Paradoks Pemberantasan Korupsi

Penangkapan Mulyana W Kusumah, anggota Komisi Pemilihan Umum Pusat, dalam kasus (dugaan) suap terhadap salah satu anggota BPK (Kompas, 10/4), di satu sisi layak diapresiasi sebagai wujud keseriusan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi.

Di sisi lain, penangkapan tersebut menyiratkan sebuah paradoks yang cukup menggelisahkan. Upaya pemberantasan korupsi ternyata belum mampu membongkar gunung es megakorupsi yang melibatkan sindikasi orang kuat yang sudah lama menggerogoti republik ini.

Sebagaimana pernah saya tegaskan (Mitologi Korupsi, Kompas, 15/3/2005), kasus korupsi akan sulit terendus jika modusnya melibatkan sindikasi yang rumit, terlebih jika di-back up struktur kekuasaan politik-ekonomi yang kuat dan berlapis. Bisa dipahami jika korupsi jenis ini seringkali tidak terjangkau oleh hukum (untouchable by law), sekurangnya karena dua alasan.

Pertama, menggelandang koruptor kakap acapkali mengundang risiko yang tidak kecil, baik bagi pejabat penegak hukum maupun kepentingan masyarakat luas. Bentuk risiko yang diterima pun bervariasi, dari yang paling ringan, seperti ancaman teror, hingga yang berat, seperti kekerasan atau amuk massa, instabilitas sosial-politik, sampai hilangnya nyawa. Jadi ini murni soal kalkulasi untung-rugi belaka.

Kedua, mungkin ini menyangkut skala prioritas atau strategi pemberantasan korupsi. Dalam kasus Mulyana, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diandaikan sedang memantik di air kolam yang tenang untuk menangkap ikan di dalamnya. Diharapkan ikan yang bereaksi akan segera ditangkap satu per satu, mulai dari yang teri hingga yang kakap. Pengungkapan kasus korupsi jenis ini mengikuti strategi snowball yang berjalan secara berantai sesuai dengan petunjuk (clue) lebih lanjut yang diberikan oleh tersangka. Dari sini, jalinan sindikasi korupsi bisa diungkap, dimulai dari gerbong paling belakang hingga lokomotif paling depan.

Dari kedua alasan di atas, mana yang lebih bisa menjelaskan fenomena penangkapan Mulyana? Apakah ini merupakan taktik KPK untuk menguak kasus megakorupsi lainnya, ataukah ia sedang bermain selamat (play safely) saja? Jika pilihannya yang pertama, langkah KPK layak kita dukung sepenuhnya. Namun jika pilihannya yang kedua, KPK tidak lebih dari seekor kucing yang takut terhadap gonggongan anjing besar. Artinya, strategi bermain selamat ini ditempuh sebagai sublimasi dari ketidakberanian KPK membongkar sindikasi koruptor dengan jam terbang tinggi.

DITILIK dari catatan sejumlah kasus korupsi di Tanah Air, terlihat ada keengganan (atau tidak cukup nyali?) di kalangan institusi pemberantasan korupsi untuk menangani dan menindaklanjuti kasus-kasus megakorupsi yang melibatkan struktur kekuasaan yang kuat dan berlapis. Ini terbukti dari menggelantungnya sejumlah kasus megakorupsi yang sempat dibahas dan diselidiki di tingkat panitia khusus (pansus) DPR, tetapi pada ujungnya menguap begitu saja. Padahal jika dilihat dari bobot kejahatannya, kasus megakorupsi sema- cam ini-sangat boleh jadi-jauh le- bih merugikan negara ketimbang kasus korupsi yang dituduhkan kepada Mulyana.

Sejumlah apologi pun dikilahkan, seperti tidak kuatnya bukti fisik hingga tidak ditemukannya unsur kerugian negara. Bisa ditebak, koruptor kakap jenis ini cenderung bisa melenggang bebas dari jeratan hukum. Sebab jika proses law enforcement tetap dilakukan, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang lebih fatal daripada hasil positifnya sehingga bisa dimengerti jika penyidikan terhadap sejumlah kasus megakorupsi berhenti di tengah jalan.

Diabaikannya kasus-kasus besar korupsi layak menjadi catatan tersendiri dalam langkah pemberantasan korupsi di Indonesia. Upaya penyidikan terhadap sejumlah kasus megakorupsi, seperti kasus dana BLBI dan pembelian tank Scorpion, misalnya, berakhir tanpa kejelasan berarti. Belum lagi sejumlah kasus korupsi yang divonis bebas dan atau sejumlah kasus megakorupsi yang sama sekali belum tersentuh. Dalam kenyataannya, inilah paradoks paling nyata dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.

Ketidakjelasan penanganan kasus-kasus di atas tentu saja menyisakan tanda tanya besar; ada apa di balik kasus-kasus tersebut? Tidak bisakah KPK melakukan langkah yang sama seperti yang dilakukan terhadap Mulyana? Dengan diabaikannya kasus-kasus tersebut, jangan salah jika publik pun berhipotesis: (1) sudah dilakukan penyidikan, tetapi mentok di tengah jalan karena tidak cukup bukti, atau (2) lembaga hukum tidak berani menyentuh sama sekali. Inilah tantangan terberat institusi pemberantasan korupsi dalam menangani kasus-kasus megakorupsi yang melibatkan struktur kekuasaan kuat.

Upaya penyidikan dan penyelidikan yang tuntas terhadap segala jenis kasus korupsi menjadi harapan semua pihak bukan untuk sekadar memenuhi rasa keadilan rakyat, tetapi semata-mata demi tegaknya keadilan itu sendiri.

Jangan sampai ada kesan bahwa langkah penegakan hukum hanya berlaku bagi kasus- kasus kejahatan kecil sembari menutupi kasus-kasus kejahatan berskala lebih besar. Jika ini yang terjadi, jangan harap korupsi bisa diberantas dari muka bumi Pertiwi.

KASUS korupsi yang dituduhkan kepada dosen Kriminologi UI ini memang belum sampai pada kesimpulan akhir. Berbagai spekulasi menyertai kasus ini. Artinya, terbukti-tidaknya kasus ini masih menunggu proses penyidikan lebih jauh.

Namun, ada satu hal yang pasti: penangkapan tersebut merupakan langkah penting bagi pemulihan citra lembaga antikorupsi yang legitimasinya semakin rendah di mata rakyat. Harus pula dicatat, pemulihan citra tersebut hanya bisa dilakukan melalui itikad baik dari para penegak hukum untuk menjalankan tugasnya secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab, seberat apa pun tantangan dan risiko yang menyertainya.

Oleh karena itu, jangan pernah setengah hati menyeret para koruptor. Gebrakan KPK dan lembaga hukum lainnya masih tetap ditunggu. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk membuat republik ini benar-benar bersih dari tangan-tangan laknat koruptor. Sikap tegas dan tidak pandang bulu harus menjadi spirit pemberantasan korupsi, sama seperti tidak pandang bulunya gurita korupsi dalam memilih korbannya. Politisi, pejabat tinggi, pengusaha, akademisi, agamawan, dan rakyat sama-sama memiliki tingkat kerapuhan yang sama untuk melakukan korupsi. Artinya, tidak ada seorang pun di negeri ini yang kebal (immune) dari lambaian seksi godaan korupsi.

Pemaparan di atas hendak menegaskan, tidak ada obat penawar paling mujarab (panacea) dalam pemberantasan korupsi, kecuali penegakan hukum tanpa pandang bulu. Dalam kaitan ini kita tidak bisa berharap banyak pada kearifan intelektual, komitmen moral, ataupun nilai-nilai agama untuk menghentikan laju korupsi yang berlari layaknya deret ukur.

Betul apa yang pernah dikatakan Salahuddin Wahid, bahwa bersandar pada kekuatan (nilai-nilai) agama untuk memberangus perilaku korupsi merupakan harapan yang berlebihan.

Oleh karena itu, jangan ada rekayasa politik di balik penangkapan tokoh-tokoh penting di negeri ini. Jangan lagi harapan yang sedang merekah ternoda oleh sikap pengecut sebagian penegak hukum sehingga kepercayaan berubah menjadi kejengkelan dan frustasi. Terlalu lama rakyat dipermainkan oleh janji-janji tanpa bukti. Bravo keadilan!(Masdar Hilmy Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Kandidat Doktor pada Program MIALS, The University of Melbourne, Australia)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 12 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan