnya Inpres No 8/2005 tentang Pengangkatan Anggota Direksi dan/atau Komisaris/Dewan Pengawas BUMN, pergantian direksi dan/atau komisaris BUMN kini menjadi lebih selektif. Sebab, kewenangan pengangkatan direksi dan/atau komisaris BUMN kini ditentukan secara kolektif oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang dipimpin langsung oleh Presiden. Sementara itu, menneg BUMN selaku wakil pemegang saham pemerintah hanya dapat mengusulkan (tentunya setelah dilakukan kajian perlu adanya pergantian dan dilakukannya fit and proper test bagi direksi dan/atau komisaris baru) kepada TPA. Dengan demikian, pergantian dan pengangkatan direksi dan/atau komisaris BUMN kini menjadi sangat selektif yang tentunya sangat mempertimbangkan alasan yang kuat untuk dilakukannya kebijakan tersebut.

Paradigma baru
Upaya pemberantasan korupsi di BUMN yang kini sedang digalakkan Kementerian BUMN sesungguhnya merupakan satu mata rantai dari paradigma baru di bidang pengelolaan BUMN. Sebagaimana diketahui bahwa di masa lalu, BUMN selalu identik dengan tempat penjarahan dan ajang korupsi bagi para politisi, birokrat, dan lain-lain. Karena menjadi menjadi ajang penjarahan ini, maka satu demi satu BUMN strategis dilanda krisis besar. Sebut misalnya, PT Dirgantara Indonesia (DI) yang dulu dirancang menjadi masterpiece kebanggaan industri penerbangan nasional, PT Idustri Kereta Api (INKA), dan perusahaan strategis lainnya, kini kondisinya sangat memprihatinkan. Program restrukturisasi dan profitisasi sebelumnya hanya sebatas retorika belaka. Para menteri BUMN sebelumnya kerap mengemukakan bahwa kepemilikan tidak penting, karena itu privatisasi harus jalan terus. Yang penting adalah azas manfaat. Tetapi yang menjadi masalah, manfaat untuk siapa?

Kini, oleh pemerintahan Presiden SBY paradigma itu tidak akan menjadi kebijakan pokok dalam pengelolaan BUMN ke depan. Alasan bahwa karena BUMN dikorupsi dan selalu menjadi tempat penjarahan, maka perlu diprivatisasikan saja, kini tidak dapat dibenarkan lagi. Jika BUMN dikorupsi, maka koruptornyalah yang harus dipenjarakan. Jika BUMN dijadikan ajang penjarahan oleh para politisi, maka putuslah mata rantai penjarahan tersebut yaitu dengan mengangkat direksi dan/komisaris BUMN berdasarkan integritas, profesionalitas, dan kompetensi bukan karena pesanan politik tertentu.

Terhadap masalah pengelolaan BUMN ini, Presiden SBY memiliki platform yang sangat hati-hati mengenai privatisasi. Agar terdapat ruang gerak yang leluasa bagi BUMN, Presiden menekankan agar kita mampu membangun beberapa kesepakatan politik. Dengan cara ini, BUMN akan menjadi bagian dari sumber-sumber kesejahteraan rakyat dan BUMN akan terbebas dari proses pencampuradukan antara fungsinya sebagai unit usaha yang dimiliki negara dengan kepentingan sesaat para penentu kebijakan, baik yang berada di eksekutif maupun yang berada di legislatif.

Adapun kesepakatan politik yang dimaksud adalah (1) bersepakat tentang cabang-cabang produksi dan aktivitas-aktivitas ekonomi yang harus dikuasai negara serta memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat; (2) mengelompokkan ulang dan mengevaluasi kembali BUMN-BUMN yang kita miliki saat ini; (3) kelompok mana atau BUMN mana dari kelompok-kelompok yang telah disepakati yang harus dipertahankan serta mana yang harus diprivatisasi (termasuk kesepakatan mengenai metode privatisasi yang selayaknya dilakukan); dan (4) kesepakatan mengenai cabang produksi atau aktivitas ekonomi yang harus dikuasai negara yang belum dikembangkan. Jika ada, apakah cabang produksi atau aktivitas ekonomi tersebut harus dikembangkan melalui kelembagaan BUMN?

Sehubungan dengan Visi Presiden RI tentang BUMN di atas, maka orientasi dan kebijakan pengelolaan BUMN yang dikembangkan kementerian BUMN pun akan diarahkan sebagai berikut. Dalam 5 tahun mendatang, Kementerian BUMN telah menetapkan untuk tidak memberikan penekanan pada kebijakan privatisasi (atau penjualan mayoritas saham BUMN), namun memfokuskan agar setiap BUMN berupaya untuk selalu terus menerus menciptakan dan meningkatkan nilai (value creation and improving) perusahaan agar mampu meraih keuntungan (profitabilitas) yang sebesar-besarnya dan mampu meningkatkan kuantitas serta kualitas, baik produk dan layanan kepada konsumen dan masyarakat. Sehingga, meskipun hasil yang diperoleh dari privatisasi melalui penjualan saham adalah minimal, bahkan mungkin bisa nol, namun setoran ke kas negara tetap dapat ditingkatkan melalui peningkatan penerimaan pajak dan dividen dari BUMN.

Lalu, bagaimana meningkatkan profitabilitas BUMN tersebut? Salah satu caranya, yaitu melakukan fokus ulang kegiatan usaha (reorientation of business activities), melakukan peningkatan pendapatan (revenue enhancement), dan melakukan pengurangan biaya (cost reduction). Dan terkait dengan upaya cost reduction ini, Kementerian BUMN melakukan berbagai upaya untuk mengurangi berbagai tindakan yang bernuansakan KKN di lingkungan BUMN. Tindakan penghapusan KKN ini dilakukan antara lain dengan cara mengevaluasi kontrak-kontrak yang dilakukan dengan pihak ketiga serta secara terus-menerus melakukan pengkajian/inventarisasi secara menyeluruh atas proyek-proyek yang bernuansa KKN di semua BUMN.

Berdasarkan analisis ini jelas bahwa upaya pemberantasan korupsi di BUMN yang sedang dilakukan oleh Kementerian BUMN adalah semata-mata untuk tujuan meningkatkan profitabilitas BUMN dan menselaraskan dengan visi Presiden. Dengan demikian, adalah keliru persepsi bahwa upaya pemberantasan korupsi yang kini sedang gencar-gencarnya dilakukan di lingkungan BUMN ini adalah sebagai justifikasi pemerintah untuk mengganti direksi dan/atau komisaris BUMN.(Sunarsip, Tenaga Ahli Menteri BUMN Bidang Riset dan Kebijakan)

Tulisan ini diambil dari Republika, 3 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan