Pembenahan Kejaksaan; Terlalu Berani kalau Sampai Terjadi Lagi
Kasus tertangkapnya Urip Tri Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2 Maret 2008 menjadi pukulan telak bagi kejaksaan. Jaksa Agung Hendarman Supandji bahkan menyatakan, nama institusi yang dipimpinnya sejak 9 Mei 2007 itu rusak akibat peristiwa tersebut.
Kasus tertangkapnya Urip Tri Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2 Maret 2008 menjadi pukulan telak bagi kejaksaan. Jaksa Agung Hendarman Supandji bahkan menyatakan, nama institusi yang dipimpinnya sejak 9 Mei 2007 itu rusak akibat peristiwa tersebut.
Pascaperistiwa itu, kejaksaan membentuk tim yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pengawasan MS Rahardjo untuk memeriksa secara internal sejumlah pihak. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dan Direktur Penyidikan pada Bagian Tindak Pidana Khusus Muhammad Salim dicopot dari jabatan. Urip juga diberhentikan sementara sebagai pegawai negeri sipil.
Meski tertangkapnya Urip sudah terjadi tiga bulan lalu, hingga kini gaungnya masih terdengar. Apalagi, masih ada kekhawatiran kejadian serupa mungkin terjadi lagi. Lalu, apa tindakan preventif kejaksaan?
Berikut petikan wawancara Kompas dengan Jaksa Agung Muda Pengawasan MS Rahardjo di ruang kerjanya pada akhir Mei 2008.
Langkah apa saja yang sudah dilakukan kejaksaan untuk mencegah terulangnya kasus Urip?
Saya sudah memprogramkan, sebelum kasus Urip itu, dengan melakukan reformasi birokrasi di lingkungan pengawasan.
Tahap pertama, mereformasi ketentuan-ketentuan yang ada di pengawasan, yang sudah berhasil dengan lahirnya enam peraturan Jaksa Agung pada Hari Bhakti Adhyaksa tahun 2007. Setelah itu, ditindaklanjuti dengan action plan, antara lain dengan tahap implementasi.
Dengan kasus UTG (Urip Tri Gunawan) ini dan kasus Papua (pejabat Kejaksaan Tinggi Papua dicopot karena perbuatan tercela), ada peningkatan kepercayaan publik, khususnya di bidang pengawasan. Artinya, begitu kasus Papua kami angkat dan pencopotan beberapa pejabat eselon III, publik merespons bahwa pengawasan tidak dalam nuansa untuk membela korps lagi, tidak dalam nuansa untuk menutup- nutupi.
Kami juga menyiapkan instrumen untuk memonitor perilaku jaksa. Pasca-Urip itu, kami pertajam lagi IPKJ (instrumen penilaian kinerja jaksa). Dalam IPKJ, seorang jaksa diobservasi dan mengobservasi dirinya sendiri. Kami juga melakukan profile assessment terhadap calon- calon kepala kejaksaan negeri. Pengawasan juga memiliki rekam jejak jaksa selama menjadi pegawai.
Sebelum kasus Urip, ada kasus jaksa Burdju dan Cecep yang divonis menerima suap saat menangani perkara Jamsostek?
Mekanisme pengawasan melekat, mekanisme operasional dari sistem pengawasan tetap terbangun dengan sistem yang bagus dan mengeliminasi adanya penyimpangan. Dan, si pelaksana, dalam hal ini aparat pengawasan, pejabat struktural, melingkupi satuan kerja di daerah. Bagaimana pun hebatnya sistem, kembali ke istilah, man behind the gun.
Atas dasar itulah, akhir-akhir ini betul-betul dipertajam sistem rapat pimpinan dan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan karena akan menempatkan orang-orang yang sekaligus bisa mengoperasionalkan visi-misi kedinasan. Dia juga harus melaksanakan sistem pengawasan melekat.
Kalau sampai kejadian serupa terjadi lagi?
Mudah-mudahan tidak. Kami akan mengusut dan mencari akar masalah yang lebih mendasar. Pada situasi demikian masih ada kejadian serupa, kan kelewatan sekali. Kami mesti mencari format yang lebih efisien dan lebih efektif dan mencari titik lemahnya. Terlalu berani kalau sampai terjadi lagi!
Sejauh ini, di mana kelemahannya?
Di satu sisi, memang masalah integritas kepribadian person yang bersangkutan. Di lain sisi, unsur pengawasan melekatnya kurang tajam. Ketika kita bicara soal waskat, kita harus lihat figur yang melaksanakan waskat, dalam hal ini atasan langsung pelaku.
Kasus UTG memang sempat rampai diberitakan, pemeriksaan ini dikhawatirkan akan mempersempit dan melindungi korps...
Sekarang sudah terlihat hasil akhirnya walaupun belum final. Karena putusan PP No 30/1980 tentang pelanggaran disiplin itu kan belum dikenakan karena memang prosedur dan ketentuan hukum yang ada menunggu keputusan pengadilan. Setidaknya, langkah-langkah yang dilakukan tidak ada nuansa perlindungan, tidak ada nuansa toleransi.
Kepada Urip telah diskors, bahkan pejabat eselon II dan I yang menduduki jabatan strategis telah dialihtugaskan.
Kedua pejabat itu gagal melaksanakan pengawasan melekat?
Tidak secara purna dapat melaksanakan waskat sehingga kejadian itu terjadi.
Bagaimana dengan peran masyarakat dalam pengawasan tindakan dan kinerja jaksa?
Peran serta masyarakat di bidang pengawasan kami respons secepat mungkin. Dalam arti, setiap pengaduan masyarakat yang menyangkut perilaku jaksa maupun profesionalisme jaksa, khususnya yang bertitik sentuh dengan integritas kepribadian, secepatnya kami respons.
Kalau menyangkut perilaku, secepatnya diperiksa dan diusulkan soal penjatuhan hukuman disiplin. Dalam penjatuhan hukuman disiplin itu, format yang bersifat birokratis kami terobos.
Saya selalu meminta kepada semua aparat pengawasan yang menangani kasus. Hasil akhir sebuah laporan, sesuai filosofi dan perumusan yang ada pada pengawasan, prinsip transparansi kami pegang.
Soal kasus Urip. Informasi yang beredar menyebutkan, dugaan keterlibatan pejabat di Kejaksaan Agung yang berhubungan telepon dengan pihak yang diselidiki dalam kasus BLBI. Bagaimana?
Kalau kita bicara soal rumor, hubungan telepon, dan sebagainya... kan mestinya kalau si penyadap pembicaraan telepon itu betul ada, kenapa tidak diangkat saja, dikonfirmasi kepada yang disadap?
Sebab, jangan sampai sebuah isu berkembang menjadi hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kenapa tidak diklarifikasi saja kepada pejabat itu, dengan catatan diperlukan data pendukung. Kalau hanya suara yang mirip, bisa dibuat.
Bagi Anda, kasus Urip ini...?
Merupakan tantangan. Betul- betul sedih. Ada yang mengkhianati suatu misi yang harus kita laksanakan bersama.[Oleh Dewi Indriastuti]
Sumber: Kompas, 5 Juni 2008