Pejabat Korupsi, Pejabat Dipagari
Rencana pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Pemberdayaan Instansi Terkait dalam Sistem Penanganan Laporan Korupsi kian kuat. Meskipun penolakan atas inpres tersebut sudah banyak disuarakan, tampaknya pemerintah tetap menganggap kebijakan itu penting dikeluarkan.
Secara umum, gagasan menggulirkan inpres dilatarbelakangi berbagai persoalan yang muncul dalam proses hukum tindak pidana korupsi. Masalah itu kemungkinan besar disebabkan oleh buruknya koordinasi antara aparatur birokrasi, institusi pengawas, dan aparat penegak hukum, sehingga proses penanganan kasus bertele-tele dan lama.
Akibatnya, proses hukum kerap dianggap sebagai biang keladi terbengkalainya penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini terjadi mengingat selama kampanye pemberantasan korupsi, banyak pejabat publik yang diperiksa dalam kasus korupsi, sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa. Di sisi lain, proses pemeriksaan terhadap pejabat publik kerap tidak pasti dan berlarut-larut. Mereka menganggap proses itu telah menyita waktu yang tidak sedikit, sehingga pelayanan publik sangat terganggu.
Di samping itu, kuat dugaan adanya pemerasan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam proses penanganan kasus sebagaimana dikeluhkan para pejabat. Untuk alasan ini, sayangnya, tidak ada satu pun pejabat yang terang-terangan berani buka suara, menjadi saksi atas praktek pemerasan yang terjadi. Itu barangkali karena mereka memang bersalah, sehingga membuka suara sama artinya dengan buah simalakama. Lain halnya jika sejak awal memang tidak ada kebijakan yang menyimpang (korup), tapi aparat penegak hukum mencari-cari masalah, maka praktek pemerasan mudah dibeberkan.
Masalah yang tak kalah pelik adalah fenomena munculnya penunggang gelap dalam agenda pemberantasan korupsi. Penunggang gelap ini kerap mengklaim sebagai pihak yang prihatin dengan praktek korupsi yang merajalela, tapi sebenarnya memiliki watak yang sama dengan koruptor itu sendiri. Tak jauh berbeda dengan aparat penegak hukum yang nakal, mereka sering melakukan pemerasan, meskipun hanya sedikit memiliki data mengenai dugaan korupsi. Walhasil, ketika data itu disampaikan kepada aparat penegak hukum, tidak banyak hal yang bisa diungkap. Soalnya, memang sejak awal motif melaporkan hanya untuk menakut-nakuti.
Karena itu, untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut, pemerintah menganggap perlu diterbitkannya Inpres tentang Pemberdayaan Instansi Terkait dalam Sistem Penanganan Laporan Korupsi, yang terdiri atas sepuluh butir instruksi. Instruksi tersebut ditujukan kepada anggota kabinet, kepolisian, kejaksaan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, kepala daerah, dan parlemen daerah.
Secara garis besar, beberapa poin penting dalam instruksi tersebut mengatur soal, pertama, menindaklanjuti laporan korupsi dari masyarakat yang tidak bernuansa fitnah, provokasi, dan agitasi serta tidak bermuatan kepentingan politik. Kedua, membentuk forum komunikasi yang terdiri atas instansi terkait untuk meningkatkan koordinasi penanganan laporan korupsi. Forum komunikasi bertugas melaporkan penanganan korupsi secara berkala kepada presiden dan berjenjang ke bawah sesuai dengan tingkatan wilayah pemerintahan. Ketiga, aparat pengawas internal pemerintah harus melakukan klarifikasi untuk mendapatkan bukti awal terjadinya indikasi korupsi dan melimpahkannya kepada aparat penegak hukum apabila unsur tindak pidana korupsi telah terpenuhi. Keempat, mendahulukan mekanisme ganti rugi atas penyimpangan yang terjadi dibandingkan dengan proses hukumnya.
Jika kita membaca secara lebih jeli draf inpres tersebut, ada beberapa isu yang sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Meskipun desain awalnya inpres itu dimaksudkan untuk mengakomodasi keluhan pejabat atas proses hukum perkara korupsi yang menyulitkan ruang gerak mereka dalam menyusun kebijakan publik, nuansa perlindungan bagi pejabat publik tidak dapat disembunyikan. Titik krusial dari inpres itu setidaknya dapat dilihat dalam beberapa analisis.
Pertama, terbitnya inpres tersebut dapat dipastikan tidak akan mampu menjawab persoalan bertele-telenya penanganan kasus korupsi karena mekanisme baru yang hendak dibuat justru melahirkan proses yang lebih rumit dan kian birokratis. Banyaknya tahapan yang harus dilalui untuk sampai pada penegakan hukum, selain menciptakan peluang bagi terjadinya praktek korupsi baru, membuat penanganan kasus korupsi menjadi tidak efektif.
Peluang bagi praktek korupsi baru itu tak lain karena adanya kewenangan dari aparat pengawas internal pemerintah (APIP) untuk melakukan klarifikasi atas laporan kasus sebelum diproses secara hukum. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa selama ini APIP terbukti tidak fungsional dalam mendorong pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Ia tidak fungsional karena, secara struktur, kinerja APIP sangat bergantung pada independensi pejabat publik yang membawahkannya. Sekuat apa pun temuan APIP, jika tidak ada keputusan politik untuk memproses secara hukum adanya dugaan tindak pidana korupsi, laporan secara berkala yang dibuat oleh APIP sebagai hasil dari pelaksanaan pengawasan tidak akan berarti apa-apa.
Kedua, lahirnya inpres tersebut tidak sejalan dengan semangat perlindungan saksi yang peraturannya tengah digodok parlemen. Butir instruksi yang menyebutkan adanya kewajiban bagi pelapor untuk mencantumkan identitas diri akan sangat membahayakan posisi siapa pun yang potensial dapat membongkar kasus korupsi. Yang harus diingat, masalah besar bagi pembongkaran kasus korupsi adalah tiadanya perlindungan saksi/pelapor. Dalam situasi ketika payung hukum perlindungan saksi tidak ada, sementara di sisi lain pengadu/pelapor harus dibebani kewajiban mencantumkan identitas lengkap, dikhawatirkan akan semakin sedikit orang yang berani melaporkan kasus korupsi. Pendek kata, lahirnya inpres tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap peningkatan partisipasi masyarakat dalam memberantas korupsi.
Ketiga, pembentukan forum komunikasi justru akan memperkuat posisi tawar pejabat publik dalam berhadapan dengan hukum. Forum komunikasi mengandaikan bersihnya pucuk pemimpin pemerintah di semua level dari kasus korupsi. Padahal fakta menunjukkan sebagian besar kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum melibatkan pejabat negara setingkat kepala daerah atau ketua dan anggota DPRD.
Keempat, munculnya kebijakan diskresional pejabat publik sehubungan dengan poin instruksi yang menyebutkan penanganan kasus korupsi yang sungguh-sungguh untuk kasus korupsi yang tidak bermuatan kepentingan politik. Ruang lingkup kepentingan politik adalah definisi yang longgar sehingga bisa ditafsirkan secara sepihak dan berpeluang besar menggugurkan penanganan korupsi karena ada label bermuatan kepentingan politik. Pada masa lalu, penanganan kasus dihentikan dengan alasan tidak ada bukti yang cukup untuk ditindaklanjuti, sedangkan dengan terbitnya inpres tersebut, alasan penghentian proses hukum dilengkapi dengan adanya muatan kepentingan politik dalam laporan kasus korupsi.
Melihat bahwa dampak dari inpres itu lebih banyak mudaratnya dibandingkan dengan manfaatnya, akan menjadi lebih baik bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi secara berkala atas kebijakan antikorupsi yang sudah dikeluarkan. Menyelesaikan masalah korupsi dengan membuat aturan-aturan baru tanpa dilandasi kajian yang komprehensif akan menyebabkan berbagai benturan antara satu kebijakan dan kebijakan yang lain.
Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 8 Juli 2006