Pasal Anti Pencucian Uang¸ Membabat Kejahatan Kehutanan
Negara menderita kerugian akibat kejahatan kehutanan. Namun, cukong masih sulit tersentuh. Seharusnya hutan dapat diselamatkan dengan penerapan pasal anti pencucian uang.
Lebih dari 2/3 daratan Indonesia, atau 131,28 juta hektar, adalah kawasan hutan. Tapi, luas hutan terus menurun. Indonesia berada pada urutan ketiga dunia dengan laju deforestasi hutan sebesar 498 ribu hektar per tahun, menurut Forest Resource Assessment (FRA). Tahun 2008, Guinness Book of World Records menobatkan Indonesia sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia. Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap hari, setara luas 300 lapangan bola setiap jam.
Human Rights Watch melansir temuan bahwa setiap tahun, Indonesia menderita hingga 2 miliar dolar (hampir 20 triliun rupiah). Kerugian disebabkan oleh buruknya manajemen hutan, illegal logging, dan korupsi. Soal illegal logging memang sangat memengaruhi Indonesia, menurut Environmental Outlook oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).Apalagi, permintaan kayu untuk industri diperkirakan akan meningkat menjadi 70% sampai 2020.
KPK pernah menangani korupsi 15 perusahaan kehutanan di Riau yang terbukti merugikan negara lebih dari 1,2 triliun rupiah. Perusahan-perusahaan yang diduga terafiliasi dengan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Sinar Mas Forestry Group dan Panca Eka Group ini, mendapat hasil hutan dengan menyuap pejabat daerah untuk perizinan.
Jumlah pembukaan lahan dan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi perkebunan juga semakin melonjak. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mencatat, luas perkebunan sawit mencapai 7,3 juta hektar di 17 provinsi pada tahun 2010. Jumlah ini melonjak jadi 9,1 juta hektar di tahun 2012.
Lahan sawit diperkirakan meningkat tajam hingga 30 juta hektar ke kawasan hutan di 23 provinsi di Indonesia, setelah kebijakan pencadangan lahan dan Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2012 disahkan. Padahal, kejahatan di sektor kehutanan, masih merajalela.
Asian Agri, contoh kasus kejahatan kehutanan
Sejak tahun 2012, ICW telah meneliti peluang penerapan UU Anti Pencucian Uang dalam kasus-kasus kehutanan dan perkebunan. Asian Agri Group, perusahaan sawit terbesar di Asia Tenggara yang terbukti bersalah di Mahkamah Agung karena menghindari pajak, menjadi obyek studi kasus ICW.
Pada 18 April lalu di Jakarta, ICW bersama WALHI merilis hasil studi kasus Asian Agri dan peluang pasal pencucian uang untuk menjerat para pelaku sebenarnya dalam kasus ini. Peneliti ICW, Febri Diansyah, mengungkapkan, “Setelah mendalami kasus Asian Agri, kami melihat bahwa pasal pencucian uang bisa digunakan untuk kasus-kasus kehutanan serupa di masa depan.”
Asian Agri menghindari pajak yang menyebabkan negara merugi. Mahkamah Agung telah menjatuhkan vonis bersalah pada Asian Agri Group. Dakwaan jatuh pada Suwir Laut, Manager Pajak Asian Agri Group. MA meyakini meyakini perbuatan Suwir Laut dilakukan untuk dan atas nama perusahaan, sehingga menguntungkan perusahan. Itu sebabnya, denda dibebankan pada perusahaan. MA memerintahkan Asian Agri membayar denda 2,52 triliun rupiah.
Asian Agri menggunakan dua modus untuk menghindari pajak. Pertama, rekayasa penjualan untuk menurunkan keuntungan. Akibatnya, pembayaran pajak menurun dan negara dirugikan. Asian Agri mengirim barang langsung pada negara pembeli (end buyer). Tapi, dokumen penjualan dibuat seolah-olah penjualan melewati sejumlah perusahaan di daerah “surga pajak” seperti Hong Kong, Macau, dan/atau British Virgin Island. Padahal, perusahaan-perusahaan tersebut hanyalah paper company atau Special Purpose Vehicle (SPV).
Kedua, rekayasa biaya. Biaya Jakarta merupakan rekayasa yang dikirimkan pada rekening tertentu di Indonesia, kemudian ditransfer ke rekening di Hong Kong dan dikirim kembali pada pihak yang diduga merupakan aktor intelektual/penikmat aliran dana. Ada juga biaya hedging dan management fee.
Penghindaran pajak Asian Agri merugikan negara 1,26 triliun rupiah. Namun, karena pidana pajak sebagai pencucian uang baru diatur sejak UU No. 25 tahun 2003, maka pengusutan pencucian uang hanya dapat dilakukan untuk kerugian negara pada tahun pajak 2003-2005, yaitu sebesar Rp. 958,5 miliar.
Catatannya, penyidik pencucian uang harus mampu mengargumentasikan bahwa perbuatan yang terjadi untuk tahun pajak 2003 merupakan perbuatan berlanjut, sehingga meskipun UU No. 25 tahun 2003 baru berlaku sejak 13 Oktober 2013, aturan ini tetap bisa menjangkau perbuatan selama tahun pajak 2013.
ICW dan WALHI juga mendesak Kejaksaan Agung segera mengeksekusi hukuman denda 2,52 triliun pada Asian Agri. Kejaksaan Agung juga harus bekerjasama dengan Ditjen Pajak untuk merumuskan peluang penerapan UU Anti Pencucian Uang pada kasus ini.
Membabat kejahatan keuangan dengan pasal anti pencucian uang
Undang-undang Kehutanan, Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-undang Perpajakan belum bisa mengejar dan melacak seluruh aliran dana ke aktor di balik layar yang terlibat kejahatan sektor kehutanan.
Kabar baiknya, jika ketiga aturan tersebut digabung dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003 tentang Anti Pencucian Uang, maka semua pihak yang ikut menyembunyikan dan menikmati hasil kejahatan bisa dijerat. Termasuk pemilik perusahaan yang sesungguhnya. “UU Anti Pencucian Uang dapat menyelamatkan kerugian negara akibat kejahatan kehutanan, dengan strategi follow the money(mengikuti uangnya),” ujar Febri.
Febri menilai, seharusnya UU Anti Pencucian Uang diterapkan pada kasus Asian Agri. “Apalagi Putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap yang membuktikan adanya predicate crime (tindak pidana asal) bidang perpajakan. UU Anti Pencucian Uang dapat dipakai sebagai hukum pidana materil,” jelas Febri.
Selain itu, penerapan UU Anti Pencucian Uang dapat menjangkau perusahaan dengan hukuman denda, pembekuan dan/atau pembubaran perusahaan jika terbukti melakukan pencucian uang.
Penyidikan pencucian uang, bagaimanapun, hanya dapat dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal. Dalam bidang perpajakan, penyidik yang berwenang mengusut indikasi pencucian uang adalah adalah PPNS Ditjen Pajak Kementerian Keuangan. Ini diatur pasal 74 UU No. 8 tahun 2010 tentang Penyidikan Pencucian Uang.