Pembentukan OJK Terlalu Mahal

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan pada 1 Januari 2013 dianggap berisiko. Investasi yang dikeluarkan pemerintah untuk membentuk OJK dan membangun sistem hingga pembiayaan awal di masa transisi dinilai terlalu mahal dengan risiko kegagalan yang tinggi.

Rimawan Pradiptyo, ekonom dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta mengatakan, sistem OJK yang dicontoh pemerintah Indonesia saat ini belum dapat menjamin keberhasilan pengawasan terhadap lembaga keuangan. Justru, terjadi kesalahan pola pikir yang menempatkan pembentukan lembaga semacam OJK di tahap pertama sistem pengawasan. Menurut Rimawan, ada cara yang lebih murah dan terbukti efektif untuk menjalankan funsgi ini, yakni melalui sistem interfacing data, yakni penyatuan data antar lembaga pengawas yang saat ini telah beroperasi.

Dalam hal ini Bank Indonesia sebagai pengawas Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, Bapepam-LK sebagai pengawas Bursa Saham dan lembaga Keuangan Non Bank, Kementerian Negara Koperasi dan UKM yang mengawasi koperasi, dan Kementerian Perdagangan yang mengawasi bursa berjangka komoditas dapat bekerjasama menyatukan data sebagai tahap awal pengawasan. "Data interfacing ini sederhana tapi efektif. Dalam keadaaan krisis seperti ini, tak perlu membentuk badan terlebih dahulu, yang penting data interfacing dan kemudian penyetaraan kualitas. Setelah itu baru pembentukan OJK," terang Rimawan dalam konferensi pers di Kantor ICW, Jalan Kalibata Timur, Rabu (2/11/2011).

Kunci permasalahan terjadinya korupsi, pencucian uang, penggelapan dana dan berbagai bentuk tindak kejahatan di sektor keuangan berawal dari informasi yang asimetris. Tidak ada koordinasi antar lembaga pengawas sehingga ada kemungkinan terjadinya potensi penyalahgunaan. Informasi yang tidak merata ini bisa dipecahkan dengan saling menyambungkan informasi database antar lembaga pengawas keuangan. "Tapi tidak ada ceritanya asimetrik informasi bisa dipecahkan dengan membentuk lembaga baru," lanjutnya.

Biaya pembentukan OJK di awal dinilai Rimawan terlampau mahal. Dari perhitungannya jika OJK harus mengawasi 1.670 LKNB, 121 Bank, dan 1.881 BPR plus lembaga keuangan mikro, Baitul Mal wat Tamwil (BMT) dan koperasi simpan pinjam yag berjumlah 91.220 di seluruh pelosok Indonesia, biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 20 triliun, ditambah biaya operasional hingga Rp 11 triliun pertahun.

Ongkos sebanyak ini, bisa jauh dipangkas jika pemerintah memutuskan untuk menjalankan sistem data interfacing terlebih dahulu. "Biayanya sekitar Rp 1 miliar," katanya.

Selain mahal, independensi OJK diragukan karena struktur komisioner yang memuat anggota dari kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kalangan praktisi keuangan. Juga, karena pembiayaan OJK berasal dari iuran dari pelaku jasa keuangan yang merupakan obyek pengawasan. "Masak yang mengawasi dibayar yang diawasi? Masak sipir dibiayai narapidananya? Saya sulit melihat alur logikanya," katanya.

Sementara itu, Koordinator ICW Danang Widoyoko menilai sistem interfacing data ini penting untuk mencegah pembobolan dana nasabah seperti dalam kasus Antaboga. "Jika tak ada interface data, meskipun OJK telah dibentuk, ada kekhawatiran kasus Antaboga kembali terulang," pungkas Danang. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan