Pelajaran bagi MA dalam Mencari Hakim Pengganti

Mundurnya hakim konstitusi Arsyad Sanusi setelah dinyatakan terbukti melanggar kode etik oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH) seharusnya menjadi pelajaran bagi Mahkamah Agung dalam mencari hakim pengganti. MA didesak untuk memperbaiki mekanisme pemilihan calon hakim Mahkamah Konstitusi dengan mengacu pada ketentuan undang-undang, yakni transpa- ran, akuntabel, dan partisipatif.

”Kita masih ingat pada 2008 ketika MA tiba-tiba mengirim dua nama untuk menjadi hakim MK. Saat itu publik mengkritik proses seleksi yang tidak transparan dan akuntabel. Masyarakat tidak tahu apakah dua nama itu hasil seleksi internal atau sekadar jatah-jatahan atau malah titip-titipan. Kini, semua itu berujung pada peristiwa kode etik yang menjadi catatan tersendiri bagi sejarah MK. MA harus belajar dari peristiwa itu,” ujar peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, Minggu (13/2).

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang Saldi Isra menyatakan, sudah waktunya MA mengambil momentum penggantian Arsyad Sanusi untuk memperbaiki proses seleksi yang selama ini cenderung tertutup.

”Sebetulnya hakim-hakim MK yang berasal dari MA relatif menjadi hakim-hakim yang baik. Tinggal bagaimana memperbaiki proses seleksi saja. Setidaknya MA harus memberitahukan calon-calon yang sedang diperhitungkan sehingga ada ruang bagi publik untuk  ’nego’ dengan MA. Paling tidak orang di luar MA bisa memberikan catatan-catatan terhadap calon tersebut,” kata Saldi.

Saldi meminta agar MA melihat latar belakang keilmuan calon sesuai dengan kebutuhan MK. Ia juga mengusulkan agar calon hakim MK dipilih dari kalangan hakim agung. ”Kalau dari hakim agung, setidaknya calon tersebut pernah melalui proses yang terbuka di Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat,” ia menambahkan.

Sementara itu, Neshawaty Arsyad, anak hakim konstitusi Arsyad Sanusi, mengaku keberatan dengan hasil MKH. Ia menilai MKH tidak obyektif karena tidak mempertimbangkan keterangan yang disampaikan olehnya dan Zaimar, adik ipar Arsyad. MKH dinilai mengambil mentah-mentah keterangan Dirwan Mahmud, calon bupati Bengkulu Selatan, yang didiskualifikasi MK.

Meskipun ayahnya telah menerima hasil MKH, Neshawaty mengatakan akan mengirimkan surat keberatan dan permintaan klarifikasi ke MKH. Ia mengaku dirugikan, terutama terkait dengan penyebutan kolutif pada pertemuan antara dirinya, Zaimar, dan Dirwan. Seharusnya MKH memisahkan perbuatan yang dilakukannya dan Zaimar. Ia pun tak terima disebut aktif dalam urusan tersebut.

Ia juga menegaskan sama sekali tak pernah memeras atau meminta uang kepada Dirwan. Saat dikonfrontasi oleh MKH, kata Neshawaty, Dirwan pun menyatakan tidak pernah dimintai uang oleh dirinya.

Dimintai konfirmasi soal keberatan Neshawaty, Ketua MKH Harjono dan anggota MKH, Abdul Mukhtie Fadjar, mengatakan, kesimpulan MKH tidak hanya mendengarkan keterangan satu saksi. MKH juga mempertimbangkan saksi-saksi lain. ”Hasil MKH sudah final dan sudah selesai. Oleh karenanya, MKH sudah bubar,” kata Harjono.

Mukthie Fadjar menambahkan, tugas utama MKH sebenarnya adalah memeriksa hakim. Ketika hakim yang bersangkutan sudah menerima keputusan MKH, semuanya sudah selesai. ”Tidak ada urusannya dengan pihak lain,” katanya. (ANA)

Sumber: Kompas, 14 Februari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan