Pembahasan RUU Pengadilan Tipikor Jalan di Tempat

Pansus RUU Sudah Dibentuk, tapi Belum Pernah Rapat

Tenggat waktu tiga tahun yang diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) agar DPR menyusun UU Pengadilan Tipikor tinggal setahun. Sementara pembahasan RUU tersebut di DPR masih berjalan di tempat. Hal tersebut membuat pengadilan untuk para koruptor yang diusut KPK itu terancam tak bisa terwujud.

Berdasar amanat MK, pembahasan RUU Pengadilan Tipikor selambat-lambatnya dilakukan pada 19 Desember 2009. Apakah DPR bisa menyelesaikannya? ''Kalau melihat kondisi sekarang, menurut saya tidak ada lagi waktu untuk membahas (RUU Pengadilan Tipikor, Red),'' ujar pengamat hukum dari Universitas Sriwijaya Saldi Isra dalam diskusi Quo Vadis RUU Pengadilan Tipikor di DPD kemarin (12/11).

Saat ini DPR masih dalam massa reses. Meski pansus sudah terbentuk, penjadwalan pembahasan belum disusun. Masa sidang dimulai 24 Oktober 2008. Seminggu kemudian ada perayaan hari raya Idul Adha yang pasti dijadikan momen penting untuk berkampanye. ''Banyak-banyak berkurban di daerah pemilihan masing-masing akan menarik simpati masyarakat dan konstituen,'' katanya.

Dalam waktu yang tidak lama setelah Idul Adha, ada peringatan hari raya Natal, kemudian disusul tahun baru. Pada 2009, praktis konsentrasi anggota dewan akan terkuras untuk kampanye. ''Apalagi anggota partai yang menggunakan sistem suara terbanyak. Pasti akan banyak di daerah,'' lanjutnya.

Dua bulan berikutnya ada momen besar pemilu presiden. Pasti seluruh elemen partai juga akan berkonsentrasi untuk memenangkan jago masing-masing hingga dijadwalkan Indonesia mempunyai presiden baru sekitar Oktober 2009. Namun, saat itu DPR telah diisi sebagian orang baru. ''Tentu saja akan memengaruhi kinerja pansus,'' ungkap Saldi.

Praktis tinggal sekitar dua bulan untuk membahas secara intensif. ''Tapi, biasanya DPR itu membahas tatib saja nggak cukup sebulan,'' kritiknya.

Pembahasan RUU Pengadilan Tipikor menjadi batu uji untuk mengukur keseriusan partai politik dalam membangun sistem pemberantasan korupsi. Sebab, pemerintah dan DPR sama-sama dibangun dan diisi kader parpol.

Menurut Saldi, sejak awal pembahasan UU KPK, lembaga tersebut dibuat untuk bersifat ad hoc (sementara). ''Padahal, melihat perkembangan saat ini, KPK seharusnya dijadikan lembaga superpermanen,'' tegasnya. Karena itu, dia mengusulkan agar suatu saat KPK bisa dimasukkan dalam UUD 1945.

Namun, kata dia, di tengah pesimisme tersebut, masih ada optimisme yang bisa memberikan harapan atas komitmen pemerintah dan DPR dalam pemberantasan korupsi. Optimisme yang dimaksudkan Saldi adalah ''semangat'' ketika pansus revisi UU Mahkamah Agung bersikeras segera menyelesaikan pembahasan hanya untuk mengakomodasi perpanjangan masa pensiun beberapa hakim agung.

Saat itu, pembahasan revisi hanya dilakukan tak lebih dari dua bulan. ''Kalau untuk memperjuangkan masa pensiun hakim agung saja bisa dikebut (pembahasannya, Red), masak untuk hal besar seperti Pengadilan Tipikor tidak mau serius?'' ujarnya.

Kritik tajam juga muncul dari Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar. Menurut dia, eksekutif maupun legislatif sama-sama berdosa jika akhirnya UU Pengadilan Tipikor tidak bisa diselesaikan. ''Pemerintah dan DPR telah melakukan perselingkuhan dan dikhawatirkan melahirkan anak haram bernama UU Pengadilan Tipikor. Biasanya hasil perselingkuhan seperti itu cacat (hukum),'' ungkapnya.

Dekatnya momen pemilu dan pilpres bisa digunakan untuk meminta janji dan komitmen parpol serta calon presiden dalam pemberantasan korupsi. Masyarakat bisa meminta kontrak politik kepada para kandidat untuk segera menyelesaikan pembahasan UU Pengadilan Tipikor. ''Dari situ kita bisa lihat, parpol mana yang berani menandatangani kontrak,'' ujarnya.

Komitmen tersebut, lanjut Zainal, sangat penting karena salah satu episentrum terjadinya korupsi adalah partai politik. Dengan disahkannya UU Pengadilan Tipikor, sama saja mereka bunuh diri. Sebab, bakal banyak kader parpol yang terjerat kasus korupsi.

Sementara itu, anggota Pansus RUU Pengadilan Tipikor dari Fraksi PKS Agus Purnomo menuturkan, dalam penyusunan program legislasi nasional (prolegnas), DPR dan pemerintah sama-sama membahas. Termasuk menunjuk pihak mana yang diberi wewenang inisiatif membahas draf RUU. ''Jadi, kalau pemerintah telat menyerahkan draf ke DPR, tanggung jawab itu ada di sana (pemerintah, Red),'' jelasnya.

Saat ditanya mengapa pemerintah bisa telat menyerahkan draf RUU tersebut, Agus menduga karena banyak masalah yang dihadapi menteri hukum dan HAM saat itu, Hamid Awaludin. Saat itu, Hamid harus berkonsentrasi pada kasus dugaan korupsi di KPU dan disusul kasus di Depkum HAM. ''Selain itu, sinkronisasi antardepartemen dan istana membuat penyusunan draf RUU tersebut molor.'' (cak)

 

Sumber: Jawa Pos, 13 November 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan