Parlemen "Tukang Bolos"
Ada istilah menarik yang muncul dalam berbagai forum online terkait tingginya tingkat ”bolos” wakil rakyat di DPR.
Jika pada era Orde Baru dikenal istilah Datang-Duduk-Duit (3D) untuk menggambarkan buruknya realitas parlemen Indonesia, satu dekade setelahnya dikenal ”DAP” atau ”DDT” (forum.kompas.com, 2009). Lebih kurang DAP dan DDT merupakan singkatan dari ”Datang-Absen-Pulang” dan ”Datang-Duduk-Tidur”.
Meski dalam era berbeda, persepsi tentang DPR tidak mengalami perbaikan signifikan. Ketiga istilah itu menegaskan gelombang demoralisasi di kekuasaan legislatif Indonesia. Namun, persepsi publik agaknya tidak dapat disalahkan. Potret rendahnya tingkat kehadiran anggota parlemen menjadi fenomena berulang.
Catatan Forum Komunikasi Massa (FKM) bersama Forum Komunikasi Wartawan DPR menunjukkan, tingkat bolos anggota DPR pada Oktober 2000-Juli 2001 mencapai 30 persen. Ketidakhadiran meningkat. Dalam sidang paripurna pun, banyak anggota DPR tercatat hadir di absensi, tetapi tak terlihat di ruang sidang.
Kebiasaan buruk legislator itu tidak pernah berhenti. Pada awal 2008 dan 2009, saat beberapa undang-undang kontroversial disahkan, publik kembali mengutuk institusi ini. Materi UU yang dianggap lahir dari ”politik transaksional” ternyata dihasilkan dari tingkat kehadiran yang minim. Contoh nyata terlihat pada pengesahan UU Mahkamah Agung (MA). Pada absensi tercatat tingkat kehadiran lebih dari 280 orang, tetapi yang nyata di ruang sidang sekitar 90 orang, tak lebih dari 17 persen. Atau, lebih dari 80 persen ”bolos”. Di mana pertanggungjawaban dan moralitas anggota DPR yang tidak hadir tetapi menandatangani absensi?
Pengkhianatan konstitusional
Pasca-amandemen konstitusi, posisi DPR sebenarnya jauh lebih kuat dibandingkan pada era Orde Baru. Menurut UUD 1945 amandemen, kekuasaan eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensial diimbangi check and balances system. DPR diberi kewenangan, bahkan untuk mendorong pemberhentian presiden melalui forum MPR. Berbagai fasilitas, peningkatan anggaran hingga Rp 3,5 miliar per UU, dan penambahan staf ahli diberikan. Harapannya, negara ini kembali sehat, pemerintahan bisa berjalan seimbang, dan produk hukum lebih berkualitas.
Pasal 20A Ayat 1 UUD 1945 mengatur, ”DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan”. Bahkan, mempunyai kewenangan untuk mengajukan rancangan undang-undang (RUU) sendiri. Kekuasaan ini kian dikukuhkan dengan klausul, jika pemerintah dan DPR sama-sama mengajukan RUU, yang digunakan RUU versi DPR. Selain itu, berbagai hak lain diberikan dengan harapan, institusi ini tidak lagi menjadi ”stempel pemerintah”, lebih punya harga diri, dan terhormat di mata masyarakat.
Dengan kata lain, kerja-kerja pembentukan undang-undang merupakan perintah langsung konstitusi. Fungsi legislasi yang diberikan cukup dominan pada Parlemen sepatutnya tidak disimpangi tindakan bolos, ”jual-beli” kewenangan dengan menerima uang, politik transaksional dan perilaku buruk lainnya. Dengan demikian, tidak berlebihan jika terminologi ”pengkhianatan konstitusional” digunakan untuk menilai perilaku legislator kita.
Namun, siapa aktor yang mengakibatkan penilaian negatif itu? Anggota DPR. Maka, yang mencemari nama DPR justru sekelompok politisi yang duduk sebagai wakil rakyat. Penilaian itu berbanding lurus dengan runtuhnya legitimasi parlemen di mata publik.
Tingginya tingkat pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan permintaan pembatalan sejumlah UU merupakan salah satu indikator penting gagalnya DPR mewakili rakyat. Berdasarkan permohonan yang diajukan dari tahun 2004 hingga 2009, setidaknya 152 kali UU dimohonkan pembatalan ke MK. Data ini menjadi varian rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap produk DPR yang tak dapat dipisahkan dari fakta tingginya tingkat bolos anggota parlemen.
UU Mahkamah Agung
Fenomena ”tukang bolos” juga dinilai menjadi salah satu argumentasi cacatnya UU Mahkamah Agung yang baru disahkan pertengahan bulan lalu. Dari 550 orang jumlah anggota DPR, hanya 90-96 orang yang hadir, duduk, ikut rapat di sidang paripurna (18/12). Akibatnya, kuorum pun tidak terpenuhi. Perdebatan yang terjadi berkisar seputar terminologi ”kehadiran” yang absurd dan tidak jelas.
Undang-Undang dan Peraturan Tata Tertib DPR hanya menyebutkan, pengambilan keputusan dilakukan setelah tingkat kehadiran lebih dari setengah anggota DPR. Tidak disebutkan definisi rinci ”kehadiran”, apakah mengacu absensi atau kehadiran fisik. Hal ini mengakibatkan banyak anggota DPR hadir sekadar menandatangani absensi. Bukankah tindakan menandatangani absensi tetapi tidak hadir dalam proses persidangan justru merupakan kebohongan mendasar?
Namun, jika dicermati lebih rinci, Pasal 6 Ayat 2 Kode Etik DPR memberi kewajiban ”hadir secara fisik”. Bahkan, mengategorikan sebagai pelanggaran jika dilakukan lebih dari tiga kali. Dalam logika argumentum a-contrario tidak mungkin anggota yang secara fisik tidak hadir dapat menjalankan tugas legislasinya, seperti menyetujui, mengemukakan pendapat, atau menolak sebuah usulan. Maka, agaknya kata ”kehadiran” harus dipahami sebagai kehadiran secara fisik dan nyata.
Saat ini, Indonesia Corruption Watch sedang menyiapkan pengajuan pembatalan UU MA karena dinilai cacat prosedural. Salah satu alasan penting terkait adagium ”parlemen tukang bolos”, yang diperkuat tidak dihargainya pendapat berbeda dalam pengambilan keputusan sidang paripurna. Publik akan jadi saksi, apakah MK mampu memberikan keadilan sekaligus ”penghukuman” normatif terhadap para wakil rakyat yang hobi ”bolos” itu dengan membatalkan UU MA.
Febri Diansyah Peneliti Hukum; Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan ini disalin dari Kompas, 27 Januari 2009