Patrialis Akui Bawahannya Lalai Soal Paspor Gayus

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengatakan terbitnya paspor atas nama Sony Laksono, yang dipakai Gayus H. Tambunan untuk pelesir, adalah akibat kelalaian anak buahnya di Kantor Imigrasi Jakarta Timur. "Kelalaian itu persoalan administratif," kata Patrialis soal sanksi yang bakal dikenakan terhadap bawahannya di kantornya kemarin.

Menurut Patrialis, kelalaian itu diketahui setelah dia meminta konfirmasi langsung kepada petugas Kantor Imigrasi dalam rapat tertutup kemarin. Rapat itu dihadiri petugas Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta, Kantor Imigrasi Jakarta Timur, pimpinan Direktorat Jenderal Imigrasi, serta Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Patrialis menerangkan, anak buahnya mengajukan tiga alibi soal kelalaian itu. Pertama, seperti umumnya masyarakat, petugas Imigrasi Jakarta Timur berpikir bahwa Gayus masih ditahan. "Kami tidak punya pikiran kalau Gayus itu tidak ditahan," ujar Patrialis.

Alasan lainnya, menurut Patrialis, anak buahnya beranggapan Gayus sudah dicegah-tangkal oleh Direktorat Jenderal Imigrasi sehingga tidak mungkin bisa ke luar negeri. Lagi pula tidak ada orang atas nama Gayus Tambunan yang mendaftarkan pembuatan paspor.

Alasan terakhir, petugas Imigrasi beranggapan paspor asli atas nama Gayus Tambunan sudah dicabut oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Karena itu, mereka berpikir Gayus tidak mungkin pergi ke luar negeri. "Kami tidak mengira sama sekali," kata Patrialis lagi.

Adapun Markas Besar Kepolisian RI mengungkapkan, jaringan pemalsu paspor yang membantu terdakwa kasus pajak Gayus H. Tambunan melibatkan banyak nama. Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar mengatakan, di antara mereka ada yang pernah bekerja sebagai karyawan bank.

Sejauh ini, menurut Boy, baru "A" dan Gayus yang menjadi tersangka kasus pemalsuan paspor itu. Tersangka A mengenal Gayus lewat teman kuliahnya, "AG", yang sudah diperiksa polisi dan merupakan kakak kelas Gayus di sekolah menengah atas.

Si A pernah bertemu dengan Gayus di sebuah tempat di Jakarta pada Juli 2010. Saat itu Gayus sudah berstatus tahanan di Rumah Tahanan Markas Komando Brimob Polri, Kelapa Dua, Depok.

Gayus tidak hanya dibantu tersangka A. Terdakwa kasus mafia hukum itu pun mendapat bantuan dari "J" dan "J", yang juga diduga anggota sindikat pemalsu paspor. Meski bukan otak pemalsuan paspor, kata Boy, "Peran J dan J sangat signifikan." MAHARDIKA SATRIA HADI | CORNILA DESYANA
------------------
"Patrialis Tak Bisa Dinilai Secara Kasuistik"
Dibantah bahwa Patrialis menyediakan sel mewah bagi Artalyta.

Kepala Biro Humas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Martua Batubara, menyatakan pekerjaan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar tak bisa hanya dinilai secara partikular dan kasuistik. Sebab, kata dia, Kementerian Hukum dan HAM memiliki ratusan satuan kerja di seluruh Indonesia serta perwakilan di luar negeri.

Pada halaman 1 Koran Tempo edisi Kamis, 13 Januari 2011, tertulis Patrialis dinilai tak cocok pada jabatan Kementerian Hukum dan HAM. Menurut anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, pos menteri hukum semestinya dijabat sosok profesional. Bahkan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi UGM Zainal Arifin Mochtar menilai Patrialis tidak berprestasi dan layak diganti.

Martua juga menyoroti isi infografik koran ini yang berjudul "Setahun Kontroversi". Dalam soal Patrialis yang mempertanyakan relevansi pemutaran rekaman penyadapan telepon Anggodo Widjojo di Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian suatu undang-undang, dia menyatakan kalimat Patrialis itu disampaikan untuk meluruskan perjalanan sidang MK. Menurut dia, Patrialis adalah salah seorang yang terlibat langsung merumuskan amendemen UUD 1945 yang di dalamnya mengatur soal MK.

"Apa salahnya Patrialis Akbar mempertanyakan hal tersebut dalam persidangan resmi dan terbuka untuk umum," tulis Martua dalam hak jawab kepada Tempo kemarin.

Patrialis, kata dia, tak pernah memberikan fasilitas mewah untuk Artalyta Suryani di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Menurut dia, sel mewah itu sudah ada sebelum Patrialis menjabat menteri.

Dia menyatakan bukan Patrialis pula yang menilai kondisi kesehatan mantan bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hassan Rais, yang mendapat grasi dari Presiden. "Yang menilai Syaukani sakit parah dokter yang ahli di bidangnya," kata Martua.

Pemberian grasi untuk Syaukani, kata dia, telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Martua mengatakan pemberian remisi kepada 330 narapidana perkara korupsi, termasuk besan Presiden, Aulia Pohan, yang bebas bersyarat karena mendapat remisi 15 bulan, sudah diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999.

Dia juga membantah anggapan bahwa Kementerian Hukum dan HAM mengintervensi rencana penayangan "Bisnis Seks di Balik Penjara" oleh SCTV. Masalah itu, kata dia, telah dinyatakan selesai oleh Dewan Pers.

Perihal UKP4 memberi nilai merah untuk kementerian hukum, Martua menyatakan penilaian merah itu bukan disebabkan oleh kinerja kementerian hukum, melainkan akibat persoalan anggaran yang belum bisa dicairkan karena saat itu belum mendapat persetujuan dan dituangkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran.

Adapun ihwal lolosnya terdakwa kasus mafia hukum Gayus Tambunan ke luar negeri menggunakan paspor Sony Laksono masih diusut oleh kementerian hukum dan Mabes Polri. SAPTO YUNUS

Sumber: Koran empo, 14 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan