Pelatihan Anti-Korupsi ICW

Sebagai bagian dari upaya penggalangan dana publik sekaligus pencegahan korupsi di sektor swasta atau korporasi. Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui Divisi Penggalangan Dana Publik pada tahun 2017 lalu telah menyelenggarakan kegiatan workshop mencegah korporasi terjerat korupsi. Sebagai langkah perdana, kegiatan tersebut mendapat respon positif, baik dari segi ketertarikan korporasi dalam hal ini BUMN untuk turut serta, maupun hasil yang kami dapatkan dari kegiatan tersebut.

Pada tahun 2018 ini, kami kembali merencanakan kegiatan pelatihan serupa dengan ide - ide dan jumlah pelatihan yang lebih berkembang dari sebelumnya. Setidaknya ada 3 (tiga) pelatihan yang akan kami kembangkan pada tahun ini, yaitu:

Mencegah Korupsi di Korporasi

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menegaskan bahwa subjek hukum pelaku korupsi tidak saja orang namun juga badan hukum atau Korporasi.

UU Tipikor secara jelas menyebutkan Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun maupun bukan badan hukum. Pasal 20 UU Tipikor pada intinya menyebutkan jika korupsi dilakukan oleh atau atas nama Korporasi, maka tuntutan atau penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap Korporasi dan atau pengurusnya. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

Di Indonesia, keterlibatan Korporasi dalam praktek korupsi dapat dicermati dari beberapa kasus yang pernah ditangani KPK. Data KPK 2016 menyebutkan hingga akhir tahun 2016 lembaga ini telah menangani 146 kasus dengan tersangka pengurus Korporasi atau perusahaan. Semua pengurus Korporasi berhasil dijerat dan dijebloskan ke penjara, namun Korporasinya tidak tersentuh dan tetap dapat beroperasi hingga saat ini.

Pada tahun 2017 peluang menjerat Korporasi yang telibat korupsi semakin terbuka dengan lahirnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Peraturan ini menetapkan syarat sebuah Korporasi dapat dijerat dengan tindak pidana yaitu Korporasi mendapatkan keuntungan dari sebuah tindak pidana, membiarkan terjadinya tindak pidana dan tidak mencegah terjadinya tindak pidana. Pidana pokok untuk Korporasi yang terbukti bersalah adalah denda dan jika tidak dibayar pengurusnya dapat dikenakan hukuman kurungan hingga dua bulan.

PERMA juga mengatur antara lain cara memanggil dan memeriksa Korporasi sebagai saksi kasus pidana serta siapa yang mewakilinya. Aturan ini juga mengatur cara menagih denda jika Korporasi dinyatakan terbukti bersalah. Untuk mencegah pihak Korporasi menghindar dari proses hukum, maka aturan ini memungkinkan penegak hukum menyita Korporasi sejak awal penyidikan dan melelang asset sebelum putusan hakim dijatuhkan.

Pasca keluarnya PERMA 13 Tahun 2016, pada Juli 2017 KPK akhirnya menetapkan PT Duta Graha Indah (DGI) sebagai tindak pidana korupsi korporasi. Perusahan ini duduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek Rumah Sakit di Universitas Udayana Bali. PT DGI dinilai telah merugikan keuangan Negara Rp 25 miliar dari Proyek senilai Rp 138 miliar. Proses hukum dalam kasus ini masih berlanjut dan bersiap dilimpahkan ke Pengadillan.

Untuk mencegah korporasi tersandung dalam kasus korupsi dan diproses secara hukum maka pemahaman terhadap UU Tindak Pidana Korupsi menjadi suatu keharusan. Selain itu korporasi juga harus terus menerus mencegah terlibat sebagai aktor korupsi dan juga menciptakan tata pengelolaan korporasi yang bebas dari korupsi. Sebagai bagian dari langkah pencegahan tersebut Indonesia Corruption Watch berinisiatif mengadakan workshop bertajuk “Mencegah Korupsi di Korporasi”.

Materi:

  1. Korupsi oleh korporasi dalam perspektif UU Tindak Pidana Korupsi
  2. Memahami PERMA Nomor 13 Tahun 2016
  3. Pola dan modus korupsi korporasi (Dalam Pantauan ICW)
  4. Mencegah korupsi korporasi dan Sertifikat Antipenyuapan (ISO 37001) untuk korporasi

Narasumber:

  1. Ganjar Laksmana (Praktisi Hukum/Akademisi)
  2. Asep Iwan Iriawan (Mantan Hakim/Akademisi)
  3. Emerson Yuntho (Peneliti ICW)
  4. Adnan Pandu Praja (Praktisi Hukum/ Mantan Komisioner KPK)

Mengenal dan Mengidentifikasi Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan Pemerintah

Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2016, sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ) merupakan wilayah yang paling banyak terjadinya korupsi. Paling tidak pada 2016, dari 99 perkara, 79 diantaranya kasus suap dan 14 perkara yang terkait dengan PBJ. (Kompas.com,2016)

Dalam kaitan praktek korupsi, pengadaan memang dianggap sektor yang paling menjanjikan untuk meraup keuntungan. Tak jarang pihak terkait dalam hal pengadaan rela merogoh uang besar demi mendapatkan proyek pengadaan pemerintah. Sehingga banyak pihak yang mencoba meraup keuntungan dengan berbagai cara dilakukan, termasuk sejak perencanaan. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena korupsi PBJ dapat terjadi mulai dari hulu tahapan perencanaan, hingga hilir tahapan pelaksanaan.

Pemerintah telah berupaya dengan berbagai cara untuk menangulangi korupsi PBJ. Pada pelaksanaannya, praktek pengadaan sendiri telah diatur pelaksanaannya dalam Peraturan Presiden (Perpres) PBJ. Selain itu praktek pengadaan dilingkungan pemerintah sendiri kini menerapan sistem pengadaan secara elektronik (e-catalog, e-tendering). Kendati demikian masih saja ada celah kelemahan yang dimanfaatkan sejumlah pihak untuk mengambil jalan pintas demi meraub keuntungan dari proyek pengadaan pemerintah.

Tentu baik pemerintah, masyarakat, maupun perusaahaan harus mengetahui bagaimana praktek korupsi dan celah yang berpotensi terjadi korupsi. Dengan begitu upaya pencegahan bisa dilakukan sejak demi mewujudkan pengadaan yang sehat bebas korupsi. Terkait dengan korupsi PBJ di sektor pemerintah, Indonesia Corruption Watch menyelenggarakan Workshop “Mengenal dan mengidentifikasi korupsi PBJ di Lingkungan Pemerintah”.

Materi:

  1. Mencegah Korupsi di Sektor Pengadaan Barang dan Jasa
  2. Whistle Blower System dalam Sektor Pengadaan Barang dan Jasa
  3. Pola dan Modus Korupsi di Sektor Pengadaan Barang dan Jasa
  4. Pemanfaatan Tools Opentender.Net dalam Pengawasan Pengadaan Barang dan Jasa

Narasumber:

  1. Leonardus JE Nugroho (Ex Auditor BPKP dan Ahli Pengadaan Barang dan Jasa)
  2. Ikak G Patriastomo (Deputi Hukum dan Penyelesaian Sanggah LKPP)
  3. Febri Hendri (Peneliti ICW)
  4. Christian Evert (Peneliti ICW)

Forensic Prevention & Monitoring: Mendeteksi dan Mencegah Kecurangan Secara Akurat

Indonesia rentan permasalahan korupsi dan kecurangan hampir di setiap sektor (Global Corruption Barometer 2017, Corruption Perception Index 2017, PERC). Risiko kecurangan ditemukan baik di pemerintah, perusahaan multinasional, nasional, bahkan di pedagang kaki lima sekalipun. Pelakunya bisa siapa saja, mulai dari penjaga gudang, kasir, sales, manajer hingga pada level direksi. Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) mencatat bahwa total kerugian rata-rata perusahaan akibat kecurangan adalah sebesar 5% dari total pendapatan.1

Pada skema sederhana kecurangan terjadi di tahap operasional seperti proses penjualan, pembelian, dan persediaan. Dalam alur proses penjualan, kasir dan sales/ marketing memiliki risiko lebih tinggi dalam melakukan pencurian uang. Mencuri uang dari mesin kasir, mengambil uang kembalian dan diskon, dan tidak menyetorkan uang diterima ke bank, merupakan beberapa contoh modus operandinya.

Procurement dan Persediaan rentan kongkalikong. Mark up kerap terjadi dan dilakukan berbagai cara seperti mengarahkan pembelian ke supplier tertentu atas rekomendasi seseorang, pembelian ke supplier fiktif yang ternyata dimiliki karyawan, menaikkan estimasi harga beli barang atau jasa, pemberian suap dari supplier, atau skema lainnya. Pencurian persediaan biasa dilakukan secara terkoordinasi antara sales/marketing dengan gudang dengan modus operandi yaitu mencuri barang dari gudang, melaporkan penjualan fiktif, mengambil barang retur penjualan, dan melaporkan persediaan berkondisi baik sebagai barang rusak. Kecurangan tidak terdeteksi menghambat optimalisasi pendapatan usaha anda.

Kasus Satyam Computer Services Ltd (“Satyam”), merupakan salah satu perusahaan penyedia jasa IT global terbesar dari India. Pada 2007 terpilih sebagai penyedia jasa IT resmi FIFA World Cup periode 2010 dan 20141. Di tahun yang sama, Satyam menerima Golden Peacock, penghargaan diberikan World Council untuk kategori Corporate Governance. Audit rutin dilakukan oleh perusahaan audit global dan menunjukan sebagai perusahaan bersih dari kecurangan. 2009 salah satu orang internalnya mengundurkan diri setelah terbukti mencuri uang perusahaan selama 7 tahun terakhir, mengakibatkan USD 1 miliar yang setara 94% nilai kas, ternyata kosong.

Materi:

  1. Teknik Diagnostik Kecurangan:

  • Identifikasi sumber data
  • Pengumpulan data
  • Eksaminasi data
  • Analisis data
  1. Analisis data dalam Sistem Pemeriksaan Kecurangan

  • Mengembangkan skema kecurangan
  • Mengidentifikasi pola transaksi anomali
  • Analisis rekonstruksi pencatatan keuangan
  • Analisis log sistem untuk menemukan indikasi system override
  • Memetakan hubungan para pihak terkait
  • Mengembangkan mekanisme risk scoring untuk menemukan pihak dengan resiko kecurangan paling tinggi
  1. Pengembangan Monitoring dan Pencegahan Kecurangan Perusahaan

  • Indentifikasi titik rawan kecurangan dan modus operandi
  • Analisis pemetaan risiko kepatuhan
  • Analisis lingkungan pengendalian internal
  • Optimalisasi proses manajemen organisasi perusahaan
  • Analisis deteksi pelanggaran atas kebijakan

Narasumber:

  1. Paku Utama, Ph.D (Pakar Asset Recovery)
  2. Vauline, EnCe (Pakar Forensic Data Analytic)

Informasi lebih lanjut silahkan hubungi Sdr Kurnia Ramadhana (082162889197)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan