Pegawai Negeri Sipil di Negara Maju

SAAT ini birokrat di berbagai negara sedang dikecam, disebut korps penghambat kemajuan bangsa yang dinilai konservatif, memegang teguh nilai-nilai tradisional yang tidak sesuai dengan kemajuan zaman, lamban dalam melakukan terobosan untuk meningkatkan performa dirinya sendiri, serta lebih berperan sebagai perpanjangan tangan penguasa dibanding sebagai pelayan masyarakat. Dengan stigma yang melekat erat dalam diri pegawai pemerintah, tidak mengherankan apabila pekerjaan di sektor publik itu menjadi pekerjaan yang tidak diminati kalangan muda yang memiliki kemampuan tinggi. Akibatnya, lowongan yang ada diisi oleh the second class sehingga menyebabkan korps ini tidak banyak memiliki energi untuk meningkatkan performa-nya.

Sementara itu sektor swasta di negara maju berlomba-lomba berburu lulusan terbaik dari berbagai perguruan tinggi ternama untuk bergabung. Sebaliknya, tenaga kerja potensial pun berlomba untuk bekerja di perusahaan swasta, bukan hanya karena sistem renumerasi yang menarik tetapi lebih dari itu adalah suasana kerja yang kondusif yang memungkinkannya mengembangkan kemampuannya. Sinergi antara perusahaan dan pegawai mampu memberikan hasil yang baik bagi keduanya.

Berbeda dengan fakta yang berkembang, sampai saat ini pegawai negeri sipil di Prancis dan Jepang dikenal sebagai korps yang berkualitas, kuat, diisi oleh orang-orang terbaik yang kemudian dipandang memiliki kontribusi signifikan terhadap keadidayaan bangsanya. Walaupun Jepang dan Prancis menerapkan sistem yang berbeda dalam pengelolaan pegawai negerinya, tetapi keduanya punya tujuan yang sama yaitu mencetak tenaga kerja di sektor publik yang andal dan mumpuni di bidangnya.

PNS di Jepang

Jumlah pegawai negeri sipil di Jepang saat ini mencapai 4,5 juta, 1,2 juta bekerja sebagai pegawai negeri pusat dan sekira 3,3 juta bekerja di pemerintah daerah. Jumlah ini hanyalah 8% dari jumlah total tenaga kerja dan angka ini masih jauh lebih rendah dibanding negara OECD lainnya (19% di Inggris, 22% di Perancis, 32% di Swedia, 15% di Jerman dan Amerika Serikat). Banyak literatur yang menyatakan bahwa PNS Jepang dikenal pintar, unggul, bersih, jujur, punya loyalitas dan dedikasi terhadap pekerjaan serta bangga dengan pekerjaannya.

Pekerjaan sebagai PNS sampai saat ini masih merupakan pekerjaan yang didambakan bagi usia angkatan kerja. Hal ini dibuktikan dengan tingginya jumlah peserta pada saat pelaksanaan seleksi CPNS yang diadakan hampir setiap tahun.

Seleksi yang sangat ketat diterapkan oleh pemerintah Jepang sebagai upaya untuk menyaring calon yang kompeten. Seleksi dibagi menjadi tiga kategori, kelas 1, 2, dan 3. Calon yang berhasil lulus seleksi kelas 1 (dahulu dinamakan sebagai kelas senior A) dikenal sebagai lulusan terbaik, dan terpintar. Untuk mereka diberikan predikat sebagai kelompok karier. Seleksi kelas 1 dinilai sebagai seleksi tersulit, sebagai contoh pada tahun 1995, dari 43.431 peserta seleksi hanya 1.636 yang lulus (3,8%).

Apabila dilihat berdasarkan kategori bidang studi, seleksi untuk program administrasi, hukum, dan ekonomi, punya persentase yang lebih dramatis lagi, hanya 474 yang diterima dari 21,037 pelamar (2,2%). Bagi CPNS yang lulus di kategori kelas 2 (umumnya lulusan D4) dan kelas 3 (umumnya lulusan sekolah menengah) diberikan predikat PNS non-karier, yang harus berada di lapisan kedua setelah lulusan kelompok A ketika terdapat kesempatan untuk menduduki sebuah jabatan struktural. Artinya posisi sebagai pejabat hanya akan diberikan kepada pegawai yang memang dinilai lebih unggul dari pegawai yang lain. Hasil seleksi PNS adalah indikator utama yang digunakan oleh pemerintah Jepang.

Jumlah PNS karier kurang dari empat persen dari jumlah total PNS yang ada, tetapi hampir 80% kelompok ini menduduki berbagai jabatan strategis di berbagai departemen maupun instansi pemerintah, sebagai konsekuensi dari sistem seleksi yang disusun berdasarkan perbedaan tingkat kesulitan, maka kelompok ini kemudian punya privilege khusus dalam berkarier. Artinya, kesempatan promosi dan pemberian jabatan penting akan lebih diutamakan diberikan kepada kelompok yang dikenal sebagai high-flyers bureaucrats ini.

Tiap tahun setiap departemen merekrut tidak lebih dari 20 orang PNS dari kelompok ini. Dengan kesempatan berkarier yang ada di tangan dan jumlah kursi jabatan yang semakin mengerucut maka kemudian terjadi persaingan yang ketat di antara kelompok dua puluh ini untuk meniti karier menuju posisi tertinggi.

Keluarnya Jepang dari keterpurukan pasca-PD II dan keberhasilannya menjadi negara industri telah banyak dianalisis sebagai buah dari kuatnya jajaran birokrat di Negara Matahari Terbit ini. Tingkat kejujuran PNS di Jepang telah dibuktikan secara nyata. Sementara itu, salah satu cara untuk menekan korupsi di lingkungan birokrat ditempuh dengan berbagai cara. Pemberian gaji yang menarik yang tidak kalah dengan pekerja kelas menengah di sektor swasta merupakan hal penting bagi pegawai untuk bekerja dengan jujur dan dapat menurunkan keinginan pegawai untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari pekerjaannya.

Sebagai ilustrasi, seorang sarjana yang diterima sebagai PNS masa kerja 0 tahun akan mendapatkan gaji sekira 180.000 yen atau sekira Rp 14,5 juta, nilai itu sama dengan gaji yang diberikan oleh perusahaan swasta untuk kategori yang sama. Kenaikan gaji setiap tahun rata-rata sebesar 6.500 yen, atau sekirar 520 ribu rupiah, tapi kenaikan akan lebih besar apabila pegawai mengalami kenaikan golongan, misal dari golongan 3 ke golongan 4 mencapai nilai 31.000 yen, atau sekira Rp 2,5 juta.

Oleh karena itu tidak mengherankan apabila PNS Jepang akan berlomba untuk bekerja baik agar bisa mendapatkan promosi berupa kenaikan golongan. Berangkat pagi hari dan pulang larut malam adalah pemandangan yang biasa bagi pegawai di Jepang, baik pegawai negeri maupun pegawai swasta.

Cara kedua yang bisa dipelajari adalah tata letak tempat duduk pegawai. Sampai dengan tingkat eselon tiga, semua pegawai ditempatkan dalam satu ruangan yang sama bahkan untuk di beberapa pemerintah daerah terdapat bagian yang menempatkan pegawainya dalam satu meja panjang. Sistem ruang bersama tersebut membuat suasana pekerjaan menjadi terbuka sehingga apa pun yang dikerjakan oleh pegawai secara jelas akan terlihat oleh pegawai yang lain. Perjanjian rahasia antara oknum pegawai dengan klien pun bisa terbatasi dengan pesawat telefon yang dipergunakan oleh bersama.

Pendidikan dan latihan spesifik yang sesuai dengan tupoksi akan diberikan secara berkelanjutan dan berkesinambungan baik di dalam maupun di luar Jepang. Local Autonomy College di pinggiran Kota Tokyo menjadi institusi yang dipergunakan oleh pemerintah daerah untuk meng-up grade kualitas pegawainya. Untuk bisa mengikuti pendidikan di tempat ini pun bukan perkara mudah karena dilakukan seleksi ketat sehingga hanya pegawai yang memang dianggap mampu yang mengikuti pendidikan di tempat ini.

Untuk mengetahui kesesuaian antara sistem pendidikan dan kebutuhan di lapangan, lembaga ini punya dewan pendidikan yang berasal dari berbagai perguruan tinggi terkemuka yang bertugas untuk menggodok sistem dan kurikulum yang diperlukan. Tenaga pengajar didatangkan dari kalangan akademis maupun praktisi di kalangan pegawai pemerintah.

Sistem rekrutmen ataupun sistem pengelolaan pegawai negeri pusat yang dinilai berhasil menjadi lokomotif bagi kemajuan bangsa Jepang, sehingga sistem ini pun diaplikasi oleh pemerintah daerah dengan tujuan untuk menyaring PNS yang berkualitas. Bahkan untuk sistem penggajian, pemerintah daerah memberikan gaji di atas ketetapan yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Hal ini juga yang membuat pemerintah daerah tetap mampu mempertahankan pegawainya tanpa takut pindah ke pusat hanya karena gaji.

PNS Prancis

Ecole National d'administration (ENA) telah dikenal luas sebagai lembaga yang berhasil menelurkan elite birokrat di Prancis. Hal ini dibuktikan oleh berbagai fakta; dua dari tiga presiden Prancis dan enam dari delapan Perdana Menteri adalah lulusan ENA. Setiap tahun ENA menghasilkan 120 calon pemimpin masa depan Prancis, dan pada saat ini terdapat kecenderungan bahwa lulusan ENA berhasil menembus pasaran sektor swasta serta di berbagai organisasi international (terutama untuk EU).

Secara historis, ENA didirikan pada tahun 1945 di masa pemerintahan Charles de Gaulle. ENA dibangun sebagai lembaga yang mampu melakukan reformasi di bidang pemerintahan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila sistem yang dibangun di ENA didesain sedemikian rupa sehingga lulusannya ditahbiskan sebagai orang yang mumpuni/kompeten di bidang pemerintahan dan mampu bertindak sebagai seorang pemimpin yang mampu membawa negara Prancis menjadi negara adidaya.

Sistem pendidikan di ENA dimulai dari proses rekrutmen, calon kader diseleksi di antara pegawai negeri ataupun lulusan terbaik dari berbagai perguruan tinggi di Prancis. Proses rekrutmen ditempuh dalam waktu tiga bulan yang diakhiri dengan grand interview selama 45 menit, proses ini sangat meletihkan karena selama tiga bulan tersebut peserta belum resmi menjadi peserta ENA dan pada wawancara tersebut masih besar kemungkinan peserta akan tercoret sebagai kader apabila dianggap gagal dan tidak memenuhi syarat bagi peserta ENA.

Lulusan 20 terbaik secara otomatis akan menempati jabatan penting tanpa mengajukan lamaran ataupun proses administrasi lainnya, sementara itu jabatan penting lainnya akan diberikan kepada sisa lulusan ENA. Tidak ada satu pun ENA yang mencari dan kebingungan mencari pekerjaan setelah menempuh 27 bulan pendidikan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila dalam leaflet yang dikeluarkan secara resmi oleh ENA dinyatakan the jobs come to them.

Pada awal pendirian, ENA hanya ditujukan bagi pegawai yang memiliki masa keja di atas lima tahun dan juga bagi mahasiswa lulusan terbaik dari berbagai perguruan tinggi ternama. Sejak tahun 1991 ENA memberi kesempatan yang sama bagi warga negara Prancis yang bekerja di sektor swasta yang berminat untuk berkarier di bidang pemerintahan. Pada saat ini komposisi siswa ENA adalah, 50% sarjana fresh graduate, 45% diperuntukkan bagi pegawai negeri, dan 5% dari kelompok swasta.

Sesuai dengan tujuan utama ENA yaitu menghasilkan lulusan yang siap pakai maka kurikulum punya ciri sebagai applied-training oriented, dan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki wawasan nasional maupun global, ENA tetap menyediakan materi ilmu dasar seperti, hukum, administrasi publik, ekonomi, manajemen sumber daya, dan berbagai keahlian yang sangat dibutuhkan oleh seorang birokrat; legal drafting, negosiasi, bahasa, dan penguasaan IT.

Salah satu ciri khas ENA yang membedakannya dari lembaga pendidikan di daratan Eropa lainnya adalah bahwa tenaga pengajar ENA lebih banyak berasal dari tenaga profesional dan praktisi yang dianggap punya kompetensi dan memiliki kemampuan yang dibutuhkan dan sesuai dengan kurikulum ENA. Sekira 400 orang dijadikan sebagai tenaga pengajar yang memiliki kompetisi dan memiliki kemampuan yang dengan kebutuhan ENA dalam setiap tahun.

Dalam upaya menjaga kualitas, ENA memiliki dewan direksi yang terdiri dari kalangan birokrat seperti wapres, direktorat pendidikan tinggi, akademisi, wakil alumni, departemen dalam negeri, departemen luar negeri, kalangan akademisi, wakil dari kalangan pengusaha, dan badan kepegawaian negara. Dengan komposisi dewan tersebut sebagai pengontrol kualitas, ENA dapat menyelaraskan sistem pendidikan dengan kebutuhan pasar dan dapat secara cepat menangkap aspirasi publik.

Beberapa elite yang merupakan lulusan ENA adalah Presiden Jacques Chiraq, mantan presiden Valery Giscard d'Estaing, Perdana Menteri Eduard Balladur, Michel Rocard, Alain Juppe, Laurent Fabius, Lionell Jospin, Jean-Marie Messier, mantan Presiden Direktur Vivendi Universal, dan Pascal Lamy, Direktur Perdagangan di EU.

Pada saat ini berkembang isu reformasi di tubuh ENA sebagai salah satu bagian dari reformasi administrasi yang sedang berjalan di Prancis, yang berdampak pada dituntutnya ENA untuk melakukan berbagai perubahan terutama hak privilege khusus yang selama ini disandang ENA sebagai sekolah penghasil birokrat. Salah satu poin yang diajukan adalah memasukkan roh egalitarian ke tubuh ENA sehingga ENA dan lulusannya tidak arogan yang mengkhususkan dan menganggap diri sebagai orang yang pasti menjadi seorang pemimpin.

Poin lain yang diajukan sebagai bahan reformasi adalah penghapusan jaminan tentang posisi high-flyers bureaucrarts untuk seluruh lulusan ENA. Hal lain yang dijadikan sebagai bahan reformasi adalah tentang lokasi ENA. Sekarang, kader ENA dididik di dua tempat, Paris dan Strasbourg. Kaum reformis menginginkan agar lokasi ENA segera dipindahkan dari Paris sebagai upaya untuk meminimalkan koreksitas ENA dengan pusat pemerintahan Perancis.

Reformasi di tubuh ENA dimotori oleh Perdana Menteri Jean-Piere Raffarin sebagai minoritas elite Perancis yang lulusan non-ENA. Terlepas dari masalah keinginan untuk mereformasi ENA, hal tersebut tidak mampu menghapus bukti bahwa ENA telah berhasil menjadikan lulusannya sebagai pejabat yang berkualitas.(Ella Wargadinata, pegawai negeri di STPDN, alumnus Kobe University, Jepang)

Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 27 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan