Partai Harus Biayai Calon Kepala Daerah

Maraknya korupsi di daerah terjadi karena kepala daerah yang terpilih harus berpikir mengembalikan modalnya selama kampanye. Padahal, gaji kepala daerah tidak memadai untuk mengembalikan modal pencalonan itu. Untuk mengurangi korupsi di daerah, partai politiklah yang harus membiayai pencalonan dan kampanye calon kepala daerah.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (24/1), mengakui, biaya pemilu kepala daerah (pilkada) sangat tinggi, tetapi kini belum ada aturan yang mengatur parpol harus membiayai pencalonan kepala daerah.

Gamawan mengakui, selama ini biaya pilkada yang tinggi menjadi beban bagi kandidat. Kementerian Dalam Negeri tengah menyiapkan aturan untuk mengurangi beban calon dalam pilkada, dan partai pengusung yang harus menanggungnya.

Aturan itu, kata Gamawan, bakal akan dimasukkan dalam Undang-Undang tentang Pilkada. ”Ini akan diterapkan untuk mencegah korupsi oleh kepala daerah,” katanya.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Arif Wibowo, pun mengakui, maraknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi jelas berhubungan secara langsung dengan pilkada. Biaya tinggi itu dikeluarkan calon antara lain untuk membiayai kegiatan yang melanggar aturan pilkada, berupa ”membeli” kendaraan politik dan politik uang.

”Lemahnya aturan pengertian kampanye, dana kampanye, tindak pidana politik uang, dan sanksi terhadap pelanggar ketentuan itu semakin melestarikan tindak politik uang dengan segala modusnya. Selain itu, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terkait politik uang dan larangan penggunaan fasilitas jabatan juga semakin menyuburkan praktik politik uang hingga mengakibatkan pilkada berbiaya tinggi,” katanya.

Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR Ahmad Muzani menuturkan, biaya pilkada dapat dikurangi jika parpol hanya bisa mengirimkan kadernya sebagai peserta. Calon yang tidak menjadi kader partai harus maju melalui jalur independen.

”Kecil kemungkinan partai akan ’memeras’ kadernya. Kebijakan itu juga akan mendorong parpol serius melakukan kaderisasi, terutama untuk menghadapi pilkada,” katanya.

Korupsi di daerah, lanjut Muzani, juga dikarenakan ada kecenderungan kepala daerah menjadi penguasa tunggal. Pengawasan yang dilakukan DPRD cenderung tidak berjalan. ”Akibatnya, pengelolaan keuangan daerah menjadi cenderung dilakukan mengikuti keinginan kepala daerah. Jabatan penting di daerah lebih ditentukan oleh pertimbangan dan kepentingan politik kepala derah,” paparnya.

Namun, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, AAGN Ari Dwipayana, mengingatkan, calon kepala daerah yang menggunakan politik uang untuk mencari dukungan rakyat belum tentu terpilih. Mengacu hasil Polmark Indonesia, uang memiliki peranan terbatas.

Survei Polmark Indonesia tentang persepsi masyarakat terhadap politik uang dalam Pilkada 2010 menunjukkan, 40 persen responden menolak pemberian uang kandidat; 36 persen menerima uang, tetapi tidak memilih calon; dan 3 persen responden menerima uang dan memilih calon. Survei dilakukan di Ambon (Maluku), Bengkulu, serta Medan dan Kabupaten Karo (Sumatera Utara).

Berdampak pelayanan
Gamawan mengingatkan, banyaknya kepala daerah yang menjadi tersangka atau terdakwa korupsi, bahkan ditahan, pastilah berdampak terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. ”Seharusnya orang nomor satu yang memimpin, menjadi orang nomor dua yang harus memimpin. Seharusnya penyelenggaraan pemerintahan daerah dijalankan berdua, ini hanya satu orang. Masyarakat tentu juga mengharapkan pelayanan publik yang optimal,” katanya.

Sinyalemen Mendagri itu memang benar. Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Jefferson SM Rumajar, yang menjadi terdakwa kasus korupsi dana APBD, kini ditahan. Akibatnya, birokrasi di Tomohon terbelah, bahkan gaji pegawai negeri sipil pada Januari 2011 sempat terlambat.

Di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Bupati MZA Djalal dan Wakil Bupati Kusen Andalas terjerat kasus korupsi sehingga Gubernur Jatim Soekarwo menunjuk pejabat bupati. Namun, anggota DPRD Jember tidak menerima pejabat itu sehingga APBD Jember 2011 belum dapat disahkan.

Padahal, APBD adalah ruh dari kelancaran pelaksanaan pemerintahan dan program pembangunan di daerah. APBD Jember 2011 dianggarkan Rp 1,578 triliun. ”APBD belum diketuk oleh DPRD. Kami tidak bisa bekerja efektif, kecuali gaji bulanan,” kata Hariyadi, Kepala Kantor Kebersihan dan Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Jember.

Agar tidak terjadi kekosongan pelayanan kepada masyarakat, Penjabat Bupati Jember Zarkasi menerbitkan peraturan penggunaan APBD tahun 2011.

Di tingkat provinsi, Gubernur Sumut Syamsul Arifin kini ditahan KPK karena disangka mengorupsi dana APBD Kabupaten Langkat 2000-2007 (bukan korupsi proyek pemadam kebakaran, seperti diberitakan Senin, 24/1). Pemerintahan di Sumut pun kini bertumpu pada Wakil Gubernur Gatot Pujo Nugroho.

Dari Semarang, Senin, Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Untung Arimuladi menjelaskan, dari 10 kepala daerah di Jateng yang diduga terlibat korupsi APBD, baru satu orang yang proses hukumnya berlanjut. Ia adalah Bupati Tegal periode 2009-2014 Agus Riyanto.

Agus tersangkut penyimpangan dana APBD Kabupaten Tegal 2006-2007 sebesar Rp 1,73 miliar. ”Kejaksaan telah menyita rumah pribadi milik bupati di Bandung,” kata Untung. Agus pun terjerat kasus korupsi proyek jalan lingkar Slawi. (SIR/SIE/REN/HAR/NIT/WHO/AIK/NWO)
Sumber: Kompas, 25 januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan