Pembalak Liar Sebagai Koruptor

Hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Greenomics pada Agustus 2004 menemukan bahwa praktek korupsi dan kolusi bisnis eksploitasi kayu di hutan diduga dilakukan hampir semua perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI) yang berdampak pada kerugian negara triliunan rupiah dan kerusakan hutan.

Hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Greenomics pada Agustus 2004 menemukan bahwa praktek korupsi dan kolusi bisnis eksploitasi kayu di hutan diduga dilakukan hampir semua perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI) yang berdampak pada kerugian negara triliunan rupiah dan kerusakan hutan.

Sedikitnya ditemukan 44 modus operandi yang dimanfaatkan perusahaan tersebut dalam menjalankan praktek korupsi yang melibatkan oknum pemerintah dan aparat hukum.

Modus tersebut di antaranya dengan menata area kerja yang dilakukan secara sepihak di atas kertas dan tidak melakukan kapitalisasi modal yang ditanamkan kembali ke dalam bentuk tegakan hutan. Selain itu, para perusahaan HPH dan HTI tidak melakukan kegiatan penanaman hutan kembali.

Praktek korupsi yang dilakukan perusahaan HPH dan HTI tidak lepas dari peran oknum pemerintah dengan memanfaatkan kewenangan pejabat pemerintah dan celah aturan hukum yang kurang tegas.

Tidak kurang dari 43 persen pemegang HPH dan HTI tidak memenuhi kerangka hukum bisnis kehutanan lestari. Sebesar 39 persen perusahaan tersebut mematuhi kerangka hukum hanya sepotong-sepotong, sedangkan sisanya, 18 persen, hanya berkinerja sedang.

Indikasi praktek korupsi yang dilakukan perusahaan HPH dan HTI juga dapat dilihat dari besarnya tunggakan dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan (PSDH) yang dilakukan perusahaan itu.

Selain itu, persoalan di bidang kehutanan ada pada persoalan maraknya praktek pembalakan liar (illegal logging). Masalah ini ternyata tidak diimbangi dengan proses penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan ini. Pada prakteknya, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta beberapa undang-undang lain seperti UU Keanekaragaman Hayati dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mampu menjerat orang-orang di level bawah atau lapangan (penebang, pengangkut, dan pengumpul), tidak sampai pemodal atau pihak tertentu yang punya andil cukup besar terhadap terjadinya illegal logging. Yang lebih memprihatinkan, banyak pelaku besar (cukong) hanya dikenai pelanggaran keimigrasian lantaran pada umumnya berkewarganegaraan asing.

Praktek pembalakan liar menyebabkan sejumlah dana (pajak dan retribusi) yang seharusnya masuk ke kas negara pada akhirnya masuk ke kantong pribadi. Praktek ini telah menyebabkan kerugian negara yang dipertegas oleh Menteri Kehutanan M.S. Kaban pada November 2004 bahwa aktivitas pembalakan liar mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 30 triliun per tahun (Koran Tempo, 14/11/2004).

Tapi menjerat pelaku pembalakan liar sama sulitnya dengan menjerat pelaku korupsi. Ada banyak benturan atau persoalan yang dihadapi untuk menjerat pelaku, seperti bukti-bukti yang tidak cukup kuat, aturan formal yang ternyata tidak dapat menjerat pelaku sesungguhnya, tidak seriusnya penegak hukum untuk menjerat pelaku, serta tidak adanya political will pemerintah terhadap pemberantasan praktek tindak pidana ini (korupsi dan pembalakan liar).

Pembalakan liar tidak mungkin terjadi sendiri begitu saja. Sudah barang tentu ada pihak lain yang membuka jalan atau membiarkan terjadinya pembalakan liar. Membuka jalan diartikan sebagai memberi izin atau melegalkan sesuatu yang tidak legal, sedangkan membiarkan diartikan sebagai menutup mata terhadap praktek ini, meskipun pejabat tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan atau penindakan secara hukum.

Pelaku pembalakan liar terdiri atas kategori. Pertama, pelaku aktif. Yang masuk kategori ini adalah individu atau korporasi yang secara aktif melakukan pekerjaan dari pembiayaan, pemotongan, hingga pengiriman atau penjualan hasil pembalakan liar.

Kedua, pelaku pasif. Yang masuk kategori ini adalah pihak-pihak yang memberikan izin kepada individu atau korporasi yang pada akhirnya melakukan pembalakan liar dengan memanfaatkan izin tersebut. Pihak-pihak tertentu ini punya peran yang signifikan dalam memperlancar praktek pembalakan liar.

Yang masuk juga sebagai pelaku pembalakan liar pasif adalah pihak (pejabat dan/atau aparat hukum) yang menerima pembayaran, kompensasi, dan suap dari pelaku aktif terkait dengan aktivitas ilegalnya.

Meskipun ini masih dalam perdebatan, pelaku pembalakan liar sesungguhnya dapat dijerat sebagai pelaku tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pelaku pembalakan liar aktif dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi karena upaya memperkaya diri (sendiri atau orang lain atau korporasi) secara melawan hukum yang dapat merugikan negara dan perekonomian negara dan/atau memberikan sesuatu atau janji terhadap pegawai pejabat (pejabat negara) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam hal pelaku pembalakan liar (aktif) memberikan sesuatu atau janji (suap) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait dengan masalah izin atau jaminan keamanan atau jaminan hukum atas aktivitasnya dalam melaksanakan praktek pembalakan liar, pelaku dapat dikenai Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pelaku pembalakan liar pasif (yang juga berstatus sebagai pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara) dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi karena beberapa hal.

Pertama, ia melakukan upaya menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001).

Kedua, ia menerima sesuatu atau janji (suap) sebagai akibat perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya atau dalam jabatannya (Pasal 5 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001).

Ada beberapa kelebihan apabila pelaku pembalakan liar dijerat dengan delik korupsi. Pertama, ancaman pidananya lebih berat. UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 mengatur adanya ancaman maksimal seumur hidup, bahkan dalam keadaan tertentu dapat diancam hukuman mati.

Sedangkan dalam UU Kehutanan, ancaman maksimal yang dapat dikenakan hanya 15 tahun penjara. Selain itu, UU Korupsi mengatur adanya ancaman minimal 1 tahun, sedangkan UU Kehutanan tidak mengatur ancaman pidana minimal. Jika ini dapat diterapkan, akan ada efek jera bagi pelaku pembalakan liar.

Kedua, penanganan kasus dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Apabila pelaku pembalakan liar dijerat dengan delik korupsi dan selanjutnya ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan, tapi pada prosesnya mengalami banyak hambatan atau rintangan atau justru melindungi pelaku utama, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK memiliki kewenangan untuk mengambil alih kasus korupsi tersebut.

Penanganan kasus korupsi oleh KPK setidaknya akan meminimalkan intervensi atau campur tangan dari pihak mana pun untuk mempengaruhi proses hukum dalam kasus ini.

Di samping tetap mendesakkan adanya peraturan pemerintah pengganti undang-undang mengenai pemberantasan pembalakan liar, terobosan hukum menjerat pelaku pembalakan dengan delik korupsi tidak ada salahnya diterapkan. Sekali lagi, perlu ada upaya luar biasa untuk menjerat pelaku pembalakan liar ini.

Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 10 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan