Parpol Lukai Hati Rakyat

SUNGGUH aneh tapi nyata. Di tengah gemuruh amarah rakyat atas ketidakadilan dalam penegakan hukum di negeri ini, partai politik justru diam seribu bahasa. Dewan Perwakilan Rakyat juga tertib tutup mulut. Saking sepinya, sampai-sampai Adnan Buyung Nasution sebagai ketua tim pencari fakta (TPF) mempertanyakan suara parpol.

Mungkin suara partai secara resmi telah dimandatkan kepada Komisi III DPR lewat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kapolri dan jajarannya Kamis malam lalu (5/11). Kalaulah itu yang dipahami oleh partai politik, tentu rakyat patut kecewa. Sebab, anggota Komisi III justru mempertanyakan, kenapa Kapolri menangguhkan penahanan Bibit S. Riyanto-Chandra M. Hamzah?

Itu adalah pertanyaan lucu. Itu mirip pertanyaan orang yang mengigau. Bukankah DPR dan parpol sudah mendengarkan pemutaran rekaman di Mahkamah Konstitusi? Bukankah mereka punya mata dan punya telinga, bagaimana sebenarnya aspirasi yang bergejolak di masyarakat?

Dalam dengar pendapat tersebut, Komisi III sebenarnya lebih pantas disebut sebagai institusi resmi yang memberikan energi baru dan melindungi orang-orang yang diduga terlibat penyuapan atau pemerasan daripada menjalankan fungsi kontrol dan evaluasi.

Kenapa para politikus yang duduk di DPR tidak berani berbicara dengan gagah dan penuh wibawa bahwa kasus cicak v buaya dengan segala pernik-perniknya harus dijadikan instrumen untuk melakukan reformasi lembaga penegak hukum secara mendasar? Semua yang terlibat, siapa pun, dan apa pun jabatannya -apakah anggota Polri, kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekali pun yang terbukti- harus ditindak tegas. Kenapa tidak ada imbauan, apalagi tuntutan agar Kapolri tegas dan berani memecat segera anak buahnya yang diindikasi terlibat? Kenapa pula dialog-dialog yang terjadi hanya bersifat normatif dan dijawab secara normatif pula?

DPR Konservatif
Mengapa DPR kita tidak berani berpikir secara progresif? Mengapa kalah progresif dengan Mahkamah Konstitusi (MK)? Mengapa di tengah perubahan berarti di tubuh MK, justru lembaga yang mestinya progresif kini malah menjadi konservatif?

Di negara-negara yang mengikuti pola penegakan hukum progresif, terutama di bidang pemberantasan korupsi, pejabat negara -baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif- akan mengundurkan diri bila terindikasi kuat terlibat penyelewengan atau melakukan tindak pidana. Itu yang kini berkembang di Jepang, Hongkong, Tiongkok, dan lain-lain.

Hal tersebut berbeda dengan di Indonesia, pejabat yang sudah ditelanjangi secara publik dan dibuktikan dengan sebuah rekaman secara jelas masih dibela-bela. Kenapa tidak diminta mundur secara permanen? Bukankah mereka sudah menyakiti hati nurani rakyat? Kalau sudah tidak lagi dipandang baik oleh masyarakat, sebagai pelayan masyarakat, kenapa Kapolri tidak diminta secara arif dan bijaksana agar bisa memahami aspirasi rakyat. Istilah Ketua MK Mahfud M.D., "Janganlah menentang arus besar suara rakyat." Kalau masyarakat sudah tidak menyenangi lagi sebagai pihak yang dilayani, kenapa masih tetap jadi pelayannya? Kenapa tidak mengundurkan diri saja?

Pertanyaan-pertanyaan di atas biasanya dijawab secara normatif bahwa sistem hukum kita tidak mengikuti pola seperti itu. Belum ada alat bukti yang kuat serta putusan tetap dan lain-lain. Karena tidak ada progresivitas dalam penegakan hukum, reformasi penegakan hukum hanya berputar-putar tanpa akhir. Kasus per kasus yang menimpa aparat penegak hukum tidak mampu dijadikan kesadaran baru untuk mereformasi sistem penegakan hukum di negeri ini.

Anggodo di Parlemen
Ketika rekaman penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi diputar di Mahkamah Konstitusi, semua yang mendengar tercengang. Di dalam rekaman itu, terlihat dengan jelas betapa ampuhnya seorang yang bernama Anggodo Widjojo. Pengusaha dari Surabaya itu benar-benar memiliki daya linuwih untuk mengatur semua pejabat tinggi di bidang penegakan hukum.

Konon, hal itu bisa terjadi karena kedermawanan Anggodo Widjojo dalam membantu para penegak hukum ketika masih di level bawah. Bahkan mungkin, ketika promosi kenaikan jabatan, mereka tidak terlepas dari peran seorang Anggodo.

Bila di kepolisian dan kejaksaan ada orang ampuh bernama Anggodo, jangan-jangan di kalangan lembaga legislatif juga ada Anggodo-Anggodo yang lain? Atau bahkan di semua level kekuasaan ada Anggodo-Anggodo yang memiliki daya linuwih tersebut. Pertanyaan itu muncul karena terinspirasi pernyataan Qomaruddin Hidayat, salah seorang anggota TPF. Dia mengungkapkan bahwa bandit telah menguasai instrumen negara. Jangan-jangan memang benar, semua level kekuasaan di negeri ini sudah dikendalikan oleh para bandit.

Kemungkinan adanya Anggodo-Anggodo di parlemen dan parpol sebenarnya bukan hal yang mustahil. Apalagi di era sistem pemilu legislatif yang padat modal (kapitalis). Siapa saja yang ingin karir politiknya naik pasti membutuhkan modal besar. Dari mana modal besar itu didapat? Partai politik, tentu tidak. Dengan demikian, pemilik modal yang memiliki kedermawanan seperti Anggodo akan sangat dibutuhkan di kalangan politikus. Seandainya orang-orang seperti itu mau bermain dalam segala proses politik, mereka adalah bagian penting dari agen yang akan memiliki power kuat untuk memengaruhi segala kebijakan politik.

Di sisi lain, membisunya partai politik dan tolerannya sikap para legislator di Senayan semakin menunjukkan bahwa betapa efektifnya koalisi besar yang digalang pemerintahan SBY. Semua bisa terskenario secara rapi. Suara dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebelum Pemilu 2009 selalu nyaring -dalam rapat dengar pendapat dengan Kapolri Kamis malam itu- menjadi tidak terdengar lagi. Pertanyaan-pertanyaan yang keluar di bawah standar sehingga tidak menggigit. Itu merupakan perkembangan demokrasi yang sangat memprihatinkan.

Berangkat dari fakta tersebut, kini rakyat tinggal sendirian. DPR yang dipilih oleh rakyat dan mengaku akan mendengar dan memperjuangkan aspirasi rakyat ternyata tidak selaras dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Janji-janji yang belum lama diucapkan dan dijual sebagai modal politik kini nyaris habis tak terdengar. Karena itu, rakyat harus bersatu untuk bersama-sama secara terus-menerus menekan pemerintah dan parlemen.

*). Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah

Tulisan ini disalin dari jawa Pos, 7 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan