Pembelian Sukhoi Berpotensi Rugikan Negara Rp 1,5 Triliun

Proyek pengadaan 6 pesawat Sukhoi SU 30 MK2 oleh Kementerian Pertahanan dikhawatirkan merugikan negara hingga Rp 800 miliar-1,5 triliun. Pemerintah diminta mengawasi proses pengadaan barang di Kemenhan yang dianggarkan mencapai Rp 150 triliun untuk periode 4 tahun.

Potensi kerugian negara itu dihitung berdasarkan anggaran yang dialokasikan oleh Kemenhan untuk pengadaan 6 pesawat Sukhoi senilai USD 470 juta. Anggaran itu dipecah untuk pembelian enam unit pesawat masing-masing senilai USD 54,8 juta, dengan total USD 328,8 juta. Anggaran untuk pembelian 12 mesin dan pelatihan 10 pilot dialokasikan USD 141,2 juta.

Anggaran tersebut dinilai terlalu tinggi, sebab menurut keterangan dari website perusahaan Rusia yang memproduksi Sukhoi,Rosoboronexport, harga satu unit pesawat hanya berkisar di angka USD 48 juta.

"Dari perhitungan kasar, potensi kerugian negara akibat mark-up mencapai 800 miliar hingga Rp 1,5 triliun," ujar wakil Koordinator ICW Adnan Topan Husodo dalam konferensi pers di kantor Kontras, Jakarta, Rabu (14/3/2012).

Dalam proyek pembelian Sukhoi, Kemenhan menunjuk perusahaan rekanan, PT Trimarga Rekatama. Perusahaan tersebut juga berafiliasi PT Citra Persada dengan yang terlibat dalam proyek pembelian 17 tank ampibi pada 2010.

Mufti Makaarim, peneliti Institute for Defence Security and Peace Studies (IDSPS) menambahkan, proyek ini juga dinilai merugikan negara karena kontrak pembelian menggunakan mekanisme kredit eksport. Padahal, ada mekanisme yang lebih efektif dan tidak membebani anggaran, melalui pinjaman antarnegara. "Model pembelian yg menguntungkan untuk alutsista. Pinjaman antarnegara yg dapat diangsur 10-15 tahun dengan bunga lebih rendah," terang Mufti.

Polemik pembelian Sukhoi ini harus segera diselesaikan. Kemenhan diminta menjelaskan proyek pengadaan ini sejak proses awal, hingga pertimbangan mengapa akhirnya menyetujui pembelian dengan harga lebih tinggi dari harga pasar.

Sesuai UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), informasi mengenai pengadaan barang dan jasa di setiap badan publik merupakan informasi yang terbuka. Masyarakat punya akses untuk mendapatkan informasi tersebut.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga harus mengawasi proses yang janggal ini. "Selama ini, KPK cenderung menghindari sektor keamanan," kata Mufti.

Selain KPK, Komisi I DPR RI yang membidangi sektor keamanan didesak untuk lebih mengawasi seluruh proyek pengadaan alutsista senilai Rp 150 juta untuk periode 4 tahun. "Besok kami akan menemui Komisi I DPR untuk beraudiensi terkait kasus ini," pungkas Adnan. Farodlilah

Unduh review kasus ini di sini . . .

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan