Pemberantasan Belum Usai

Hampir tidak ada hari tanpa berita korupsi di sepanjang tahun ini. Berita heboh muncul sekitar Maret lalu. Anggota Komisi Pemilihan Umum, Mulyana W. Kusumah, tertangkap tangan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di sebuah kamar hotel di Jakarta karena membawa uang Rp 150 juta. Uang itu digunakan Mulyana untuk berusaha menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan, Khairiansyah Salman, yang juga berada di kamar itu. Kala itu Badan Pemeriksa Keuangan sedang melakukan audit terhadap pengadaan bahan pelaksanaan Pemilihan Umum 2004.

Tertangkapnya Mulyana merembet hingga sang Ketua Komisi Pemilihan Umum, Nazaruddin Sjamsuddin. Satu per satu personel yang ada di lembaga penyelenggaraan pemilihan umum itu dipereteli--meski tak semuanya. Nazaruddin pun ditetapkan sebagai tersangka dan divonis tujuh tahun penjara.

Kiprah Komisi Pemberantasan tidak berhenti. Peristiwa tertangkapnya seseorang yang berusaha menyuap kembali terjadi. Beberapa bulan kemudian, dua pejabat di lingkungan peradilan, yakni wakil panitera pengadilan tinggi Ramadhan Rizal dan panitera muda pidana pengadilan tinggi M. Soleh, tertangkap tangan dengan uang Rp 250 juta. Uang itu dibawa Teuku Syaifuddin alias Popon yang digunakan untuk mengurus perkara banding Gubernur (nonaktif) Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh.

Tak berhenti di situ, Presiden pada Mei lalu membentuk Tim Pemberantasan Korupsi. Tim gabungan dari berbagai elemen di bawah koordinasi Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan itu langsung menggebrak dugaan penyelewengan Dana Abadi Umat di Departemen Agama. Tim juga menyoroti berbagai dugaan praktek korupsi yang terjadi di lembaga pemerintah dan badan usaha negara.

Tiga bulan menuju pergantian tahun, Komisi Pemberantasan Korupsi kembali dengan aksi-nya. Di tengah malam menjelang dini hari pada 29 September 2005, Komisi Pemberantasan menangkap Harini Wijoso, mantan hakim tinggi Yogyakarta. Komisi Pemberantasan juga mencokok lima pegawai Mahkamah Agung, yakni Pono, Sudi Ahmad, Suhartoyo, Malem Pagi Sinuhaji, dan Sriyadi. Mereka ditangkap dengan tuduhan penyuapan dan upaya memuluskan perkara pengusaha Probosutedjo. Setelah pensiun sebagai hakim tinggi, Harini beralih profesi sebagai pengacara Probosutedjo.

Tapi rupanya drama penangkapan itu bermula dari laporan Probosutedjo sendiri pada 23 Juli 2005. Saya sudah habis Rp 16 miliar, kata Probosutedjo. Uang sebanyak itu digunakan agar dia bisa terbebas dari perkara yang melilitnya. Sebanyak Rp 10 miliar di antaranya untuk mengurus tingkat peradilan negeri dan banding. Uang itu, kata Probosutedjo, diminta para pengacaranya untuk mengurus hakim dan jaksa.

Adik tiri mantan presiden Soeharto itu memang dililit kasus korupsi proyek hutan tanaman industri dengan kerugian negara Rp 100,9 miliar. Pada tingkat pengadilan negeri, Direktur Utama Menara Hutan Buana itu divonis empat tahun. Hukumannya dikurangi dua tahun pada tingkat banding.

Sebagai pelapor, Probosutedjo meminta perlindungan hukum ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi kontroversi terjadi. Seperti dikatakan Abdullah Hehamahua, penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa Probosutedjo tetap bisa dijadikan tersangka penyuapan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Bila ada saksi yang terkena sindikat tapi kemudian buru-buru melaporkan, kata dia, hukumannya diperingan saja.

Untuk mengkategorikan Probosutedjo sebagai saksi pelapor atau pelaku penyuapan, perlu aturan yang tegas. Apalagi Indonesia belum mempunyai Undang-Undang Perlindungan Saksi.

Seperti didesak Transparency International dalam pertemuan dengan Presiden menjelang akhir tahun, Presiden perlu segera mengagendakan dibuatnya Undang-Undang Perlindungan Saksi. Sebab, saksi yang ingin membongkar suatu kasus korupsi ketakutan jika dirinya diproses secara hukum dan menjadi tersangka, ujar Ketua Dewan Pengurus Transparency Todung Mulya Lubis.

Pemberantasan korupsi belum usai. Perlu keberanian, dari pelapor dan pelaku, serta didukung komitmen pemerintah. SUKMA N LOPPIES

Sumber: Koran Tempo, 27 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan