Pemberantasan Korupsi dan Penguatan Kemauan Politik

Harapan publik bahwa gerakan reformasi akan mampu mengikis tindak korupsi yang telah berakar kuat di Indonesia nampaknya sulit terwujud. Tindak korupsi semakin meningkat dan meluas ke semua sektor publik dan level pemerintahan. Survai indeks persepsi korupsi (IPK) yang dilakukan oleh Transparency International (TI) dalam enam tahun terakhir menunjukkan bahwa Indonesia selalu berada dalam deretan negara-negara terkorup di dunia. Pada tahun 2003 score IPK Indonesia adalah 1,9 dan merupakan negara ke-12 terkorup dari 133 negara yang disurvai.

Kasus-kasus korupsi menyebar ke semua daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Sejumlah 43 anggota DPRD Sumatera Barat dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Juga, banyak anggota DPRD dari berbagai kabupaten/kota dan provinsi menjadi terdakwa dari berbagai tindak korupsi (Kompas, 19 Mei 2004). Tindak korupsi politik (money politics) terjadi hampir dalam setiap peristiwa pemilihan pejabat politik di daerah, dari level desa hingga provinsi. Aroma politik uang juga sangat kuat dalam pelaksanaan pemilu 1999 (Irwan, 2003; Hafidz, 1999), dan juga pemilu legislatif 2004 (ICW et al, 2004).

Untuk konteks Indonesia paska Orba, kenyataan tersebut benar-benar ironis. Dilihat dari
perangkat perundangan, kebijakan, dan kelembagaan untuk memberantas korupsi, Indonesia telah memilikinya secara sempurna, dan karena itu tingkat korupsi seharusnya lebih bisa dikikis.

Tulisan ini mengajukan penjelasan hipotetis tentang penyebab dan kecenderungan praktek korupsi yang meningkat akhir-akhir ini dan tentang keterbatasan-keterbatasan dari gerakan-gerakan anti korupsi yang intensitasnya meningkat namun efektifitasnya dalam memberantas korupsi diragukan. Bertolak dari eksplorasi kedua penjelasan tersebut, tawaran (alternatifl tindakan melawan korupsi diketengahkan.

Korupsi Sebagai Mal-Praktek Kekuasaan
Tindak korupsi, pertama-tama dan terutama, adalah tindakan yang terkait sangat erat dengan kekuasaan. Meski ada keragaman dalam pendefinisian tentang korupsi, secara umum korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau sumberdaya publik untuk kepentingan privat. Alatas (1999) mendefinisikan korupsi sebagai subordinasi kepentingan umum di bahwh tujuan-tujuan pribadi, yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat yang diderita oleh khalayak ramai. Dan pengertian tersebut terlihatjelas bahwa korupsi bukanlah tindakan kriminal biasa, mal-administrasi dan mis-manajemen, namun lebih merupakan kejahatan yang berhubungan dengan kekuasaan. Karena kekuasaan memilik kaitan luas dengan urusan publik, maka dampak dari tindak korupsi selalu mengena pada publik dalam cakupan yang luas dan dalam. Itulah sebabnya tindak korupsi merupakan bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinarycrime).

Bertolak dan premis seperti itu tidaklah terlalu sulit untuk memahami bahwa ketika struktur politik paska Orba semakin terdesentralisasi dan menyebar, maka tindak korupsi pun memiliki kecenderungan yang kurang lebih sama. Ungkapan-ungkapan seperti 'desentralisasi korupsi', 'demokratisasi korupsi', dan sejenisnya, kiranya menggambarkan tendensi ini. Singkatnya, korupsi bukan lagi monopoli pemegang kekuasaan di pusat, tapi telah merambah ke titik-titik kekuasaan yang menyebar ke berbagai daerah dan sektor.

Sebagai tindakan yang terkait sangat erat dengan kekuasaan, korupsi bukanlah semata-mata perilaku yang bersifat individual. Dalam banyak kasus, sebagaimana dikemukakan oleh Aditjondro (2002) korupsi bisa berbentuk lebih dari sekadar suap (bribery) dan pemerasaan (extortion), tapi bisa juga berbentuk jejaring (caban antara birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan yang istimewa. Biasanya ada ikatan yang nepotistis di antara beberapa anggota jejaring korupsi, yang dapat berlingkup nasional, dan bahkan internasional. Karena itu, praktek korupsi biasanya melibatkan banyak pelaku yang luas, saling terhubung dan tertutup, layaknyajaringan mafia. Mereka saling melindungi dan sating mengunci untuk menghindari pengungkapan dan penyelidikan.

Lebih dari itu, meskipun mungkin tidak berpengaruh secara langsung, maraknya praktek korupsi seolah mendapatkan lahan suburnya dalam konteks masyarakat Indonesia yang rentan secara sosial, ekonomi dan politik. Gejala politik uang yang merebak akhir-akhir ini tidak dapat dipisahkan dari gejala lemahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat akibat terpaan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dalam konteks meluasnya kemiskinan, sempitnya lapangan pekerjaan, ketidakpastian jaminan sosial, dan kondisi-kondisi rentan dan tidak pasti lainnya, yang dialami oleh sebagian besar masyarakat, setiap tawaran pemberian (suap) finansial dan non-finansial, seberapapun besamya, akan sangat berarti bagi kehidupan mereka. Maraknya gejala politik uang pada Pemilu legislatif 2004 menunjukkan tendensi ini.

Limitasi Gerakan Antikorupsi
Karena korupsi adalah tindak yang terkait erat dengan penggunaan kekuasaan, maka pemberantasannya mengandaikan adanya kontrol dan pembatasan terhadap kekuasaan itu sendiri. Namun, kontrol terhadap kekuasaan bukanlah hat yang mudah karena dua alasan berikut. Pertama, pemegang kekuasaan biasanya memiliki tendensi untuk menghindarkan diri dari kontrol dan pembatasan politik. Kedua, bahkan meskipun ada kesadaran tentang pentingnya kontrol politik, banyak pihak dan aktor tidak memiliki kemauan politik yang memadai untuk mengontrol kekuasaan dan dengan demikian mengikis korupsi.

Dalam kaitan dengan upaya pemberantasan korupsi, faktor kemauan politik (political will) memiliki kontribusi penting. Brinkerhoff (2000) mengajukan tesis bahwa keberhasilan gerakan anti korupsi bergantung pada kemauan politik para aktor. Kemauan politik merupakan komitmen para aktor untuk menempuh serangkaian tindakan untuk menginisiasi perlawanan terhadap korupsi, mempertahankan perjuangan anti korupsi hingga berhasil, dan menanggung akibat-akibat yang ditimbulkannya.

Menurutnya ada lima karakteristik yang bisa menunjukkan derajat kemauan politikyang dimiliki para aktor, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat keberhasilan pemberantasan korupsi. Yang pertama adalah lokus inisiatif, yakni darimana dan dimana prakarsa-prakarsa untuk melawan korupsi muncul. Lokus ini bisa berada di sektor-sektor negara, privat dan masyarakat sipil. Ada tendensi bahwa lokus prakarsa anti korupsi yang kuat selama ini berada di sektor masyarakat sipil, sebagaimana ditunjukkan oleh gerakan NGO dan Ormas.

Yang kedua adalah tingkat penggunaan analisis, yakni seberapa jauh desain-desain kebijakan, perundangan dan kelembagaan anti korupsi didasarkan pada anal isis-analisis yang cermat tentang fenomena korupsi. Dalam kaitan ini, Holloway (2002) menilai bahwa banyak desain gerakan anti korupsi dimulai dengan cara yang keliru, karena umumnya sekedar mengadopsi model dari asing tanpa menganalisis kesesuaianya dengan konteks Indonesia.

Yang ketiga berkaitan dengan strategi mobilisasi dukungan dari semua aktoryang menentang korupsi. Sejauh ini tampak bahwa elemen-elemen gerakan anti korupsi lebih suka untuk berjalan sendiri-sendiri dan kurang mengembangkan sinergi. Mobilisasi dukungan juga tampak sporadis, momental dan tidak berkesinambungan.

Kemauan politik juga tercermin dari karakteristik yang keempat, yakni penerapan sangsi yang kredibel. Ini tentu menyangkut mekanisme insentif dan disinsentif dalam pemberantasan korupsi. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pada isu inilah titik terlemah dari mata rantai pemberantasan korupsi terletak. Ungkapan 'sapu yang kotor tidak mungkin membersihkan lantai yang kotor' terlalu sering dikatakan untuk menggambarkan kinerja dan lembaga-lembaga peradilan.

Karakteristik yang kelima adalah keberlanjutan dari gerakan anti korupsi itu sendiri. Isu terpenting di sini adalah apakah para aktor menempatkan aksiaksi anti korupsi sebagai tindakan jangka pendek atau sebagai tindakan jangka panjang. Keberlanjutan aksi-aksi anti korupsi tentunya hanya akan tercipta manakala gerakan yang didesain merupakan aksi jangka panjang yang terukur Pada titik ini muncul keraguan tentang keberlanjutan gerakan anti korupsi, bukan saja karena taraf dan sifat korupsi yang sudah endemik-sistemik, namun juga karena sumberdaya (dana) yang terbatas yang umumnya bersumber dari donasi asing.

Penguatan Kemauan Politik
Dengan argumen bahwa kemauan politik merupakan determinan kunci dari gerakan anti-korupsi, maka upaya-upaya memperkuat kemauan politik untuk melawan korupsi harus secara terus menerus dilakukan. Dua strategi umum dapat ditempuh. Yang pertama adalah strategi langsung dengan menyempumakan kelemahan-kelemahan yang melekat dalam lima karakteristik di atas, mulai dari lokus inisiatif hingga keberlanjutan gerakan anti-korupsi.

Yang kedua adalah strategi tidak langsung, yakni dengan intervensi tindakan pada sejumlah faktor yang membentuk dan melingkupi kemauan politik. Strategi ini meliputi: penguatan masyarakat sipil sebagai watchdog tindak korupsi, penyingkiran kelompok dan aktor yang permisif terhadap korupsi dari arena politik, penyadaran publik tentang dampak meluas dari persistensi korupsi endemik, lobi kebijakan kepada para donor untuk melekatkan desain upaya anti-korupsi sebagai persyaratan bantuan atau pinjaman pembangunan, dll.

Jika kedua strategi tersebut dapat diterapkan secara simultan dan saling mendukung, maka secercah cahaya di ujung lorong gelap pemberantasan korupsi akan mulai tampak dan dari waktu ke waktu mungkin akan semakin benderang. (Suharko, adalah Pengelola Program Magister Sains dan Doktoral Sosiologi UGM)

Tulisan ini diambil dari bulletin Antikorupsi edisi No. 4 - Mei 2004 yang diterbitkan oleh LP3 UMY dan Koalisi Umat Beragama untuk Antikorupsi Yogyakarta.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan