Pekerjaan Rumah Pimpinan KPK
Thursday, 07 January 2016 - 00:00
Sebagai sebuah lembaga, Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir 2015 mendapat dua kado sekaligus, yakni lima unsur pimpinan baru yang dilantik Presiden Jokowi dan gedung baru KPK yang diresmikan langsung oleh Presiden.
Lima unsur pimpinan baru KPK dilahirkan dari proses politik yang alot, sarat manuver dan tendensi muatan kepentingan berbagai pihak yang bersitegang, meski pada titik akhir melahirkan kompromi. Hasilnya pun pada akhirnya diragukan banyak kalangan meski tanda tanya besar publik terhadap pilihan akhir politisi Senayan bukan semata kekhawatiran tanpa alasan. Sementara gedung baru KPK tidak bisa dilepaskan dari advokasi cukup panjang, khususnya yang dilakukan kelompok masyarakat sipil anti korupsi Indonesia dengan satu gerakan besar bersifat nasional bertajuk Koin untuk KPK. Gerakan itu sendiri merupakan respons dari penolakan sebagian besar politisi atas ide pembangunan gedung baru KPK.
Dua hal di atas menunjukkan posisi KPK yang dipandang sangat penting, terlepas dari sudut pandang setiap pihak. Bagi kelompok anti korupsi, KPK dianggap strategis karena dalam sejarah perlawanan terhadap praktik korupsi di Indonesia, KPK dinilai paling menjanjikan, terutama karena sepak terjangnya mampu menyeret ke penjara aktor dari berbagai macam latar belakang, khususnya yang memiliki kekuasaan politik relatif besar. Di luar itu, KPK juga berhasil menyandingkan penerapan pidana korupsi dengan pidana pencucian uang yang orientasi penegakan hukumnya bukan semata pemidanaan, melainkan disertai usaha mengembalikan secara maksimal kerugian negara yang ditimbulkan.
Pun kemauan KPK untuk masuk ke sektor-sektor strategis yang menjadi sumber utama praktik pengerukan kekayaan negara secara ilegal, seperti tambang, mineral dan batubara, serta pajak, menjadi nilai strategis tersendiri.
Sementara bagi kelompok status quo, yang sangat tidak berminat dengan kehadiran lembaga anti korupsi yang kokoh, nilai penting KPK terletak pada sejauh mana lembaga ini dapat dikendalikan sehingga usaha pemberantasan korupsi tak sampai mengganggu kepentingan kekuasaan. Oleh karena itu, segala macam upaya dikerahkan untuk membuat KPK menjadi lebih mudah dikontrol, khususnya dalam kebijakan penegakan hukum.
Jika kemudian selalu terdapat gonjang-ganjing, kontroversi, dan jurang yang tajam antara cara pandang kekuasaan dan publik dalam menempatkan posisi KPK, itu perlu dilihat dalam "semangat" untuk "menjinakkan" lembaga tersebut. Dengan bahasa kekuasaan lain, KPK boleh melakukan upaya pemberantasan korupsi, tetapi cukuplah pada level pinggiran.
Kelembagaan dan kepemimpinan
Meskipun tulisan ini mewakili cara pandang kelompok anti korupsi, rasanya tidak adil jika kemudian KPK selalu dianggap mulus tanpa catatan. Sepanjang KPK berdiri, banyak lembar catatan yang bisa menjadi bahan refleksi bagi pimpinan baru KPK agar mereka dapat mencari jalan keluar secara cepat sehingga tidak memudarkan harapan publik terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Sekurang-kurangnya ada tiga persoalan pokok KPK yang bisa dibedakan dalam tiga kategori. Pertama adalah masalah kelembagaan, kemudian masalah kepemimpinan, dan terakhir masalah pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang KPK sebagaimana UU telah mengatur.
Berkaitan dengan masalah kelembagaan, KPK setidaknya memiliki beberapa persoalan yang perlu untuk dijawab, yakni bagaimana KPK membangun strategi anti korupsi yang efektif, mendesain strategi berjaringan yang luas sehingga bisa menjadi blok anti korupsi yang kuat, dan masalah manajemen kepegawaian KPK. Strategi anti korupsi yang efektif berkaitan dengan bagaimana upaya-upaya penindakan dan pencegahan bisa disinergikan sehingga fungsi KPK tidak sekadar menjadi pemadam kebakaran.
Kasus korupsi yang terjadi berturut-turut di Kementerian Agama, dengan subyek perkara yang sama, yakni dana haji sebagai contoh, adalah indikasi dari belum adanya titik temu antara kerja penindakan dan pencegahan. Harus diakui bahwa KPK bukan lembaga superpower, terutama ketika harus menegakkan rekomendasi perbaikan sistem di lembaga pemerintah.
KPK juga memiliki pengalaman buruk yang berulang, khususnya kriminalisasi dan perlawanan balik ketika harus menangani kasus-kasus korupsi tertentu. Berdasarkan pengalaman pula, publiklah yang paling getol mengawal, menjaga, dan mempertahankan KPK dari upaya serangan balik. Bukan berarti kepemimpinan politik nasional tak memiliki kontribusi apa pun untuk mengawal KPK. Tentu tanpa mereka, KPK kapan saja bisa bubar atau setidaknya mengalami kelumpuhan.
Karena pengalaman itu, KPK perlu menempatkan publik-khususnya kelompok masyarakat yang terorganisasi, memiliki tata kelola organisasi yang sehat dan kuat, dan berbasiskan dukungan massa yang besar-untuk menjadi mitra strategis KPK. Sementara masalah kepegawaian KPK terkait dengan adanya blok-blok antarpegawai KPK yang memiliki latar belakang instansi yang berbeda. Sifat kesementaraan bekerja di KPK sepertinya ikut memengaruhi terbangunnya "faksi" di internal KPK. Oleh karena itu, pimpinan baru KPK perlu mencari jalan keluar agar pegawai KPK adalah pegawai yang permanen, bukan titipan.
Sementara masalah kepemimpinan banyak berkaitan dengan strategi komunikasi politik dan komunikasi publik pimpinan KPK, isu single fighter, dan tanggung jawab serta soliditas pimpinan KPK. KPK adalah lembaga independen dan semestinya menjaga independensinya dengan sungguh-sungguh. Namun, perlu ada seni kepemimpinan agar makna independensi tidak gugur, tetapi juga dalam waktu bersamaan tidak menjadi eksklusif. Posisi KPK yang eksklusif sering mengganggu komunikasi politik, khususnya kepada Presiden. Padahal, dukungan politik kepala negara sangat berarti bagi kelangsungan agenda pemberantasan korupsi karena pada konteks itu pimpinan KPK tidak bisa mengganti peran kepala negara.
Demikian halnya pimpinan KPK perlu mengontekstualisasi kembali spirit kolektif kolegial sehingga tidak terjebak pada praktik subordinasi di mana Ketua KPK dalam posisi dominan dibandingkan unsur pimpinan KPK lain. Ritme ini jika tidak dijaga akan turut mengganggu kekompakan kerja pimpinan KPK, khususnya dalam menghadapi tekanan eksternal.
Karena merupakan pimpinan, sifat mengayomi pegawai perlu tetap dirawat mengingat pegawai KPK adalah sumber daya utama KPK. Karena itu, pimpinan baru KPK perlu membuat wadah dialog yang transparan dengan pegawai sehingga isu-isu strategis di KPK bisa dikelola dengan baik. Kritik yang dilancarkan pegawai, sebagai misal, tidak semestinya disamakan dengan pelanggaran etik seperti melakukan penipuan, manipulasi, dan praktik penyalahgunaan lain.
Soal fungsi
Terakhir, tugas pokok, fungsi, dan wewenang KPK dalam supervisi dan koordinasi harus dirancang lebih serius. Rekomendasi Indonesia Corruption Watch (ICW), salah satunya, adalah menjadikan unit supervisi dan koordinasi yang setara dengan kedeputian, bukan unit ad hoc yang bekerja sementara untuk mengejar target jangka pendek. Fungsi supervisi dan koordinasi yang efektif juga pada akhirnya akan menjadikan KPK sebagai trigger mechanism dalam pemberantasan korupsi, sesuatu yang selama ini dijadikan salah satu sumber kritik.
Dalam hal penindakan, manajemen perkara sudah semestinya dimutakhirkan, jika memungkinkan dibantu dengan sistem teknologi informasi sehingga dapat mengurangi celah seperti kebocoran informasi penegakan hukum yang bersifat rahasia. Kritik lain yang dialamatkan kepada KPK adalah menista status hukum orang. Ada tersangka yang bertahun-tahun tidak jelas proses hukumnya. Karena masalah ini berkaitan langsung dengan jumlah sumber daya manusia (SDM) di KPK, pimpinan baru KPK bisa memulai untuk menakar secara lebih rinci berapa kebutuhan, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas, SDM KPK yang ideal.
Adnan Topan Husodo, Koordinator ICW
--------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Pekerjaan Rumah Pimpinan KPK".