Pemberantasan Korupsi Belum Kiamat

Prosesi pemilihan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi baru saja usai. Tiada kejutan dari proses tersebut. Keputusan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat sudah dapat diduga jauh hari. Dalam struktur dan konstelasi politik saat ini, sangat wajar jika kebijakan yang ditelurkan berusaha disinkronkan dengan kepentingan politik. Politikus dan partai politik melalui fraksinya di DPR melakukan kalkulasi rasional dalam rangka survival politik.

Pinto Duschinsky (2003) mengkategorikan pendapatan menjadi tiga: yang legal, ekstralegal dan ilegal. Pada negara berkembang, bahan bakar politik kebanyakan berasal dari rente, hasil korupsi, dan pemasukan dari kegiatan ekonomi ilegal. Bensin politik ini tidak ramah lingkungan serta menggerogoti kantong pembayar pajak. Wajar jika pelemahan agenda antikorupsi menjadi sasaran. Intervensi kekuasaan atas agenda yang berhubungan dengan hajat hidup partai politik juga dilakukan di negara lain. Pengalaman Italia dan Thailand bisa dijadikan pembanding dari upaya penjinakan baik lembaga maupun upaya antikorupsi.

Kooptasi ala Thaksin
Thaksin Shinawatra, Perdana Menteri Thailand yang dikudeta tahun lalu, mempunyai kiat tersendiri dalam membonsai upaya pemberantasan korupsi, khususnya yang menyangkut diri dan keluarganya serta partai berkuasa Thai Rak Thai. Di awal masa pemerintahannya, Thaksin sudah dirongrong dengan skandal penggelapan pajak dan kebohongan publik atas laporan kekayaannya. Kala itu, National Counter Corruption Committee (NCCC) menginvestigasi penggelapan kekayaan dan aset perusahaan yang ditujukan untuk menghindari pajak. Triknya, memecah harta dan dibagi-bagikan kepada sopir serta pembantu rumah tangga keluarga Shinawatra (Pasuk dan Baker, 2004).

Investigasi NCCC berhasil menelusuri upaya penggelapan tersebut dan atas seizin Senat menggelar persidangan. Kasus ini sempat membuat karier politik Thaksin di ujung tanduk. Tapi, dengan kelihaiannya, ia terbebas dari jeratan hukum. Pascapersidangan, Thaksin segera merancang strategi untuk melemahkan sekaligus mengkooptasi lembaga-lembaga negara (state auxiliary bodies) agar tidak merongrong kekuasaannya. Kesempatan pembersihan terbuka saat pergantian para komisioner.

Pascapemilu 2003, Partai Thai Rak Thai, yang menjadi mayoritas parlemen, menguasai baik Senate maupun House of Representative untuk mengocok ulang keanggotaan komisi-komisi tersebut. Berturut-turut, commissioner NCCC, komite persaingan usaha, dan Hakim Mahkamah Konstitusi diganti setelah melalui proses seleksi di Kongres. Alhasil, dengan menempatkan commissioner boneka, kekuasaan Thaksin aman dari kontrol lembaga-lembaga tersebut (Pasuk dan Baker 2004). Kekuasaan politik dan ekonomi Thaksin nyaris menjadikannya legenda dalam politik modern Thailand. Kudeta kelompok militer, yang merasa tersisih dalam kancah politik mengakhiri upaya Thaksin membangun dinasti politik-ekonomi di Negeri Gajah Putih itu.

Impunitas politik
Pertautan antara korupsi dan kekuasaan seolah kembar siam, yang sulit dipisahkan dari pentas politik Italia. Namun, di pengujung 1993, parlemen Italia mengeluarkan keputusan drastis dengan menghilangkan imunitas anggotanya yang memungkinkan wakil rakyat diperiksa secara hukum. Inilah titik dimulainya serangkaian pembersihan politikus korup dengan nama Mani Pulite (Operasi Tangan Bersih).

Gebrakan Mani Pulite berawal dari Milan dan dengan cepat menyebar ke kota-kota lainnya. Operasi yang dilancarkan sekelompok jaksa bersih, dipimpin oleh Antonio di Pietro, memproses lebih dari 5.000 orang, di antaranya perdana menteri, menteri kabinet, politikus, pejabat birokrasi, aparat kepolisian, jaksa, hakim, dan konco bisnis mereka.

Hasilnya cukup menggemparkan. Presiden Francesco Cossiga mengundurkan diri setelah empat partai politik koalisi pemerintah (Christian Democratic Party, Italian Socialist Party, The Italian Socialist Democratic Party, dan Italian Liberal Party) membubarkan diri atau bahkan menghilang dari jagat politik. Puluhan politikus dan pengusaha kroni bunuh diri guna menghindari jeratan hukum. Secara total, operasi tangan bersih menyeret dan menghukum 582 orang.

Mani Pulite menghadapi tembok kekuasaan saat Silvio Berlusconi menjadi perdana menteri pada Maret 1994. Segera, setelah memimpin, kabinet mengeluarkan dekrit yang membatasi kewenangan hakim menahan tersangka korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya. Pukulan telak datang dari DPR Italia, yang pada November 1998 menolak pembentukan komisi khusus pada tim Mani Pulite. Akibatnya, Operasi Tangan Bersih dihentikan. Ditambah lagi Senat mengeluarkan undang-undang yang men-de-kriminalisasi kasus manipulasi akuntansi dan keuangan. Senat pun meratifikasi perjanjian antara Italia dan Swiss untuk kerja sama peradilan, tapi justru membatasi aparat penegak hukum mendapatkan informasi dari lembaga perbankan Swiss.

Langkah pamungkas, pada Juni 2003, pemerintah Berlusconi mengeluarkan keputusan memberikan impunitas kepada perdana menteri, menteri-menteri kabinet, dan anggota parlemen. Undang-undang yang dikenal dengan nama Lodo Schifani ini memetieskan semua kasus hukum atas Berlusconi. Muak dengan sepak terjang politikus, pemilih Italia menjatuhkan hukuman dengan menjatuhkan pemerintahan Berlusconi dan digantikan dengan aliansi Kiri, yang menjanjikan perubahan perilaku politik.

Lampu merah
Tampak jelas pemimpin KPK adalah komisioner boneka. Alih-alih membangun benteng kukuh dalam membasmi korupsi, Komisi III malah memilih kandidat yang diragukan integritas dan rekam jejaknya. Tapi tak perlu berkecil hati. Ini bukan berarti upaya membasmi korupsi berhenti. Jika belajar dari Thailand, jalan yang bisa ditempuh melalui kudeta. Tapi lebih bijak jika langkah pemilih Italia yang ditiru. Pemilu 2009 sudah di depan mata. Setidaknya kita bisa memensiunkan para anggota Komisi III yang telah gegabah dan tuna-nurani dalam membuat keputusan politik. Sebagai pemilih, kita bisa menghukum mereka dengan tidak lagi memberikan kuasa atas representasi rakyat.

Langkah lain adalah memberikan target yang terukur kepada komisioner baru. Jangan lupa, KPK adalah institusi yang tidak melulu identik dan sebangun dengan para pemimpinnya. Tentu masih banyak anggota staf KPK yang mempunyai integritas dan komitmen. Anggota staf KPK ini bisa memberikan penilaian, di samping publik, atas kinerja para komisioner. Jika ternyata komisioner boneka wan berprestasi, sudah sewajarnya jika publik mendesak yang bersangkutan mengundurkan diri. Terpilihnya komisioner boneka bukanlah kiamat bagi pemberantasan korupsi. Toh, selama ini motor pemberantasan korupsi di tangan masyarakat, juga media, yang getol membongkar kasus korupsi. Kontribusi negara, baik pemerintah, DPR, maupun Mahkamah Agung, jauh dari harapan.

Lucky Djani, peneliti Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 13 Desember 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan