Pemberantasan Korupsi dan Investasi Pendidikan

Indonesia kembali mendapat juara keenam negara paling korup dari 133 negara yang dinilai oleh Transparansi Internasional Indonesia. Tahun lalu Indonesia juara keempat dari 102 negara paling korup. Seperti biasanya, jika ada penilaian buruk untuk Indonesia, dengan serta-merta para pejabat tinggi bereaksi. Ada sementara yang membantah bahwa survei tersebut tidak sahih, bahkan variabel penilaiannya kurang transparan. Kepala negara pun, tampaknya sudah pusing memikirkan korupsi. Dia punya komitmen pemberantasan, tetapi tidak tahu dari mana dan bagaimana cara memberantasnya. Korupsi sekarang ini bahkan lebih ganas dari masa Orde Baru

Karena korupsi merupakan kejahatan, tentu saja amat mengganggu jalannya pembangunan bangsa. Kegiatan korupsi dapat merusak sendi-sendi peradaban, pendidikan, dan kemanusiaan. Kegiatan korupsi yang dilakukan mulai dari instituasi RT sampai departemen merusak semangat kekeluargaan, keterbukaan, yang pada akhirnya menciptakan jurang pemisah antara yang kaya (koruptor) d an yang miskin dan tak berdaya.

Korupsi juga merusak sendi-sendi pewujudan kesejahteraan sosial karena uang yang semestinya dipakai untuk mengongkosi rakyat agar terdidik, sehat, dan sejahtera ditilep oleh para koruptor. Akibatnya, di negara Indonesia ini setiap orang tidak gampang memperoleh makanan, pengobatan, dan sekolah murah.

Virus Korupsi tampaknya sudah menjalar di mana-mana. Di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, di kampus, di kantor, di jalanan, dan di mana-mana korupsi bisa dilakukan. Bahkan virus berjiwa korup juga menjangkiti siapa saja, bahkan yang mengklaim dirinya beragama. Para akivis berteriak agar birokrat dan pengusaha tidak korup, tetapi ia sendiri berlumuran dosa melakukan sindikasi dengan sponsor untuk meneriakkan antikorupsi. Wajar saja kalau Kepala Negara pusing soal cara memulai memberantas korupsi. Hanya melalui pendidikan orang disadarkan untuk tidak mengingini miliknya orang lain.

Investasi Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan untuk mengubah seseorang dari jahat menjadi penyayang, dari bodoh menjadi cerdas, dari malas menjadi disiplin, dari yang brutal menjadi penyayang, dari egois menjadi altruis. Sebagai warga bangsa yang bertanggung jawab terhadap terciptanya masyarakat yang beradab, tentu kita optmis untuk memulai pemberantasan sifat-sifat korup dan nepotis melalui pendidikan.
Di zaman yang semakin terbuka, sudah tidak masanya lagi orang memiliki sifat-sifat eksklusif, etnisitas, dan rasis. Untuk mengangankan negara yang maju dan sejahtera -seperti negara tetangga Singapura dan Malaysia- diperlukan sinergi dari berbagai elemen masyarakat yang sadar tentang arti pentingnya pendidikan untuk membangun masyarakat beradab.

Pertama, lembaga pendidikan sanggup mengubah orientasi pendidikan yang konvensional menuju rasional. Pendidikan diupayakan tidak menciptakan pertentangan kelas, tetapi sanggup mengasah kecerdasan dan kepekaan hati. Pendidikan sanggup mengakomodasi perkembangan individu berdasarkan bakat atau talenta yang dimiliki anak. Pendidikan sanggup memberi kesenangan kepada anak didik untuk belajar. Anak-anak yang berbakat seni olahraga tidak harus dipaksakan untuk belajar matematika dan fisika._ Sebaliknya anak-anak yang suka fisika dan matematika serta menggemari musik dapat belajar kedua-duanya. Pendidikan sanggup menciptakan anak memiliki keterampilan hidup.

Sekolah mampu menyediakan fasilitas belajar -guru dan sarana belajar- untuk mengasah kreativitas siswa.

Kedua, praksis pendidikan sudah seharusnya menghilangkan budaya represif, mengedepankan toleransi, dialog, dan penyelesaian masalah secara damai. Guru merupakan agen pendidikan demokrasi di sekolah. Dalam berbagai kesempatan seorang pendidik sanggup menghargai anak didik dan orang lain yang memiliki pandangan berbeda. Sebab perbedaan adalah sebuah rahmat. Prinsip pluralitas dan multikulturalisme sudah seharusnya menjadi tradisi dalam pembelajaran. Guru sanggup mengajari siswa tentang pluralitas berpikir, berkehendak, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok tanpa ada prasangka buruk. Siswa sanggup memberi apresiasi pada kelompok dan golongan yang lain.

Ketiga, praksis pendidikan sanggup memberikan pendidikan demokrasi, yaitu mendidik dan menghargai orang lain yang memiliki pandangan berbeda. Guru sanggup memfasilitasi adanya perbedaan melalui dialog dan tawar-menawar. Dalam berbagai kesempatan perlu menekankan pentingnya keseimbangan. Mengurangi keinginan pribadi untuk diisi keinginan orang lain. Panasnya pertikaian antarelite partai sampai di akar rumput seperti perkelahian antara PDI-P dan Golkar di Bali karena tidak terciptanya iklim dialog selama ini. Pendidikan tidak pernah mengajari cara berbagi dengan pihak lain.

Keempat, pendidikan sanggup mensinergikan antara potensi otak dan hati. UU No 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang Sisdiknas dengan tegas menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. ltu berarti bahwa praktik pendidikan nasional memiliki misi membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat.

Hal itu amat ironis dengan keadaan bangsa Indonesia saat ini yang dinilai korup dan bodoh. Indikasinya 65 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan, tidak terdidik, bahkan tenaga kerja wanitanya banyak yang diperkosa dan disiksa di negara tetangga, diperas di bandar Indonesia karena mereka tidak memiliki keahlian.

Para cendekia tak akan rela Indonesia dicap negeri miskin dan bodoh. Oleh karena itu, mereka yang masih memiliki otak dan hati, tidak akan mencuri dan menghambur-hamburkan uang negara dengan berbagai proyek yang dikelola dan dinikmati hanya oleh segelintir manusia pengelola proyek. Sebagai cendekia -yang sudah jadi birokrat dan menteri- seharusnya malu menyaksikan ma- syarakat Indonesia lapar, penyakitan, dan tidak berpendikan. Oleh karena itu, semangat otonomi daerah jangan dikotori oleh tangan-tangan penguasa yang mengeruk keuntungan dari proyek Otoda, tetapi membuta terhadap keperluan rakyat banyak untuk menikmati kesejahteraan sosial.

Prioritas Pendidikan
Hampir 60 tahun Indonesia merdeka dart telah memiliki lima presiden, bangsa Indonesia belum bisa menikmati arti kemakmuran dan keadilan. Indikatornya mudah saja dilihat, masih banyak rakyat yang tidak bisa makan makanan bergizi, miskin, dan tidak memiliki hunian layak. Oleh karena itu, diperlukan gerakan hati nurani para cendekia kelas menengah yang memiliki otak dan hati, tidak hanya untuk bicara tetapi melakukan hal-hal yang dapat memberdayakan orang-orang miskin dan tak terdidik. Berbuat terlambat lebih baik daripada tidak. Bagi mereka yang sudah beruntung dan berpunya, tingkatkan solidaritas dengan kebermilikan itu untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Solidaritas tidak hanya diukur dengan uang tetapi juga dengan tenaga dan pikiran.
Kalau benar ada orang Indonesia yang sanggup mengucurkan dana 20% APBN untuk pendidikan, menghukum mati para koruptor kakap maupun teri, barangkali kita akan menyaksikan bangsa Indonesia bisa menikmati makanan empat sehat lima sempurna. Para penegak hukum harus sanggup menghukum yang salah dan membela yang benar. Dalam melakukan aktivitas setiap warga negara sudah seharusnya mengetahui hak dan kewjibannya.

Oleh karena itu, sudah tiba saatnya, dilakukan operasi besar-besaran untuk memberantas korupsi seperti yang dilakukan oleh dua organisasi keagamaan besar. Dalam perspektif pendidikan diperlukan upaya-upaya rasional dan berkelanjutan.

Pertama, sepuluh tahun ke depan, pendidikan di sekolah sampai perguruan tinggi menomorsatukan prinsip disiplin dan ketertiban. Semua aktivitas yang berkait dengan publik harus dilakukan secara terbuka sehingga orang dapat menilai baik-buruknya suatu program, dikorup atau tidak. Diperlukan lembaga-lembaga pengawasan yang dapat bekerja sama sebagai anjing penjaga terhadap pelanggaran.

Polisi adalah warga negara terbaik, hakim dan jaksa adalah warga masyarakat paling jujur, wakil rakyat adalah orang kaya yang memiliki pengabdian, bupati, gubernur, dan presiden, adalah warga terhormat yang disayang rakyat. Para pemimpin di masa peradaban global itu, kini sedang duduk di bangku sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi yang terbiasa dengan masalah disiplin dan ketertiban.

Kedua, Sepuluh tahun ke depan, praktik pendidikan nasional tidak mendikotomi dan mendiskriminasi antara pelaksanan pendidikan formal dan nonformal, pendidikan negeri dan swasta. Dalam menginvestasikan pendidikan negara bertanggung jawab memberi block-grand kepada sekolah-sekolah swasta baik yang dikelola yayasan agama maupun yayasan umum. Tidak memperlakukan tenaga pendidik sebagai masyarakat kelas dua, di bawah penyandang profesi lain seperti dokter, insinyur, hakim, jaksa, polisi, dan tentara.
Maju-mundurnya sebuah bangsa tidak ditentukan oleh para hakim dan jaksa, tetapi oleh para guru, termasuk para guru bangsa. Guru adalah anggota masyarakat cerdas, yang diberi penghargan sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya. Sebaliknya, guru bukan monster yang menakutkan, tetapi sebagai kawan dan pengganti orangtua di sekolah. Mengajari anak untuk selalu hormat kepada guru, pada akhirnya menumbuhkan kecintaan pada guru di masa dewasanya. Oleh karena itu, guru seharusnya mendapat kehormatan karena kecerdasannya, pengabdiannya, keteladanannya, dan wibawanya. Bukan guru yang berprofesi sebagai penyabit rumput, makelar, dan pengojek.
Ketiga, sepuluh tahun ke depan pendidikan demokrasi dipraktikan di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat. Konsekuensinya, masyarakat sudah tidak lapar, dan sakit-sakitan. Orangtua adalah kawan anak-anak, bukan diktator, guru adalah sahabat, bukan penguasa, bupati tak lagi melindas rakyat. Pemerintah telah mencantumkan pasal Orang miskin dan anak-anak telantar dipelihara negara, maka pemerintah harus memiliki konsep welfare state, yang merupakan revisi terhadap kapitalisme.

Sayangnya, saat ini konsep welfare state hanya menjadi impian rakyat karena makin hanyak orang menjadi pengungsi dan tergusur dan lapar di negeri sendiri. Seharusnya, Depsos tak lagi bekerja berdasarkan anggaran pemerintah, tetapi dapat menampung uang dari para pengusaha untuk dijadikan tunjangan sosial bagi orang miskin yang dikelola secara terbuka, diumumkan kepada masyarakat seperti Dana Kemanusiaan yang dikelola media massa. Dengan demikian orang paling miskin dan tidak bekerja pun bisa makan.
Barangkali bangsa Indonesia masih terus akan membayangkan terwujudnya masyarakat adil, sejahtera, dan berkeadaban. Namun, kita tidak perlu pesimis, bahwa di kumpulan serigala tidak semua berhati serigala. Pasti ada yang baik. Oleh karena itu untuk menatap hari esok yang lebih baik, pandanglah ke udara. Burung-burung yang tidak pernah menanam itu selalu makan karena ada yang memelihara. Bunga bakung di padang berwarna-warni indah karena ada tangan yang memeliharanya. Mengapa orang harus korupsi, sok kuasa, egois, nepotis, rasis, anarkis, dan semacamnya, kalau hanya butuh makan 3 kali sehari (kadang-kadang berpusasa) dan butuh rumah tipe 2x1 yang dibuatkan orang. Masih ada waktu untuk berbuat baik daripada tidak.(Suroso, adalah dosen Universitas Negeri Yogyakarta)

Tulisan ini diambil dari Suara Pembaruan Tanggal 4/11/2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan