Parkir Uang Korupsi?

Polemik realisasi setor uang pengganti menjadi berkepanjangan. Departemen Keuangan memberi versi berbeda tentang besaran setor uang pengganti dengan versi yang diajukan Kejaksaan Agung.

Keseriusan pemerintah mengatasi polemik ini terlihat dari peringatan Wapres, agar tidak terjadi korupsi ganda dalam pengelolaan dana pengganti dan uang kerugian yang dikelola dan dilaporkan ke Departemen Keuangan (Depkeu) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kejaksaan Agung (Kejagung) harus menyusun, membuat laporan transparan, dan memenuhi prinsip akuntabilitas.

Status uang sitaan
Sebenarnya ada pemahaman keliru tentang penempatan uang ke kas Kejagung yang menimbulkan polemik tentang pemaknaan status uang sitaan dan uang pengganti. Bahkan makna uang kerugian tidak dikenal dalam tindak pidana korupsi.

Pemahaman uang yang akan disetor ke kas negara dalam perkara korupsi sebagai dwang middelen (upaya paksa). Uang yang disita dari seseorang karena diduga terkait atau berasal dari tindak pidana korupsi. Penyitaan dilakukan penegak hukum guna mencegah pencucian uang melalui penyamaran asal-usul uang itu sehingga diperlukan tindakan paksa berupa penyitaan. Umumnya, uang sitaan ditempatkan pada rekening penegak hukum atau distatuskan sebagai penitipan bahkan dilakukan pemblokiran oleh bank atas permintaan penegak hukum. Penitipan dilakukan hingga ada kejelasan berkekuatan hukum tetap dari pengadilan tentang terbukti atau tidaknya pelaku melakukan korupsi.

Jika terbukti melakukan korupsi, uang sitaan dieksekusi, menjadi milik negara. Terpidana harus menyetorkannya ke kas negara, bukan oleh penegak hukum. Praktik atas eksekusi setor uang pengganti pernah dilakukan Abdullah Puteh (mantan Gubernur Aceh) sehingga tidak pernah ada status parkir terhadap uang pengganti.

Polemik lain adalah potensi terjadinya korupsi ganda yang dalam makna hukum sebagai penggelapan uang negara oleh aparatur negara. Dari kedua bentuk uang itu, uang sitaan dan uang pengganti memiliki potensi korupsi ganda jika terjadi kekeliruan dalam mengelola administrasi keuangan tanpa ada prinsip akuntabilitas dan transparansi kelembagaan.

Status uang sitaan yang diparkir dalam rekening kejaksaan berpotensi melahirkan korupsi ganda (penggelapan jabatan) jika terdakwa dibebaskan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap dan status uang sitaan itu raib tak jelas rimbanya. Atau jika benar terdakwa dihukum berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap dan status uang sitaan tidak disetor ke kas negara oleh kejaksaan.

Atas status uang pengganti, potensi terjadinya korupsi ganda akan sulit mengingat eksekusi setor uang pengganti dilakukan terpidana (keluarganya) sendiri.

Kendala

Penegak hukum sering menghadapi kendala dalam mengeksekusi uang pengganti karena diskriminasi regulasi tindak pidana korupsi atas eksekusi uang pengganti. Di satu sisi, dengan UU Nomor 3 Tahun 1971, eksekusi atas kekurangan uang pengganti dilakukan melalui gugatan perdata berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung 1985. Inilah kegagalan yang sering ditemui penegak hukum karena gugatan perdata memiliki kompleksitas sistem pembuktian yang berbeda dengan hukum pidana. Selain itu, gugatan perdata menyita waktu puluhan tahun sehingga wajar terjadi akumulasi kuantitas.

Di sisi lain, UU Nomor 31 Tahun 1999 memberi legalitas penyitaan harta kekayaan terpidana sebagai eksekusi uang pengganti. Mekanisme ini mempercepat eksekusi uang pengganti dari terpidana secara langsung karena regulasi tidak mengatur teknis mekanisme pelaksanaan eksekusi uang pengganti. Praktik menyerahkan pelaksanaan eksekusi uang pengganti kepada terpidana (keluarganya), seperti kasus Abdullah Puteh, Probosutedjo, atau Beddu Amang, untuk menghindari potensi korupsi ganda atau penggelapan jabatan seperti dimaksud Pasal 8 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.

Di era reformasi yang penuh kehendak memberantas korupsi, yang diperlukan tidak hanya keterbukaan lembaga penegak hukum (Polri, Kejagung, dan KPK), tetapi sinergi dengan institusi negara lainnya, seperti Depkeu, BPK, atau BPKP, untuk menunjukkan sikap transparan dan akuntabilitas publik.

Dengan demikian, institusi keuangan dapat membantu menyelesaikan masalah, bukan menimbulkan polemik tanpa arah yang mengaburkan semangat memberantas korupsi institusional.

Indriyanto Seno Adji Pengajar Program Pascasarja Bidang Studi Ilmu Hukum FHUI

Tulisan ini disalin dari Kompas, 28 Agustus 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan