Paradigma Diskursif Komisi Pemberantasan Korupsi

Panitia seleksi sekarang tengah memproses seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi untuk periode 2007-2012. Pemberantasan korupsi adalah agenda besar pemerintah Yudhoyono-Kalla. Tentu, kadar pencapaian dan keberhasilannya sangat bergantung pada kualitas kinerja aparat penegak hukum, salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi. Lantas, seperti apa pemimpin KPK yang relatif ideal?

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengamanatkan calon pemimpin KPK itu harus jujur serta memiliki integritas moral dan reputasi yang baik. Calon juga harus mumpuni untuk kecakapan intelektual, wawasan, serta pengetahuan. Syarat-syarat ini menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar, karena tugas KPK begitu berat. Bayangkan, berdasarkan amanat fungsionalnya, misi KPK jelas, mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi. Itu berarti segala permasalahan yang menyangkut korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dituntaskan. Visinya pun tidak main-main. KPK ditugasi menjadi penggerak perubahan, supaya bangsa ini menjadi bangsa yang antikorupsi.

Struktur koruptif
Pertanyaannya, apakah pemimpin KPK yang akan terpilih bisa mewujud-nyatakan visi, misi, dan amanat undang-undang tersebut pada tataran operasional? Pertanyaan ini relevan, karena problem besar menghadang aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Kita mulai dengan fakta bahwa negara kita selalu nongkrong di sepuluh besar negara terkorup di dunia. Ini tidak berlebihan, karena praktek korupsi telah menyebar dan berlangsung di wilayah eksekutif, legislatif, dan aparat penegak hukum. Fakta korupsi yang telah melembaga dan menstruktur ini tentu saja menyulitkan usaha pemberantasan korupsi.

Saat ini memang lumayan banyak pejabat tinggi, tokoh politik, tokoh agama, dan pentolan kapitalis yang sudah (dan sedang) diperiksa aparat penegak hukum karena diduga melakukan korupsi. Namun, banyak kalangan menilai upaya itu masih bersifat tebang pilih. Koruptor kelas teri saja yang ditindak, sementara yang kelas kakap tidak disentuh. Mengapa ini terjadi? Aparat penegak hukum justru ikut melebur dan bahkan menjadi bagian dari sistem koruptif itu. Logikanya sederhana, bila mereka gagal--entah itu karena intervensi politis atau konflik kepentingan lainnya--menindak dan menjerat koruptor yang jelas-jelas bisa dipidanakan, itu berarti mereka bersikap permisif dan kompromistis, sehingga turut menyuburkan praktek korupsi yang seharusnya mereka tentang.

Keterperangkapan aparat penegak hukum dalam sistem yang koruptif itu secara tak langsung mengungkapkan sisi personalitas mereka. Inilah problem berikutnya, mereka menjadi aparat yang bertindak sesuai dengan petunjuk eksternal dan mengabaikan keputusan dan kesadaran personal. Dalam bahasa Parsonian, mereka bekerja dan bertindak berdasarkan peran yang ditentukan lingkaran setan koruptif struktur atau sistem itu. Ketakberdayaan aparat penegak hukum berhadapan dengan lingkaran koruptif itu memudarkan kualitas kejujuran, reputasi, dan integritas moral personal mereka. Ini berakibat langsung pada mandeknya upaya pemberantasan korupsi.

Amanat undang-undang di atas tentu menjadi acuan seleksi pemimpin KPK saat ini. Bila kita takar dari bentuk dan prosesnya, panitia seleksi tampaknya memang berupaya menemukan figur yang memiliki kualitas seperti kecakapan intelektual, wawasan yang luas, pengetahuan yang mumpuni, serta reputasi dan integritas moral yang baik. Itu artinya, mereka yang akan dipilih adalah orang yang bermutu baik dari segi kognitif, konatif, maupun afektif.

Namun, mutu, kualitas, serta berhasil-tidaknya upaya pemberantasan korupsi tidak bisa diukur dari hasil seleksi panitia seleksi semata, karena itu hanya langkah awal. Bukti bahwa mereka benar-benar orang yang tepat baru bisa dinilai dan diketahui ketika mereka sudah mulai bekerja. Artinya, kemampuan mereka untuk merealisasi visi dan misi KPK menjadi ukuran kualitas mereka yang sesungguhnya. Inilah yang diharapkan dan ditunggu-tunggu publik.

Untuk mewujudkan harapan ini memang tidak mudah. Dengan berkaca pada problem besar lingkaran setan sistem koruptif di atas, menurut penulis, ada dua hal yang perlu ditumbuh-kembangkan. Pertama, pemimpin KPK yang akan terpilih perlu menjaga kualitas dan integritas moral personal. Ini dilakukan dengan, dalam tuturan Giddens, selalu membina dan membangun kesadaran diskursif, yaitu kemampuan untuk merefleksikan setiap tindakan dan keputusan yang diambil. Tuntutan ini harus menyata dalam kemauan untuk terus berintrospeksi dan mawas diri. Dengan demikian, sensitivitas hati nurani terhadap nilai kejujuran dan keadilan selalu terasah dan benar-benar terjaga.

Kedua, sebagaimana demokrasi tidak bisa hidup tanpa partisipasi publik, penegakan hukum dan pengasahan nurani aparat penegak keadilan tidak bisa terjadi tanpa pengawasan dan tekanan publik. Itu berarti kita tidak bisa sepenuhnya hanya berharap pada kesadaran pribadi para pemimpin KPK. Peran pengawasan ini tentu saja diharapkan muncul dari media, pers, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, intelektual, atau masyarakat pada umumnya, sehingga personel KPK selalu diingatkan dan responsif terhadap tuntutan agar usaha pemberantasan korupsi itu benar-benar dijalankan dan membawa hasil.

Relly Jehato, alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 31 Agustus 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan