Parpol LSM

Selama ini, kebanyakan aktivis cenderung alergi terhadap politik. Boleh jadi, akibat trauma depolitisasi 30 tahun di bawah rezim Soeharto. Kini, meski Soeharto telah lengser, mereka masih menjadi 'aktivis mengambang'. Akhir-akhir ini, cukup banyak suara yang menganjurkan para aktivis LSM berpolitik agar membuat demokrasi (lebih) bermakna. Caranya, dengan masuk ke partai yang sudah ada, atau membuat partai baru (Demos, 29/11/2005).

Saat ini, setidaknya ada dua LSM besar, yaitu Bina Desa dan Walhi, yang berencana membuat partai politik. Dari dua partai politik calon peserta Pemilu 2009 ini, azas yang dianut cukup jelas, yaitu sosial demokrasi dan kerakyatan. Tentu saja, harus diperjelas perbedaannya dengan asas ekonomi kerakyatan yang juga dianut oleh hampir semua partai politik di Indonesia saat ini, Golkar misalnya.

Pilar utama perekonomian yang menjadi program partai yang pernah menjadi pendukung utama Orde Baru itu adalah usaha kecil, menengah, dan koperasi. Dengan menyandang visi antitesis ekonomi konglomerasi ini, sebenarnya Golkar seharusnya dikategorikan sebagai partai kiri. Namun, sebagai partai pendukung pemerintahan SBY-JK yang saat ini mengambil kebijakan kanan, Golkar pada kenyataannya adalah partai kanan, berseberangan dengan visinya sendiri.

Gejala aneh berikut juga terpantau di LSM. Sebuah forum LSM besar yang bergiat dalam upaya penghapusan utang bagi Indonesia, dalam rapat anggotanya baru-baru ini misalnya, memilih seorang pengurus non-Indonesia yang berideologi kanan, dan tidak setuju adanya penghapusan utang bagi negara berkembang. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi bila para aktivis LSM anggota forum memiliki kesadaran ideologis.

Hal ini, selain akibat proses deideologisasi Orde Baru, boleh jadi juga diperkuat dengan berakhirnya konflik Barat-Timur, awal tahun 1990-an --ketika dua teori utama pembangunan yaitu modernisasi dan dependensia seakan dicampakkan ke 'tong sampah' sejarah ideologi. Emoh teori ini mengandung bahaya bahwa semua yang berbau ideologi ditinggalkan, sehingga tanpa sadar, kita tidak punya pegangan. Yang dilakukan sekadar mengibarkan bendera kecil dalam pusaran wind of change usai Perang Dingin. Padahal, angin yang berhembus, berasal dari arah neo-liberal.

Boom LSM
Di Indonesia, jumlahnya LSM ditaksir sekitar 4.000-7.000-an, belum termasuk yang 'timbul tenggelam' dan yang 'dadakan' karena ada proyek. Sekitar 1.800 LSM mancanegara, termasuk forum LSM yang bergiat dalam penghapusan utang dari Indonesia tadi, telah memperoleh akreditasi PBB. Sehingga selain mengikuti sidang umum, mereka juga berhak memberikan statement singkat dan membagi-bagikan selebaran tentang posisi dan tuntutannya kepada anggota sidang.

Little brother is watching you. Apapun yang dilakukan oleh penguasa di seluruh dunia, selalu di pantau LSM. Bagi LSM berlaku motto yang konon sudah ada sejak abad ke-12: ''Kami adalah orang-orang kate yang berdiri di pundak raksasa, sehingga bisa melihat lebih jauh dan luas ketimbang sang raksasa itu sendiri.'' Boom kelahiran LSM terbesar terjadi usai KTT Lingkungan Hidup di Rio de Janeiro, 1992. Setelah itu, PBB melonggarkan keikutsertakan LSM dalam berbagai KTT serta sidang-sidang komite di kantor pusatnya.

Sejak itu pula, berbagai pengaduan, permohonan, protes, pernyataan, dan manifesto mewarnai seliweran aktivis LSM sebagai pelobi kepentingan masyarakat akar rumput dan kelanggengan hidup bumi manusia. Akan tetapi, para insider dunia LSM tidak terlalu mengharapkan banyak dalam mengikuti berbagai KTT dan forum internasional. ''Kebijakan yang sebenarnya, tidak dilakukan di sana,'' ungkap Paul Hohnen, seorang mantan diplomat Australia, yang kini mengkoordinir 12 top lobbyist dari Greenpeace International. Ternyata, perubahan kebijakan, dilakukan berbagai subdivisi PBB dan ''Prep-Coms'', komite persiapan.

Hal tersebut telah lama diketahui dan dimanfaatkan oleh berbagai LSM internasional seperti Greenpeace, Amnesty Internasional, Oxfam, Prison Watch, organisasi pencari suaka, kelompok perlucutan senjata, dan LSM pendukung hak asasi anak dan perempuan. Berbagai perubahan subtansial dalam kebijakan lingkungan, gender dan sosial, memang berhasil dicapai oleh para pelobi dari LSM.

Para bekas diplomat seperti Paul Hohnen, bukan lagi 'barang langka' dalam 'jalinan' PBB-LSM. ''Suatu waktu, di kursi belakang sebuah limousin menuju kantor kedutaan di Sri Lanka, saya berpikir: sebagai diplomat, saya tidak bisa mengubah apapun. Maka, melamarlah saya menjadi anggota Greenpeace,'' ungkap Hohnen. Hubungannya, timbal balik. Ada pula aktivis LSM yang terlibat dalam perumusan bebagai dokumen PBB.

Gudang uang
Hambatan nyaris hanya ditemui aktivis LSM di 'gudang uang' PBB, yaitu Bank Dunia. Setiap tahun, Bank Dunia membagi-bagi rata-rata 22,5 miliar dolar AS 'bantuan' (yang umumnya berupa utang) pembangunan kepada penguasa korup dan untuk berbagai proyek besar yang merusak lingkungan dan memperlebar kesenjangan sosial. Paling tidak, itulah sinyalemen banyak LSM Utara yang menganggap Bank Dunia sebagai musuh nomor satunya.

Sebaliknya, banyak LSM Selatan yang menilai Bank Dunia sebagai sumber dana dan partner pembangunan. Sementara LSM yang ''moderat'' mencoba melakukan perubahan ''dari dalam'' lembaga Bretton Wood tersebut dan meneruskan informasi tentang proyek yang dianggap membahayakan negara miskin atau masyarakat luas. Satu hal yang di sepakati oleh mayoritas LSM di manapun, adalah strategi ''peoples centered development'' yang mengacu pada visi terciptanya masyarakat yang adil, tidak tertindas, hak asasinya di hargai, dan dapat memperoleh kehidupan yang layak.

Pemihakan ini harus dilakukan pada dua aras. Yaitu penguatan di tingkat akar rumput, agar rakyat masih mampu mempertahankan hak-haknya atas sumberdaya yang dimilikinya. Aras kedua adalah bagaimana 'mengajar' lewat kegiatan advokasi yang meliputi kampanye, lobi, pertukaran informasi, pembentukan aliansi, dan sebagainya --agar para birokrat dan anggota legislatif peka terhadap berbagai dampak negatif proyek pembangunan.

Peranan LSM ini justru sangat penting di era globalisasi karena rakyat kecil dan lemah inilah yang pasti akan terlempar dari persaingan pasar global. Sinergi kegiatan LSM di tingkat nasional dan internasional, diharapkan bisa mempengaruhi pemerintah dan berbagai lembaga internasional untuk ikut mengusahakan perlindungan bagi masyarakat kecil dan lemah ini. Sikap ini harus menjadi landasan ideologi dalam mendirikan partai politik untuk menjadikan demokrasi lebih bermakna. Semoga!

* Ivan A Hadar, Direktur Eksekutif IDE (Indonesian Institute for Democracy Education) dan Koordinator DIAHI Maluku Utara

Tulisan ini disalin dari Republika, 06 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan