Pemberantasan KKN, Mungkinkah? Masukan untuk Para Calon Presiden

Tulisan ini terutama saya tujukan kepada para calon presiden yang, bila kelak terpilih, akan memimpin negara kita yang kini masih bergumul dengan keterpurukan akibat krisis multidimensi. Keinginan ini muncul saat mengikuti paparan beberapa calon presiden dalam acara di televisi tentang apa yang akan menjadi program utama mereka dalam usaha membawa bangsa ini ke luar dari situasi krisis.

Hampir semua calon presiden berbicara tentang masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai salah satu tantangan yang harus diberantas. Mudah- mudahan, bila ada nilainya, bisa dijadikan bahan masukan dalam mengisi masa depan bangsa kita. Saya ingin mulai dengan pengalaman yang amat pribadi.

Mulai 1 Maret lalu saya memasuki masa pensiun dua tahun sebelum waktunya. Percepatan ini adalah atas permintaan saya sendiri. Saya bekerja sebagai pegawai negeri sejak 43 tahun lalu, 1 April 1960. Dalam karier sebagai pegawai negeri, saya telah mencapai posisi puncak. Dalam jabatan struktural, saya pernah berada di eselon satu sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama, sedangkan untuk jabatan fungsional, saya sebagai ahli peneliti utama.

Pangkat dan golongan saya adalah lV/e. Karena itu, gaji pokok pensiun saya adalah jumlah yang tertinggi selaku pegawai negeri RI, yaitu Rp 1.125.000 (satu juta seratus dua puluh lima ribu rupiah). Jumlah ini akan ditambah tunjangan istri 10 persen dan tunjangan beras 20 kg.

Saya masih beruntung karena memperoleh pensiun lain selaku bekas sekretaris negara, sebesar Rp 650.000 (enam ratus lima puluh ribu rupiah) ditambah tunjangan istri 10 persen.

Alhasil, setelah 43 tahun bekerja sebagai pegawai negeri dan 13 bulan sebagai sekretaris negara, jumlah pensiun yang saya terima sekitar Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) per bulan. Lumayan untuk sekadar menikmati sisa hidup suami istri di rumah sederhana tanpa mobil, telepon, mungkin juga tanpa kulkas untuk menghemat listrik dengan harapan badan tetap sehat sehingga tidak perlu ke dokter dan beli obat di apotek dan tidak memperoleh undangan menghadiri pesta perkawinan.

MELIHAT kenyataan itu, bisa ditarik kesimpulan, amat sulit dibayangkan seorang pejabat untuk tidak melakukan korupsi. Sebab, tanpa melakukan korupsi, agaknya tidak mungkin seorang pegawai negeri yang mengandalkan hidupnya pada gaji semata mampu membangun atau membeli rumah besar dan mobil pribadi, menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi, atau untuk menunaikan ibadah haji bagi yang Muslim atau melaksanakan pesta perkawinan yang mewah dan meriah.

Dengan mengemukakan keberuntungan saya sebagai pensiunan pegawai negeri, saya ingin menarik perhatian para politisi kita yang berkaok-kaok tentang pemberantasan KKN. Pemberantasan KKN di negeri kita adalah sebuah mission impossible, omong kosong. Maka, tidaklah terlalu mengherankan bila semua usaha pemerintah untuk memberantas KKN akan berakhir dengan kesia-siaan.

Itulah kondisi obyektif yang amat besar perannya dalam kesemarakan KKN di negeri kita. Birokrasi yang korup tidak hanya merugikan negara, tetapi juga amat membebani rakyat yang seharusnya memperoleh pelayanan sewajarnya. Boleh dikata semua program pemerintah, rutin atau proyek, tidak pernah diwujudkan sesuai dengan anggaran riil, apa adanya.

Praktik mark up anggaran dan/atau pemberian komisi adalah kenyataan yang pasti terjadi meski tidak dibuktikan. Praktik suap-menyuap yang amat merugikan masyarakat adalah kenyataan sehari-hari yang terjadi di semua jenjang birokrasi. Rakyat terpaksa mengeluarkan biaya sejak urusan kecil, seperti perolehan KTP, hingga urusan besar di pusat.

Semua urusan yang berkait dengan keharusan memperoleh izin adalah lahan untuk menambah penghasilan bagi pegawai negeri yang terkait pemberian izin. Dari tukang agenda surat masuk hingga pejabat yang berwenang memberi izin. Lebih-lebih di lingkungan yang berkaitan dengan pendapatan negara, seperti perpajakan dan bea cukai. Ini baru di lingkungan eksekutif.

Lingkungan lain, seperti yudikatif dengan segala instansinya, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, sampai-sampai rumah pemasyarakatan, tidak sunyi dari praktik korupsi. Demikian pula di lingkungan legislatif. Pendek kata, nyaris tidak ada ruang dalam pemerintahan kita yang bersih dari KKN.

KONDISI menyedihkan yang dialami pegawai negeri ini agaknya mulai terasa sejak bangsa kita ada dalam alam Demokrasi Terpimpin, ketika kontrol sosial makin melemah. Untuk sekadar memberi gambaran, gaji yang diterima pegawai negeri masa itu jauh lebih baik, dapat dilihat dari kecukupan seorang pelajar yang menerima ikatan dinas, baik di tingkat SLTP maupun SLTA. Ikatan dinas seorang pelajar sekolah guru tingkat SLTP sebesar Rp 152 (seratus lima puluh dua rupiah) dan sekolah kejuruan lain di tingkat SLTA sebesar Rp 172 (seratus tujuh puluh dua rupiah).

Jumlah sebesar itu cukup untuk membayar indekos dan biaya hidup sehari-hari, seperti jajan dan nonton di bioskop, bahkan kalau lebih hemat bisa menabung sekadarnya tanpa memperoleh tambahan kiriman wesel dari orangtua. Kira-kira sama dengan beasiswa yang diperoleh seorang mahasiswa di universitas di luar negeri saat ini. Karena itu, gaji yang diterima seorang pegawai negeri bisa diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Zaman normal ini berakhir sekitar awal tahun 1960-an. Setelah itu, bangsa kita mengalami masa tidak normal yang panjang dan entah kapan akan berakhir.

Jika menyadari kenyataan itu, akan terasa aneh bila saat ini orang masih berbicara tentang pemerintahan yang bersih, tentang good governance, dan sebagainya. Agaknya tak lebih dari pungguk merindukan bulan. Tragis dan ironis sekali justru di masa kini, yang disebut sebagai era reformasi yang lahir sebagai protes terhadap pemerintahan Orde Baru yang dianggap penuh KKN, keadaannya, kata banyak orang, menjadi lebih buruk, lebih parah, dan lebih merata.

TULISAN ini bernada pesimistis bahkan nyaris putus asa. Apa boleh buat, karena saya tidak punya alasan untuk bersikap optimistis. Dalam situasi batin yang pesimistis, saya ingin mencoba menyodorkan langkah yang bisa diambil, bila mungkin untuk memperbaiki keadaan atau paling tidak untuk menahan agar bangsa kita tidak lebih terpuruk dalam kesemarakan praktik KKN.

Langkah tersebut adalah rasionalisasi birokrasi negara. Reformasi tanpa rasionalisasi birokrasi rasanya tidak lebih dari sebuah dagelan. Mengapa rasionalisasi birokrasi? Sebab, negara kita adalah negara birokrasi. Hampir semua bidang kehidupan kita tidak lepas dari birokrasi.

Situasi birokrasi negara kita tidak banyak berbeda dengan PT Dirgantara Indonesia. Negara kita amat dibebani jumlah pegawai negeri yang amat besar, tetapi tidak efisien dan tidak produktif. Lebih membebani daripada melayani masyarakat.

Dengan menganalogikan birokrasi kita dengan PT Dirgantara Indonesia, saya ingin menekankan langkah rasionalisasi birokrasi harus bermula dengan pengurangan jumlah pegawai secara besar-besaran. Sebagian besar pegawai negeri harus dirumahkan (bukan dikenai PHK). Artinya, mereka tidak diberhentikan, hanya dinonaktifkan. Gaji mereka yang dirumahkan tetap dibayar sampai masa pensiun tiba. Asuransi kesehatan yang berlaku bagi pegawai negeri juga tetap diberlakukan untuk mereka.

Dengan merumahkan sebagian besar pegawai negeri, akan terjadi penghematan listrik, telepon, ruangan, alat-alat perkantoran, kendaraan, dan sebagainya. Tentu di antara mereka yang dirumahkan masih banyak yang berusia produktif. Untuk mereka, seyogianya diberi kemudahan membuka lapangan kerja baru. Selain kemudahan untuk memperoleh kredit, prosedur untuk memperoleh izin usaha harus disederhanakan, diperlancar, dan dipersingkat tanpa pungutan liar yang telah membudaya di masyarakat.

Untuk satu dua tahun pertama, mereka hendaknya diberi keringanan pajak. Mereka yang masih dipekerjakan adalah mereka yang memang diperlukan dan harus dibayar dengan gaji yang mencukupi keperluan hidup mereka yang wajar. Dengan demikian, diharapkan birokrasi kita cukup ramping dan gesit dalam melayani kepentingan masyarakat. Semoga.(Djohan Effendi Penulis adalah Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace)

Tulisan ini diambil dari Kompas, Senin, 03 September 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan