Peluang Gembosi KPK; KPK Bisa Perbaiki Kontrak PNS di KPK jika Presiden Mendukung

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memegang peranan terpenting dalam penyempurnaan aturan bagi pegawai negeri yang dikontrakkan di Komisi Pemberantasan Korupsi. Aturan yang ada saat ini membuka peluang adanya penggembosan terhadap KPK.

”Kontrak bagi pegawai negeri di KPK, selama ini berdasarkan peraturan pemerintah yang wewenang pembuatan dan perubahannya dimiliki Presiden,” kata pakar hukum tata negara, Irman Putra Sudin, Kamis (27/11).

Pernyataan Putra disampaikan saat menanggapi penarikan sejumlah pegawai negeri yang dikontrakkan di KPK meski sebagian dari mereka belum habis masa kontraknya.

Dalam Pasal 5 Ayat 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2005 tentang Manajemen Sumber Daya Manusia KPK disebutkan, masa penugasan pegawai negeri yang dipekerjakan di KPK paling lama empat tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali.

Pegawai negeri yang selama ini dipekerjakan di KPK berasal dari kepolisian, kejaksaan, BPKP, dan Departemen Keuangan.

Irman menilai, aturan itu membuka peluang adanya penggembosan KPK. Sebab, pegawai negeri yang ditempatkan di KPK, dengan berbagai alasan dan kepentingan, dapat sewaktu-waktu ditarik oleh institusi induk.

”Kondisi ini dapat menyulitkan perencanaan kerja di KPK. Ini karena yang ditarik di tengah jalan itu dapat mereka yang punya jabatan penting atau sedang terlibat dalam penanganan kasus penting. Padahal, seperti disampaikan Ketua KPK Antasari Azhar, butuh waktu dua bulan untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan itu,” papar Irman.

Jika sungguh-sungguh

Namun, solusi dari masalah itu sebenarnya relatif mudah karena PP berada di bawah kekuasaan presiden. ”Jika Presiden Yudhoyono memang sungguh-sungguh mendukung kerja KPK, beliau dapat mengubah isi Pasal 5 Ayat 3 itu dengan menyatakan, penghentian kontrak di tengah jalan hanya dapat dilakukan hanya dengan alasan tertentu. Misalnya, yang bersangkutan melakukan kesalahan fatal atau tindak pidana,” tutur Irman.

Cara lainnya, Presiden menerbitkan peraturan presiden (perpres) yang mengatur tata cara penarikan pegawai negeri di KPK. ”Jika mau, Presiden dapat menerbitkan perpres atau mengubah PP itu,” kata Irman.

Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Rudy Satrio Mungkantardjo, menambahkan, pendekatan kebijakan kepentingan harus dilakukan untuk melihat masalah penempatan pegawai negeri di KPK. Artinya, kebijakan yang diambil jangan merugikan KPK. Hal itu juga akan berarti mengganggu agenda kerja bangsa ini, khususnya dalam pemberantasan korupsi.

”Kelemahan yang terdapat dalam PP No 63/2005 itu mungkin tidak pernah dibicarakan atau dipikirkan saat aturan itu dibuat,” katanya. (NWO)

Sumber: Kompas, 28 November 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan