Pemberantasan Korupsi; Berlindung di Balik Jubah Penegak Hukum

Dunia peradilan di Indonesia memang karut-marut dan kotor. Tak sekadar kasak-kusuk atau bisik-bisik, namun dibuktikan dengan kenyataan di depan mata yang mengentakkan nurani.

Kotornya dunia peradilan bukan hanya ditunjukkan melalui vonis bebas yang dijatuhkan hakim atas terdakwa perkara korupsi, melainkan juga terlibatnya penegak hukum di dalam tindak pidana korupsi, yang seolah tanpa batas.

Mengamini pendapat yang dikemukakan Denny Indrayana, ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang juga Direktur Indonesian Court Monitoring, korupsi adalah kejahatan luar biasa. Maka, sangat luar biasa apabila yang melakukan korupsi adalah penegak hukum itu sendiri. Mestinya tiada ampun bagi oknum penegak hukum yang main mata dan ikut ambil bagian dalam tindak pidana korupsi atau memanfaatkan kewenangannya untuk memperoleh keuntungan saat menangani perkara korupsi.

Sejumlah perkara pidana korupsi telah menyeret oknum penegak hukum ke kursi terdakwa atau tersangka. Kasus yang masih hangat, misalnya, terseretnya sejumlah petinggi polisi dalam perkara yang berawal dari pembobolan Bank Negara Indonesia oleh Grup Gramarindo pada 2002-2003 sebesar Rp 1,2 triliun. Semula, masyarakat yang terenyak dengan kasus pembobolan bank pemerintah yang melibatkan jumlah uang sedemikian besar, dipuaskan dengan dijatuhkannya vonis terhadap pihak Grup Gramarindo maupun BNI. Perjalanan kasus ini justru semakin membuat masyarakat sesak dan pedih karena melibatkan polisi yang notabene adalah penegak hukum.

Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung, mantan Direktur II Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Samuel Ismoko, dan mantan Kepala Unit II/Perbankan dan Pencucian Uang Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Besar Irman Santosa adalah tiga polisi yang terlibat dalam perkara BNI. Saat ini ketiganya sedang menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka didakwa melakukan korupsi dengan menerima hadiah karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan, saat menyidik perkara pembobolan BNI Cabang Kebayoran Baru.

Sungguh miris. Dalam dakwaan jaksa disebutkan, Ismoko menerima uang dari Adrian Herling Waworuntu, mantan konsultan investasi Grup Gramarindo. Suyitno Landung juga menerima mobil Nissan X-Trail seharga Rp 247 juta dari Adrian. Sementara itu, Irman menerima 350 ribu dollar AS dari Dicky Iskandardinata. Serah terima uang dan barang itu dilakukan saat polisi tengah menyidik perkara pembobolan BNI Cabang Kebayoran Baru. Adrian dan Dicky adalah pihak yang saat itu disidik polisi.

Tak cukup polisi. Di jajaran pengadilan, giliran hakim yang terseret gelombang tindak pidana korupsi. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Herman Allositandi mencoba bermain api saat menangani perkara korupsi di PT Jamsostek. Mengajak panitera PN Jakarta Selatan Andry Djemi Lumanauw, Herman didakwa menggunakan kekuasaannya untuk memaksa saksi perkara korupsi PT Jamsostek, Walter Sigalingging, menyerahkan sejumlah uang. Herman yang dituntut jaksa lima tahun penjara dan Djemi yang dituntut empat tahun penjara didakwa melakukan pemerasan terhadap saksi.

Jika diilustrasikan, perkara korupsi di PT Jamsostek ibarat kerikil yang dilemparkan ke kolam. Di sekeliling titik masuknya kerikil di kolam akan muncul lingkaran-lingkaran yang membesar seiring kian jauhnya jarak dari titik jatuhnya kerikil. Seluruh lingkaran saling berkaitan. Di pusat, tempat kerikil jatuh, ada mantan Direktur Utama PT Jamsostek Ahmad Djunaidi dan mantan Direktur Investasi PT Jamsostek Andy Rachman Alamsyah.

Lingkaran mulai muncul tatkala polisi sebagai salah satu unsur Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menahan Djemi

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan