Pembahasan Hakim Ad Hoc Buntu

Pemerintah dan DPR masih memperdebatkan soal keterbatasan SDM, keuangan, dan kriteria hakim ad hoc.

DPR dan pemerintah hingga saat ini masih dihadapi perdebatan dalam melakukan finalisasi RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor) khususnya dalam penentuan hakim ad hoc. Penetapan komposisi hakim ad hoc  menghadapi kebutuan karena pemerintah beralasan keterbatasan sumberdaya manusia dan keuangan, serta perdebatan mengenai penentuan kriteria hakim ad hoc yang akan menjalankan tugasnya di Pengadilan Tipikor.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan (HMP) Indonesia Corruption Watch (ICW), llian Deta Arta Sari mengatakan hingga menjelang batas akhir pembahasan RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah dan DPR belum menemukan kesepakatan dalam penentuan hakim ad hoc seperti yang diharapkan publik yakni tiga (hakim ad hoc) dan dua (hakim karir).

Menurut dia, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata berdalih pemerintah akan kesulitan merekrut hakim ad hoc jika Pengadilan Tipikor sebagai kesatuan dalam peradilan umum tersedia di semua kabupaten dan kota.

"Dia (Andi Mattalata) bersikukuh Pengadilan Tipikor harus berada di semua kabupaten dan kota yang jumlahnya mencapai 600 pengadilan. Berarti hakim ad hoc dibutuhkan sekitar 3000 orang. Itu tidak mungkin. Kita justru bertanya, siapa yang menyuruh buat Pengadilan Tipikor di kabupaten dan kota. Kita ingin region saja seperti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). Jadi, mencari hakim ad hoc itu tidak sulit," kata Deta kepada Jurnal Nasional di Jakarta kemarin.

Lantaran dalih Menteri Hukum dan HAM tersebut, sikap DPR yang sebelumnya melunak untuk menempatkan hakim ad hoc lebih dominan di Pengadilan Tipikor menjadi buyar kembali. Sementara deadline pembahasan RUU tersebut sudah mendekat.

Keberadaan hakim ad hoc dianggap penting karena hakim karir telah kehilangan kepercayaan dalam menangani perkara korupsi. Berdasarkan pemantauan ICW, 221 hakim karir telah bebaskan koruptor. Dari pemantauan sepanjang 2005 hingga Juli 2009, dari 1.643 terdakwa kasus korupsi, sebanyak 812 terdakwa yang divonis bebas.

Sementara itu, Ketua Pansus RUU Pengadilan Tipikor Dewi Asmara menyatakan, hingga saat ini DPR dan pemerintah belum dapat menentukan kriteria hakim ad hoc. Menurut dia, di dalam perundang-undangan dan aturan hukum di negara lain tidak mengenal adanya hakim ad hoc. Dia juga menilai, tidak mudah mencari hakim ad hoc yang memiliki kualifikasi.

"Jangan sampai keberadaan hakim ad hoc justru menjadi pekerjaan baru bagi pihak-pihak yang tidak punya kualifikasi, hanya sarjana hukum saja. Padahal, harus memiliki kemampuan lebih sebagai hakim yang diukur dari jam terbangnya menangani perkara," kata Dewi. [by : M. Yamin Panca Setia]

Sumber: Jurnal Nasional, 21 Agustus 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan