Pekerjaan Rumah Kapolri Baru

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 September lalu secara resmi melantik Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang baru. Bambang menggantikan menggantikan Jenderal Sutanto yang memasuki masa purnabakti.

Proses penggantian Kapolri relatif berjalan mulus dan tanpa hambatan. Meski demikian, persoalan Kepolisian tidak semuanya baik dan mulus. Ada yang sudah baik dan membaik. Tetapi, ada pula yang masih buruk dan memburuk.

 

Salah satu yang patut diapresiasi dari kinerja Kepolisian dewasa ini adalah tumbuhnya semangat melayani. Polisi yang dulu lahir dan dibesarkan dalam semangat militerisme kini semakin berwajah dan berwatak sipil. Polisi secara umum tidak lagi angker seperti dulu. Dalam beberapa bidang tugas, khususnya yang berkaitan dengan pemberantasan terorisme, kinerja polisi patut mendapat acungan jempol.  

Sedangkan kondisi yang membuat citra buruk institusi kepolisian di negeri ini adalah tindakan kekerasan dan korupsi yang dilakukan oleh (oknum) anggota kepolisian. Dari tahun ke tahun, perilaku menyimpang tersebut selalu terjadi dan mencoreng nama baik korps kepolisian.

Kekerasan Melebihi TNI
Fenomena kekerasan oleh polisi ini menarik untuk dicermati. Selama 2007 sampai 2008, Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, ada 180 kasus kekerasan yang dilakukan oleh polisi. Jumlah itu lebih besar daripada tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang hanya 18 kasus.

Faktanya, kekerasan tidak saja dilakukan antara aparat polisi dengan warga masyarakat yang harusnya dilindungi, tapi juga antara aparat polisi dengan aparat keamanan lainnya (baca: TNI).  

Akibat kekerasan tersebut, tugas utama polisi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat kenyataannya justru sebaliknya. Membuat masyarakat tidak terlindungi dan tidak nyaman jika bersentuhan langsung polisi. Tentunya, bukan secara institusional kepolisian yang bersalah, tetapi personel yang melakukan tindakan kriminal tersebut mau tidak mau telah mencemarkan nama baik institusi.

Kenapa polisi bisa sedemikian beringasnya? Amin Sudarsono (2007) menyebutkan, setidaknya terdapat dua faktor munculnya perilaku kekerasan oleh polisi. Pertama, faktor psikologis personal. Kompleksitas tugas polisi di lapangan ditambah penghasilan yang minim dapat menyebabkan mereka mudah stres dan frustrasi.

Selain tingkat ancaman dan risiko pekerjaan sangat tinggi, polisi bekerja selama 24 jam per hari dan tujuh hari dalam seminggu tanpa mengenal hari libur dan cuaca. Polisi dituntut untuk selalu berdisiplin tinggi, patuh pada peraturan yang berlaku dan tunduk pada perintah atasan, serta cepat dan tanggap dalam mengatasi berbagai masalah. Kondisi inilah yang mendorong agresivitas polisi dalam penanganan sebuah perkara.

Kedua, faktor kebanggaan korps. Kebanggaan yang berlebihan seringkali menjadikan arogansi korps. Diakui atau tidak, menjadi seorang polisi adalah sebuah prestasi bagi sebagian orang. Artinya, identitas tersebut adalah pencapaian yang dihargai tinggi. Dalam tradisi militer, dikenal istilah korsa (kebersamaan) dan kebanggaan korps. Pembelaan terhadap sesama anggota korps adalah bentuk kebersamaan itu.

Kebanggaan korps ini juga sering mengakibatkan bentrokan antarelemen. Misalnya, antara TNI dengan Polri. Arogansi yang muncul menjelma menjadi agresivitas yang memalukan.

Kolusi dan Korupsi

Selain tindakan kekerasan, rusaknya citra kepolisian ini disebabkan praktik korupsi dan kolusi oleh aparat polisi itu sendiri. Fenomena korupsi semacam ini dapat ditemui dalam lingkup tugas polisi yang berkaitan dengan penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan pelaksanaan wewenang.

Persoalan korupsi di kepolisian merupakan persoalan yang tidak kunjung usai. Dalam sejarahnya, korupsi di tubuh kepolisian bukanlah barang baru, bahkan sudah menjadi rahasia umum yang semua orang sudah mahfum. Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai proses pemgurusan surat izin mengemudi dan pola-pola korupsi di lingkungan peradilan khususnya di kepolisian memperkuat anggapan bahwa korupsi di korps Bhayangkara bukan isapan jempol belaka.

Berdasar hasil penelitian ICW di enam kota besar di Indonesia pada 2001, korupsi yang dilakukan oleh polisi biasanya terjadi pada proses penyelidikan dan penyidikan suatu perkara. Permintaan uang jasa, penggelapan perkara, negoisasi perkara, dan pemerasan merupakan pola yang umum dilakukan oleh polisi. Saat ini sejumlah (mantan) perwira tinggi dan jenderal polisi seperti Suyitno Landung dan Rusdihardjo telah dipenjara karena terlibat dalam kasus korupsi.

Terhadap dua masalah besar tersebut (kekerasan dan korupsi), dalam beberapa kasus, harus diakui pihak kepolisian umumnya menindaklanjuti setiap pelanggaran yang ditemukan

Hanya, sidang komisi ini seringkali memberikan keistimewaan terhadap pelaku dengan akhirnya upaya menurunkan derajat dari pelanggaran yang dapat dipidana menjadi sebatas pelanggaran administratif belaka. Pelaku biasanya hanya diberikan teguran keras, ditunda kenaikan pangkatnya, atau yang paling berat adalah dicopot dari jabatannya.

Upaya membuat jera polisi yang melakukan kekerasan dan korupsi dengan membawa ke proses hukum hingga pengadilan dapat dihitung dengan jari. Polisi kasar dan nakal sangat berbahaya karena dapat merusak citra institusi tersebut, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat (public trust), serta merusak akuntabilitas kinerja aparat kepolisian.

Mengubah Paradigma
Karena itu, selain tetap mendorong profesionalitas, upaya menguba paradigma dari polisi yang kasar dan korup menjadi polisi yang tegas namun santun serta bersih dari korupsi adalah tantangan paling besar dan pekerjaan rumah bagi Kapolri yang baru. Perlu ada perubahan fundamental di kepolisian untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Fungsi kepolisian harus tetap ditempatkan sebagai salah satu bagian pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat

Oleh: Emerson Yuntho,  anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta

 

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 7 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan