Parlemen Korup?
Kejahatan nyaris sempurna. Konspirasi sistematis dan terstruktur Komisi IX DPR periode 1999-2004 setelah hampir lima tahun baru dapat dibongkar.
Fakta tersangkutnya hampir semua anggota Komisi IX tak lagi fenomena ”gunung es”, tetapi lebih tepat asap pekat dari api korupsi yang masif di parlemen.
Dewan adalah pemegang mandat yang berwenang mengawasi, untuk merepresentasi kepentingan ”daulat rakyat” guna mengawasi penggunaan kekuasaan yang melekat pada eksekutif, termasuk Bank Indonesia. Pada era 1999-2004, parlemen dalam masa kritis karena merupakan periode pertama kekuasaan pascapenjatuhan Orde Baru.
Parlemen periode itu harus bersih sebab salah satu karakter dasar untuk menjatuhkan Orde Baru adalah karena sifatnya yang koruptif, kolusif, dan nepotistik dalam menjalankan kekuasaan, dan tak memihak kepentingan sebagian besar rakyat.
Anggota Komisi IX DPR seharusnya melakukan shift of paradigm untuk tidak lagi bersikap dan berperilaku serupa rezim terdahulu. Jika parlemen prareformasi biasa disebut rubber stamp yang menjustifikasi kepentingan kekuasaan, anggota Komisi IX periode 1999-2004 layak disebut ”perompak reformasi” karena ”memeras” pihak yang seharusnya diawasi atau berkolusi bersama pihak yang diawasi untuk melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara.
Terkait
Yang amat memilukan, aliran dana sekitar Rp 21,6 miliar itu terkait kejahatan lain berupa ”Skandal BLBI” yang diduga dilakukan petinggi Bank Indonesia. Skandal itu merugikan negara lebih dari Rp 1.000 triliun, terwujud dalam kebijakan recovery perbankan pascakolapsnya sistem perbankan di Indonesia seusai krisis keuangan pada tahun 1990-an. Bukankah ini potret kejahatan tak terperikan dan luar biasa?
Suatu komisi yang diberi mandat untuk mengawasi dan memeriksa dugaan kejahatan yang membuat ”bangkrut" bangsa dan ”memperparah” kemiskinan justru ”menghalalkan” kejahatan itu. Padahal, mereka bertindak untuk dan atas nama rakyat. Mereka pun seharusnya berpihak pada kepentingan rakyat yang terus ”didera” kemiskinan.
Pada setiap kejahatan suap- menyuap, apalagi yang advanced dan sophisticated, penyuap dan yang disuap sama-sama berkepentingan untuk melindungi kejahatan itu. Pada jenis ini, kasus hanya dapat dibongkar jika ada ”orang dalam” yang mau menjelaskan kejahatan itu disertai kecanggihan penyelidikan yang dilakukan penegak hukum yang mempunyai integritas tinggi.
Apakah hanya Komisi IX periode 1999-2004 saja yang melakukan korupsi? Banyak kalangan meyakini, hampir semua anggota parlemen terlibat perilaku dan karakter koruptif serta kolusif meski asas praduga tidak bersalah tetap harus dihormati.
Bila pertanyaan yang sama diajukan lagi, apakah sikap dan perilaku koruptif anggota parlemen 2005-2009 lebih baik daripada periode sebelumnya?
Fakta menunjukkan, beberapa kasus terkait anggota Dewan yang kini sedang diperiksa Pengadilan Khusus Tipikor, mengindikasikan belum sepenuhnya ada yang berubah. Bupati Bintan Ansar Ahmad dalam kesaksian pada kasus Al Amin Nasution menyatakan, ”Ketua Komisi IV DPR Jusuf Amir Feisal dan Wakil Ketua Komisi IV Hilman Indra minta disediakan uang 700.000 dolar Singapura untuk semua anggota Komisi IV DPR terkait urusan pelepasan hutan lindung” (Kompas, Selasa, 29/7).
Memotong potensi korupsi
Ada tiga hal yang harus diimplementasikan dan dikaji guna memotong potensi korupsi di parlemen.
Pertama, akuntabilitas penggunaan kewenangan Dewan harus ditingkatkan. Cakupan kewenangan Dewan yang terlalu besar sehingga terjadi legislative heavy harus dikaji ulang. Kontrol atas penggunaan kewenangan yang bersifat internal dan eksternal diperkuat dengan melibatkan kontrol publik yang bersifat masif dan lebih berkualitas. KPK harus meningkatkan kebijakan cooperated suspect dan whistle blower system, selain menjaga integritas dan profesionalitasnya.
Kedua, hilir dan hulu parlemen ada di partai. Partai menjadi pilar penting parlemen. Perombakan mendasar pada perekrutan dan pengaderan partai harus dilakukan secara paripurna. Tidak lagi dapat ditoleransi calon anggota Dewan didasarkan atas kedekatan dengan elite partai atau seleksi di kalangan elite partai tidak dilakukan. Padahal, tidak seluruh elite partai mempunyai profesionalitas dan integritas tinggi. Partai tidak dapat melepaskan tanggung jawab atas sikap dan perilaku anggotanya di parlemen.
Ketiga, jangan ”bunuh” KPK dan ”Pengadilan Khusus Tipikor”. Kedua lembaga itu dapat menjadi instrumen untuk membangun mekanisme check and balances karena kewenangan Dewan hampir tidak ada kontrolnya. Pada parlemen harus mulai dikembangkan mekanisme ”audit kewenangan” dan ”analisis risiko” yang bersifat internal oleh lembaga independen. Badan Kehormatan yang lebih bersifat sebagai ”pemadam kebakaran” tidak lagi cukup mengatasi nafsu penyalahgunaan kewenangan di parlemen.
Bambang Widjojanto Dewan Etik ICW; Dosen Universitas Trisakti; Anggota Komisi Nasional Kebijakan Governance
Tulisan ini disalin dari Kompas, 5 Agustus 2008