Pelacakan Nunun Nurbaeti; Pemerintah Tunggu Permintaan KPK

Pemerintah sepertinya tidak mau mengambil langkah proaktif untuk mengembalikan tersangka kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004, Nunun Nurbaeti, ke Indonesia. Pemerintah menyerahkan seutuhnya kasus tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, menyatakan bahwa pemerintah sampai dengan saat ini belum dapat melacak jejak dan keberadaan Nunun. Oleh karena itu, KPK memiliki tugas berat untuk mengetahui keberadaan istri mantan Wakapolri Komjen (Purn) Adang Daradjatun itu.

“Belum bisa terekam (keberadaan Nunun). Kita tinggal menunggu bagaimana nanti KPK meminta sama kita. Kalau sudah ketahuan di mana, ya kita ekstradisi,” ujar Patrialis di Gedung DPR, kemarin.

Menurutnya, ketidakjelasan keberadaan Nunun menjadi penghambat bagi pemerintah untuk melakukan tindakan, khususnya untuk mengembalikan Nunun ke Indonesia.

“Mau diekstradisi dari mana, orang tidak tahu dia ada di mana. Kan tidak mudah juga kalau di negara orang,” ungkapnya.

Meski demikian, dirinya mengaku bahwa pihaknya telah melakukan komunikasi langsung dengan pihak interpol di Singapura. Akan tetapi, kata dia, belum ada perkembangan yang signifikan.

“Sekarang kita belum tahu di mana. Kalau di Singapura, bisa, karena kita juga komunikasi dengan orang Singapura. Saya kenal dengan Kepala Intelijen Singapura, kenal baik. Saya ngobrol langsung, tapi mereka juga tidak tahu,” tegas Patrialis.

Memaklumi
Sementara itu, DPP PKS memaklumi sikap Adang Daradjatun yang secara terbuka melindungi dan berniat meluruskan proses hukum terhadap istrinya Nunun Nurbaeti yang menjadi tersangka kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia.

Menurut Wakil Sekjen DPP PKS, Mahfudz Siddik, pihaknya dapat memahami reaksi Adang Daradjatun karena menyangkut istrinya dan sikap KPK menetapkan Nunun sebagai tersangka sebelum diperiksa.

Dikatakan, seharusnya KPK memiliki alat bukti sebelum menetapkan Nunun menjadi tersangka, dan kalau sudah memiliki bukti maka KPK harus megejar siapa tokoh utama yang disebutkan menugaskan Nunun.

‘’Dalam menetapkan tersangka kan KPK paling tidak harus memiliki dua alat bukti. Kalau pun KPK memiliki bukti, Nunun juga bukan aktor utamanya, aktor utamanya adalah siapa yang memberi suap dan itu yang harus dikejar KPK,’’ ujar Mahfudz di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Ketua Komisi I DPR ini juga meminta agar KPK proporsional dalam menuntaskan kasus tersebut, dengan fokus berdasarkan alat bukti, bukan desakan dari luar.

Presiden DPP PKS Luthfi Hasan Ishaq menegaskan, pihaknya tidak akan mencampuri proses hukum yang melibatkan Nunun Nurbaeti, karena struktur partai tidak boleh mencampuri urusan pribadi fungsionaris partai. ‘’Itu sudah masuk ranah pribadi. Apalagi kasus ini sudah terjadi sebelum Adang bergabung dengan PKS,’’ katanya.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, berpendapat, masih sulit bagi pihak Interpol untuk bisa menangkap Nunun Nurbaeti di 188 negara. Penyebabnya karena faktor identitas yang bersangkutan.

Nama dan foto tersangka cek pelawat tersebut memang sudah terpajang di situs resmi Interpol sebagai buronan internasional. Namun, hal tersebut tidak menjamin pencariannya akan mudah. ‘’Lagipula, di situs itu nama Nunun terpampang dengan nama Nunun Daradjatun, bukan Nunun Nurbaeti,’’ katanya.

Dia menjelaskan, nama did alam paspor dibuat berdasarkan identitas resmi seperti akta kelahiran atau KTP, tidak berdasarkan nama keluarga atau suami. Semestinya paspor atas nama Nunun dipastikan menggunakan nama Nunun Nurbaeti sesuai dengan akta kelahirannya.

Akibat ketidaksesuaian nama Nunun di situs Interpol dan paspornya, menurut Hikmahanto, akan menyulitkan Interpol untuk menangkap Nunun karena ketidaksesuaian identitas, meskipun wajahnya sama seperti foto yang terpampang di situs Interpol.

Dia menduga, ketidaksesuaian itu akibat dari kesalahan administratif soal pencantuman nama. Pihak Interpol hanya menerima nama yang diajukan oleh lembaga penegak hukum di Indonesia. (J22,K32,D3-43)
Sumber: Suara Merdeka, 15 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan