Pejabat Korup dan Masyarakat pun Korup

Beberapa waktu lalu ketika saya dan anggota Komisi I DPR mengunjungi kantor Kongres Amerika, kami membaca tulisan di depan ruangan kantor masing-masing anggota Kongres ucapan: Welcome, please come in. Jelas ini ucapan selamat datang dan ajakan mempersilakan tamu-tamu anggota Kongres, khususnya dari daerah pemilihannya, untuk datang memasuki kantor itu.

Bahkan, ketika kami rapat dengan seorang anggota Kongres, di awal pembicaraan dia sudah minta maaf, jika ada tamu dari daerah pemilihannya, dia harus menghentikan rapat untuk menemui konstituennya. Begitulah hubungan antara rakyat dan pejabat yang mewakilinya. Ketika hal itu saya bicarakan kepada kawan-kawan, salah seorang anggota Komisi I mengatakan berani bertaruh bahwa anggota Kongres Amerika Serikat akan berpikir ulang jika menghadapi konstituen di Indonesia.

Mengapa? Kata kawan tersebut, begitu menjadi anggota DPR, setiap hari ada saja proposal permintaan sumbangan dari berbagai kalangan yang sampai di mejanya. Dengan kata lain, hubungan antara wakil rakyat dan masyarakat konstituennya sudah direduksi dengan transaksi uang. No money no honey.

Dalam masa menjelang kampanye dan apalagi pada waktu kampanye Maret nanti, urusan sogok-menyogok akan semakin nyata. Sekarang saja sudah banyak anggota masyarakat yang mendekati sejumlah caleg dengan janji memberikan dukungan sekian puluh ribu suara asal mendapat sejumlah imbalan, baik berupa uang atau barang.

Sebaliknya tidak sedikit pula caleg yang mengobral janji memberikan santunan, sembako, uang, dan lain-lain janji kepada rakyat agar memilihnya. Semua ini memabukkan, baik yang berjanji maupun yang diberi janji. Caleg yang polos dan jujur dijamin kurang laku di pasaran.

Politik Kepalsuan
Fenomena yang berkembang seperti sekarang ini sesungguhnya sangat mengkhawatirkan lantaran melahirkan politik kepalsuan dan tokoh munafik. Kepalsuan yang saya maksud ialah sikap bermuka manis dan berwajah malaikat meski berhati dan berperilaku seperti setan.

Akibatnya, sikap munafik yang muncul. Misalnya, berjanji setelah jadi anggota DPR/DPRD akan memberikan 100 persen gajinya untuk rakyat, suatu janji yang mustahil diwujudkan, sebab parpol saja sudah memotong sedikitnya 20 persen gaji anggota dewannya. Jadi, bagaimana caleg bisa berjanji memberikan gajinya 100 persen untuk rakyat? Wajah munafik calon politisi ini makin bertambah panjang dan makin membuat masyarakat tidak percaya kepada mekanisme demokrasi.

Politik palsu ini di Indonesia bisa terjadi karena system checks and balances tidak berjalan dengan baik. Seharusnya masyarakat tidak dihadapkan pada pilihan buta dan seorang calon pemilih harus memperoleh informasi sejelas-jelasnya tentang caleg yang berkompetisi.

Seyogyanya setiap caleg dikaji latar belakang, rekam jejak, dan kemampuannya. Amat disayangkan bahwa petunjuk penting ini tidak pernah diperoleh rakyat pemilih karena semua media tidak ada yang melakukannya. Walhasil, caleg yang berkarakter buruk pun akan bisa terpilih sepanjang memiliki uang untuk membeli baliho, banner, membayar iklan, dan sebagainya.

Yang paling mengkhawatirkan saya ialah terjadinya cycle evil of corruption (lingkaran setan korupsi). Lantaran rakyat minta disogok sembako, uang, dan lain-lain bentuk pemberian material lain, pejabat yang bersangkutan terpaksa mengeruk duit dari berbagai macam sumber, khususnya melalui tindakan korupsi. Atau, bisa saja dia tidak mengambil duit negara, tetapi mendapat sponsor dari pengusaha hitam. Walhasil, akibatnya sama saja. Pejabat korup dan masyarakatnya juga korup. Negara banyak utang dan rakyat makin miskin pula.

Bandingkan dengan capres Amerika Serikat Barack Obama yang mengusung slogan change we can believe in (perubahan yang bisa kita percaya). Masyarakat yang muak dengan rezim Republik George Bush tidak segan-segan membantunya dengan tenaga dan dana.

Seorang teman saya warga Amerika Serikat di Jakarta dengan bangga mengatakan untuk kali pertama dia mau menyumbang pilpres meski sudah beberapa kali dia ikut mencoblos. Dia sangat senang Obama menang karena yakin bahwa kemenangan itu akan membawa perubahan yang signifikan.

Di Indonesia, perkembangan politik makin mengkhawatirkan. Baik politisi maupun sebagian masyarakat sudah berpikir pragmatis. Asal ada uang, sang politisi akan disayang atau dipilih. Politisi bejat dan tidak berakhlaq akan tetap dipilih asal ada uang.

Seseorang maju ke pencalegan bukan untuk memperjuangkan kepentingan publik, tetapi untuk kepentingan dirinya sendiri. Ideologi dan keyakinan perjuangan dikesampingkan. Bahkan, partai pun dipersewakan. Party for rent. Akibatnya fatal, moral politik runtuh dan korupsi akan merajalela.

Pemilu yang dilaksanakan dalam semangat pragmatisme dan apalagi adanya politik uang akan menghasilkan produk yang sangat memprihatinkan. Orang berlomba berebut kursi DPR/DPRD sekadar mendapat kekuasaan belaka atau power for the sake of power.

Tidak ada manfaatnya sama sekali menempatkan seseorang dalam suatu posisi terhormat sebagai pejabat publik jika tanpa ada misi tertentu. Dengan demikian, kita semua hendaknya memilih anggota legislatif yang bukan bermental korup dan bermoral bejat.

Pergunakan hak pilih secara tepat dan benar. Jangan sampai selama lima tahun ke depan DPR dihuni manusia yang tidak bertanggung jawab. Cara mudah untuk mengidentifikasi calon mana yang akan benar-benar bekerja untuk rakyat ialah dengan memeriksa rekam jejaknya dan pernyataan publiknya. Semakin banyak dia berjanji dan apalagi janjinya tampak tidak masuk akal, semakin besar kemungkinan dia tidak bisa dipercaya ketika duduk dalam lembaga eksekutif.

Djoko Susilo, anggota Komisi I DPR

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 16 Februari 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan