Pemberantasan Korupsi Dan Keteladanan Pemimpin

Bak Sisyphus yang dihukum para dewa dalam mitologi Yunani. Demikian kira-kira nasib pemberantasan korupsi di Indonesia. Sisyphus harus mendorong batu besar yang berat dengan susah payah ke puncak gunung. Namun, setiap kali sampai ke puncak gunung, batu itu menggelinding jatuh.

Buktinya, belum lama ini, Ketua Transparency International (TI), Peter Eigen mengumumkan hasil survei lembaganya mengenai korupsi di negeri ini, yang sungguh menyedihkan. Menurut Eigen, selama enam tahun terakhir, korupsi di Indonesia bukannya semakin menurun, tapi sebaliknya, semakin meluas. Dari berbagai negara di dunia, Indonesia hanya lebih baik dibanding Kenya, Angola, Madagaskar, Nigeria, Paraguay, dan Banglades. Kesimpulannya, untuk Asia, Indonesia dan Bangladesh adalah negara terkorup.

Melihat hasil survei itu, tidak berlebihan, kalau Ketua Transparency International, Peter Eigen mengingatkan kita, bahwa korupsi yang terus marak sekarang ini dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi dan sangat berbahaya bagi negeri ini.

Bukan hanya itu, Peter Eigen juga mengingatkan elite negeri ini agar tidak bermain-main dalam pemberantasan korupsi. Sebab, hal itu sangat berpengaruh pada investasi luar negeri yang menurun dalam dua tahun terakhir ini. Kalau korupsi tidak bisa diberantas, maka akan sangat sulit untuk dapat memperbaiki perekonomian dan Indonesia semakin terpuruk. Investor pun beralih ke negara-negara yang tingkat korupsinya lebih baik.

Pertanyaannya sekarang, mengapa pemberantasan korupsi di negeri ini dinilai selalu gagal? Padahal, dari segi perangkat hukum kita mempunyai cukup banyak UU (Undang-undang) pemberantasan korupsi? Kita juga memiliki komisi yang mengawasi pemerintahan dan penegak hukum, seperti KPKPN (Komisi Pemberantasan Korupsi Pejabat Negara) dan Komisi Ombudsman Nasional. Bahkan, di dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ancaman hukuman bagi pelaku tindak korupsi telah ditingkatkan menjadi hukuman mati.
* * *

Kalau dilihat dari sudut perundang-undangan, maka tidak ada lagi alasan untuk menyatakan bahwa UU yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi kurang efektif. Tinggal masalahnya adalah bagaimana kemauan politik (political will) pemerintah (baca: pemimpin) dan aparat penegak hukum memberantas korupsi.

Sebab, seperti ditegaskan pakar hukum Dr Adnan Buyung Nasution, sistem hukum yang baik tanpa didukung pelaku-pelaku yang mempunyai watak dan integritas moral yang baik, hanya menjadi setumpuk peraturan yang tidak bermakna.

Dengan kata lain, pemberantasan korupsi hanya bisa dilakukan jika pemimpin memiliki political will dan sekaligus wibawa moral sebagai aparatur yang bersih dan berwibawa, sehingga memberikan keteladanan dalam hal kejujuran, sikap amanah, dan akuntabilitas.

Tampaknya, (political will) dan keteladanan inilah yang tidak atau kurang dimiliki oleh pemimpin kita. Belum dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) mengenai Panitia Seleksi Calon Pemimpin Pemberantasan Korupsi, misalnya, mengindikasikan hal itu. Indikasi lain, tidak satunya kata dan perbuatan. Pemimpin sering membuat pernyataan menyejukkan, seperti koruptor harus ditindak tegas, diseret ke pengadilan, dan dihukum mati; tapi kenyataannya, nihil.

Gunnar Myrdal, ekonom pemenang Nobel, dalam bukunya Chalenge of World poverty, A World Anti Poverty Program in out-line, juga pernah menyinggung masalah keteladanan seorang pemimpin dengan program pemberantasan korupsi. Dicontohkannya, Rajaratnam adalah salah satu sosok pemimpin, selain bersih juga memiliki kemauan kuat untuk memberantas korupsi di Singapura.

Hasilnya, negeri mungil itu menjadi negara yang bersih. Sebaliknya, Jawaharlal Nehru, meski ia juga dikenal bersih, namun dia tidak memiliki kemauan yang kuat untuk memberantas korupsi. Hasilnya, India pun tak henti-hentinya dilanda wabah korupsi.

Singkatnya, Myrdal ingin menegaskan, bahwa keteladanan dan kemauan politik (political will) merupakan dua hal yang tidak boleh ditinggalkan jika suatu negara ingin memberantas penyakit korupsi.
* * *

Dalam kaitan itu, perlu kiranya diketahui apa esensi menjadi pemimpin. Menurut Pakubuwono IV dalam Serat Wulangreh, pemimpin adalah seseorang yang sanggup memangku dan membuat siapa saja, lapang hati seperti laut yang luas. Sedangkan Prof Soepomo mengatakan bahwa pemimpin negara dan badan-badan pemerintah lainnya harus bersifat pemimpin sejati, menunjuk ke arah cita-cita luhur yang diidam-idamkan rakyat. Negara harus bersifat sebagai penyelenggara, badan pencipta hukum yang timbul dari hati nurani rakyat seluruhnya.

Sementara itu, menurut Ki Ageng Suryomentaram, jika seorang pemimpin landasannya salah, maka ia akan memiliki hasrat menguasai orang lain. Dalam pandangan Jawa, seperti dituturkan Ben Anderson, seorang pemimpin itu ialah yang sakti-mandraguna serta mukti wibawa, yang secara harfiah berarti memiliki kecakapan, kemampuan, keterampilan, dan wibawa.

Untuk menggerakkan rakyat guna menyukseskan pembangunan, harus dipenuhi syarat pokok, yakni tidak ada perbedaan antara cita-cita rakyat dan cita-cita pemimpin. Pembangunan akan berhasil jika rakyat merasa didampingi oleh para pemimpin yang berwatak melindungi dan memiliki keteladanan yang tinggi.

Dengan kata lain, jika apa yang telah dikerjakan rakyat dengan segenap pengorbanan jiwa, raga, harta, dan seterusnya, hanya menguntungkan para pemimpin, maka tekad membara itu akan lenyap. Kalau kita masih memiliki pemimpin yang memiliki sifat lebih banyak mengambil daripada memberi, maka yang timbul adalah sikap masa bodoh, apatis, sampai ke arah kerusuhan, karena rakyat telah kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya.

Sejarah menunjukkan bahwa jika rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya, maka upaya untuk mengembalikan rasa percaya ini amat sulit. Dan, ini berat bagi suatu negara untuk membangun.

Ini berarti, tanpa kesamaan cita-cita dan nilai-nilai dasar antara pemimpin dan rakyat, maka tidak ada hubungan dialogis. Pada saat-saat tertentu seorang pemimpin menjadi penunjuk jalan, pelindung, namun pada saat yang lain ia juga harus minta petunjuk pada rakyat. Inilah yang disebut James McGregor sebagai trasforming leadership.

Kalau seorang pemimpin sudah memiliki jiwa untuk menguasai orang lain, maka kiamatlah yang akan dialami oleh suatu negara. Pemimpin merasa apa yang dimandatkan kepadanya harus dikuasai. Sebagaimana dikatakan oleh Arnold Brecht dalam Political Theory: The Foundation of Twentieth Century Political Thought (1970), gaya pemimpin yang otoriter berpangkalan kepada pandangan yang menganggap kepemimpinan adalah suatu prinsip nilai tertinggi; mengikuti pemimpin adalah tindakan yang benar, dan melawannya adalah tindakan yang salah.

Hal lain tentang perlunya moral bagi pemimpin juga dibenarkan oleh Alexander Solzhenitsyn dalam salah satu pidatonya di Liechtenstein pada tahun 1993 kala mengungkapkan pengalaman pahitnya di bawah diktator Rusia. Pemimpin tanpa moral adalah bencana. Orang Jawa bilang sabda pandito ratu. Artinya, perkataan seorang raja mestinya juga perkataan seorang pandita (penjaga moral).

Akhirnya, pantas pula dicermati nasihat R Ng Ronggowarsito. Dalam Nitisastro beliau mengatakan, jika zaman telah rusak atau jaman kaliyuga, maka berbondong-bondonglah orang cerdik pandai, ulama atau tokoh spiritual lainnya, untuk menyembah orang yang berharta. Raja atau pemimpin akan senantiasa merasa kekurangan harta, dan harta tersebut diperoleh dari orang kaya. Semua perbuatan hanya dinilai dengan uang atau upah.

Karenanya, untuk mengatasi krisis multidimensi negeri ini, khususnya dalam pemberantasan korupsi, hal pertama dan utama yang harus dibenahi adalah keteladanan para pemimpin.***(Penulis adalah guru di JIS - Jakarta International School).

Tulisan ini diambil dari Suara Karya, Senin, 29 September 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan