Pejabat Lingkup Disdik Harus Pahami Dunia Kependidikan; FGII Tuntut Konsistensi SK Mendiknas 120/U/2
Pemerintah pusat dan daerah agar konsisten melaksanakan SK Mendiknas No. 120/U/2001, bahwa para pejabat di lingkungan Depdiknas maupun Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota, harus memiliki latar belakang bidang kependidikan dan komitmen kuat memajukan pendidikan. Demikian salah satu rekomendasi yang diajukan Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), usai rapat pimpinan di Bandung, Minggu (26/12).
Menurut Sekretaris Eksekutif FGII, Suparman, selama ini para pejabat di lingkungan Depdiknas maupun Dinas Pendidikan (Disdik) lebih didominasi oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang kependidikan. Dengan komposisi seperti itu, dikhawatirkan kemajuan bidang pendidikan akan melambat, karena orang-orangnya tidak memahami dunia kependidikan.
Karenanya, FGII menuntut agar pejabat struktural mulai dari Mendiknas hingga Dinas Pendidikan di tingkat kecamatan, harus memiliki latar belakang bidang kependidikan. Pengangkatan para pejabat itu tentunya harus tetap mengacu kepada mekanisme perekrutan yang objektif dan transparan, jelasnya.
Di samping itu, FGII juga merekomendasikan agar lembaga Dewan Guru segera direalisasikan di setiap sekolah. Pasalnya, selama ini posisi tawar guru dalam proses pengambilan kebijakan di sekolah masih lemah. Dewan Guru juga dibutuhkan untuk menerapkan iklim demokratisasi pendidikan di lingkungan satuan pendidikan. Pembentukan Dewan Guru memiliki dasar hukum, yakni SK Mendiknas No. 053/U/2001 yang menyatakan, dewan guru merupakan sebuah institusi profesi di setiap sekolah dengan struktur kepengurusan yang jelas dan independen, ujar Suparman.
Rapim juga menyinggung isu diskriminasi terhadap guru yang statusnya belum menjadi PNS. Untuk itu, FGII menghendaki agar di masa mendatang profesi guru tidak dibeda-bedakan, dan mereka diberi status sebagai pegawai penuh. Bahkan gajinya harus lebih tinggi dari PNS lain, karena beban tanggung jawabnya demikian besar.
Menurutnya, pemerintah sebenarnya memiliki kesanggupan untuk memberikan status kepegawaian penuh kepada guru, yang kini statusnya honorer, kontrak atau guru bantu. Masalahnya, bukan anggaran tapi tidak adanya komitmen yang kuat untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Anggaran itu bisa diperoleh dengan mengalihkan dari beberapa pos anggaran lainnya, ujar Suparman.
Terkonsentrasi di kota
Anggota FGGI dari Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Lampung, Ginno Vannolie mengatakan, yang juga jadi masalah guru sekarang ini, distribusi yang tidak merata di setiap daerah. Guru lebih banyak terkonsentrasi di wilayah perkotaan, sementara daerah pinggiran terabaikan.
Begitu juga peningkatan kualitas guru. Selama ini terkesan peningkatan kualitas hanya terkonsentrasi pada guru di sekolah negeri. Padahal guru sekolah swasta pun tak kurang andilnya dalam pembangunan pendidikan negara ini. Pemerintah agar lebih adil meningkatkan kompetensi guru, tanpa memandang dari sekolah mana guru itu berasal, ujarnya.
Selain usulan itu, FGII juga menegaskan, tetap menuntut pemerintah pusat dan daerah untuk segera merealisasikan anggaran pendidikan 20% dari APBN maupun APBD, di luar gaji guru. Menurut FGII, selama anggaran itu tidak terealisasi, sulit bagi masyarakat luas untuk mendapatkan pendidikan yang merata.
Rekomendasi lainnya, FGII menuntut pemerintah agar melarang para pejabatnya untuk melibatkan diri secara langsung dalam kepengurusan organisasi profesi, terutama organisasi profesi guru.
Kalau ada pejabat pemerintah yang menjadi pengurus organisasi profesi guru, kami khawatir akan dibawa ke arah yang lebih politis. Organisasi profesi harus independen dan tidak memihak kepentingan politik mana pun, ujar Ginno. (A-132)
Sumber: Pikiran Rakyat, 27 Desember 2004