Pejabat, korupsi, dan penjara

Korupsi di Indonesia memang bukan dongeng melainkan fakta yang ada di depan mata. Ia digemari banyak orang. Tidak terkecuali para pejabat negeri ini.

Tertangkapnya anggota Komisi Yudisial (KY) Irawady Joenoes oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah menerima uang yang diduga suap sebesar Rp600 juta dan US$30.000 dari Freddy Santoso, seakan-akan membenarkan stigma bahwa Indonesia memang negara tersubur praktik korupsinya.

Tidak salah data yang dilansir Transparency International (TI) yang menunjukkan bahwa penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia dari 2003 hingga 2007 tidak mengalami kemajuan. IPK di 2007 masih di angka 2.3. Tentu saja temuan TI itu tidak membuat ma-syarakat terkejut. Masyarakat tidak lagi menganggapnya sebagai isu baru yang bisa menarik perhatian mereka karena isu-isu serupa telah berulangkali didengar.� ���
Dari berbagai kasus korupsi yang terjadi selama ini, kebanyakan pelakunya berasal dari berbagai kalangan pejabat negara, politisi, akademisi, pengusaha, aparat hukum, tidak ketinggalan juga tokoh-tokoh dari kalangan LSM yang selama ini ikut menyuarakan demokrasi atau penegakan hukum. Modusnya pun semakin sulit dideteksi. Artinya tidak gampang mengidentifikasi sebuah praktik korupsi yang dilakukan oleh mereka-mereka yang dekat dan duduk di lingkaran kekuasaan.

Dalam hal ini, terdapat banyak pihak yang terlibat, baik yang memberi proyek atau yang menerima proyek, baik antara penegak hukum maupun para tersangka yang tersangkut kasus hukum. Namun sayang, hukum yang dijatuhkan kepada mereka yang korupsi cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Lihat saja, banyak bupati, gubernur, walikota, anggota TNI, anggota Polri, para politisi, para bankir, pengusaha, mantan pejabat yang pernah tersandung perkara korupsi hanya menerima hukuman ringan bahkan bebas sama sekali.

Ironis memang, padahal kita mempunyai banyak undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP) dan instruksi presiden (Inpres) untuk mencegah dan menindak pelaku korupsi. Misalnya, UU Nomor 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN. UU Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. PP No. 19/2000 Tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 15/2002 Tentang Pencucian Uang. UU Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 2002.

Pemerintah juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres tersebut pada dasarnya menghendaki adanya percepatan pemberantasan korupsi yang selama ini tersendat-sendat. Di samping itu kita juga mempunyai banyak badan-badan dan komisi-komisi untuk menangkal kejahatan korupsi. Semua itu seakan-akan sia-sia belaka. Korupsi tetap jalan terus.

Tabiat serakah
Lalu mengapa banyak pejabat negara ataupun tokoh-tokoh yang selama ini dikenal oleh publik yang tersandung kasus korupsi? Baik itu dari kalangan pejabat tinggi negara, politisi, akademisi, birokrat, maupun pengusaha. Bukankah seharusnya mereka� bekerja sebagai pembawa amanah. Diberikan kekuasaan berdasarkan kontrak sosial guna mengurusi urusan masyarakat.

Bahkan berkaitan dengan tugasnya itu, pejabat diberikan berbagai kewenangan. Tidak lupa juga berbagai fasilitas. Tapi kenapa sang pejabat masih melakukan korupsi? Apakah masih kurang semua fasilitas dan kemewahan yang diberikan? Lalu apa jadinya bila orang kepercayaan yang dimintakan mengurusi segala urusan masyarakat justru ikut mencuri hak dan menyusahkan masyarakat pemberi amanah? Misalnya, dengan melakukan perbuatan korupsi. Tidakkah itu pengkhianatan moral skala besar yang sulit termaafkan? Karena korupsi mengambil hak-hak rakyat secara tidak wajar. Yang sebenarnya bisa untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Ternyata komitmen memerangi korupsi hanya omong kosong.

Bagi ahli hukum almarhum Baharuddin Lopa, salah satu yang mendorong terjadinya pelanggaran hukum oleh pejabat negara ini adalah tabiat mereka yang serakah. Rasa berkuasa itulah yang sering membuat seseorang memandang remeh orang lain dan berani bertindak apa saja. Lopa menegaskan keserakahan ini tumbuh subur karena lemahnya penegakan hukum, serta manajemen yang tidak rapi, sehingga kebocoran tidak bisa segera diketahui dan dikendalikan.

Sekarang KPK telah menetapkan Irawady sebagai tersangka. Irawady dijerat dengan Pasal 5 Ayat 2 jo Pasal 12 b jo Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. Penyuapnya, Freddy dijerat Pasal 5 Ayat 1 butir a jo Pasal 13 UU yang sama.

Agar kasus ini dapat dituntaskan sesuai rasa keadilan hukum masyarakat, maka dituntut keberanian KPK dalam mengusut secara tuntas. Ini berguna agar pelaku korupsi dapat dihukum karena perbuatannya. Hanya dengan keberanian menghukum pelaku korupsi dengan hukuman yang adil dan beratlah kita bisa keluar dari perangkap korupsi. Jadi kalau bisa pelaku korupsi dihukum mati saja.

Agar proses pemeriksaan terhadap Irawady Joenoes dapat berjalan dengan baik, maka semua pihak yang berkepentingan harus kooperatif dalam membantu tugas KPK. Kepada anggota KY harus mau memberikan keterangan dengan selengkap dan sejujurnya. Kemudian KPK sebaiknya juga memproses secara hukum Freddy Santoso sebagai pemberi suap. Ini bertujuan agar ada pembelajaran bagi masyarakat, bahwa memberi suap juga kejahatan. Dan itu tidak boleh dibiarkan.

Akhirnya, KPK dan KY dipertaruhkan reputasinya dalam penyelesaian kasus ini. Apakah berhasil mengungkap atau tidak, mari kita tunggu proses hukum selanjutnya. Sekali lagi kita harus mendorong KPK sebagai lembaga penegakan hukum untuk bertindak sesuai amanat yang diberikan UU sehingga para pejabat yang korupsi bisa dimasukkan kedalam penjara sesuai dengan kesalahannya.

Oleh Oksidelfa Yanto, Staf peneliti di CSIS Jakarta

Tulisan ini disalin dari Bisnis Indonesia, 5 Oktober 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan