Pansus Century Kejar Dua Kesalahan Ani dan Boediono

Hari Ini Pandangan Awal Fraksi di Pansus

Pemanasan menjelang kesimpulan akhir Panitia Khusus (pansus) Hak Angket Century dimulai. Tiga pekan menjelang masa kerja berakhir, pansus Century menjadwalkan pandangan awal atas data dan fakta yang sudah dikumpulkan. Pandangan awal fraksi-fraksi di pansus, rencananya, disampaikan hari ini (8/2).

Anggota pansus Century dari Fraksi Partai Golkar (FPG) Bambang Soesatyo menyatakan, pandangan awal hari ini hanya mengagendakan penyampaian semata. Namun, penyampaian pandangan awal fraksi itu menentukan sikap resmi terkait kasus Century. ''Setelah bekerja lebih dari sebulan, (pandangan awal) ini perlu disampaikan utuh untuk diketahui publik,'' ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (7/2).

FPG merupakan salah satu di antara fraksi yang siap menyampaikan pandangan awal. Bambang menyatakan, dari data dan fakta yang dikumpulkan pansus, terdapat empat pelanggaran undang-undang (UU) yang dilakukan pemerintah atas penyelamatan Bank Century. ''Mulai pidana Undang-Undang Perbankan, pidana umum, money laundering, hingga pidana korupsi,'' kata Bambang.

Pelanggaran tersebut muncul sejak proses akuisisi, proses merger tiga bank (Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac) menjadi Century, pencairan fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP), hingga bailout Rp 6,7 triliun demi penyelamatan Century.

Salah satu pelanggaran pidana perbankan adalah terkait proses merger Bank Century yang tidak prudent (prinsip kehati-hatian). Seperti dibeberkan dalam audit investigatif BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), ada manipulasi disposisi dari pejabat BI saat proses merger. Mantan Gubernur BI Burhanudin Abdullah menyatakan tidak pernah mengeluarkan disposisi atas proses merger pada 2004.

Dari sisi pidana korupsi, kata Bambang, terjadi pelanggaran atas pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (tipikor). Menurut dia, terdapat pelanggaran yang dilakukan otoritas fiskal (pemerintah atau dalam hal ini Kemenkeu) dan moneter (BI) melalui keputusan penyelamatan Bank Century.

Keputusan itu dinilai FPG menyebabkan kerugian negara karena penyelamatan Bank Century hanya menyelamatkan sekelompok orang. ''Itu jelas tindak kejahatan yang dilakukan berkelanjutan oleh otoritas fiskal dan moneter,'' tegasnya.

Bambang menilai, mantan Gubernur BI Boediono paling bertanggung jawab dalam pencairan FPJP ke Bank Century. Ketika itu, Bank Century mengajukan permohonan repo aset kepada BI pada Oktober 2008 sebesar Rp 1 triliun karena kesulitan likuiditas. Tapi, menurut audit BPK, BI memproses permohonan itu sebagai permohonan FPJP.

Saat permohonan itu diajukan, rasio kecukupan modal (CAR) Bank Century 2,35 persen. Berdasar peraturan BI Nomor 10/26/PBI/2008, sebuah bank harus memiliki CAR minimal delapan persen untuk mengajukan permohonan pendanaan.

Rapat Dewan Gubernur BI pada 13 November 2008 memutuskan mengubah PBI (peraturan BI) soal batasan CAR dari minimal delapan persen menjadi minimal positif. BI mencairkan FPJP ke Bank Century secara bertahap pada 14-18 November 2008 hingga Rp 689 miliar. ''Beberapa petinggi BI lain juga tak lepas dari tanggung jawab,'' ujar Bambang tanpa menyebut siapa yang dimaksud.

Posisi Menkeu Sri Mulyani sebagai ketua KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) saat itu juga tak lepas dari tanggung jawab. Sebagai pihak yang menetapkan bailout, KSSK tidak memiliki landasan hukum dalam pencairan dana talangan tahap III dan IV pada 2009. Ketika itu, Perppu No 4 Tahun 2008 tidak disetujui DPR sehingga keberadaan Komite Koordinasi (KK) tak memenuhi landasan UU apa pun.

Secara total, terdapat 54 pelanggaran yang sudah dikumpulkan Golkar terkait penyelamatan Century. Bambang menegaskan, pandangan yang disampaikan FPG bisa terus berkembang. Sebab, masih ada pemeriksaan tahap akhir terkait aliran dana talangan. Rencananya, pekan ini BPK dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) memberikan laporan terkait aliran dana Century. ''Nanti, pada tahap akhir, kami susuri soal aliran dana,'' terangnya.

Sejumlah partai juga sudah menyampaikan rekomendasi awal secara terpisah. Misalnya, PKS menemukan 18 pelanggaran sejak merger hingga pencairan FPJP. FPDIP telah menemukan 45 dugaan pelanggaran pidana kasus Century.

Menanggapi pemeriksaan kasus Century, ekonom Dradjad H. Wibowo mengatakan bahwa berbagai fakta yang terungkap di pansus menguatkan temuan-temuan audit investigatif BPK. ''Pelanggarannya komplet. Jadi, semua pihak bisa kena,'' ujarnya saat dihubungi kemarin.

Menurut dia, mulai proses akuisisi, merger, pemberian FPJP, hingga bailout atau penyertaan modal sementara (PMS), berbagai pelanggaran telah dilakukan BI, KSSK, hingga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

''Kesalahannya bersifat administratif, penyalahgunaan kewenangan, pidana tipikor, pidana pelanggaran UU BI, maupun pidana umum. Pidana perbankan dalam kasus ini juga terungkap jelas, terutama dilakukan manajemen lama. Bahkan, manajemen baru pun bisa terseret dalam salah satu pidana di atas,'' paparnya.

Karena itu, lanjut Dradjad, jika pansus bisa cermat, tidak sulit menentukan siapa yang bersalah dalam proses apa. Khusus untuk BI dan KSSK, yang melibatkan dua petinggi yang kini masih aktif, yakni Menkeu Sri Mulyani -yang akrab disapa Ani- dan Wapres Boediono (mantan gubernur BI), pansus bisa mengejar dengan dua kategori kesalahan. ''Yang pertama, penyalahgunaan kewenangan atau abuse of power. Selanjutnya, kesalahan penilaian atau error of judgment,'' katanya.

Dradjad juga menambahkan, untuk mempertegas pelanggaran dalam kasus Bank Century, yang mesti dilakukan adalah mengusut aliran dana. Menurut dia, penelusuran aliran dana itu sebenarnya tidak terlalu sulit. Apalagi, dalam UU pencegahan tindak pencucian uang disebutkan bahwa pencucian uang adalah pidana sekunder yang bisa diusut tuntas jika pidana primer sudah dipastikan.

''Nah, pidana primernya sudah diputuskan, yakni Robert Tantular divonis empat tahun, yang kemudian naik menjadi lima tahun. Jadi, sebenarnya tidak ada lagi hambatan bagi PPATK untuk membuka aliran dana. Tinggal butuh kemauan dan dorongan dari pansus saja,'' paparnya.

Sikap Mitra Koalisi SBY
Barisan mitra koalisi SBY, tampaknya, berupaya mengganjal penyampaian pandangan awal fraksi. Ketua Fraksi Partai Demokrat (FPD) Anas Urbaningrum mengatakan, pandangan awal tersebut secara prosedural tidak diatur undang-undang. Tidak ada juga mandat dari paripurna kepada pansus angket untuk menyampaikannya.

Dari sisi substansi pemeriksaan, kata Anas, baru tiga tahap yang selesai. Yakni, akuisisi/merger, FPJP, dan PMS. Persoalan aliran dana belum masuk. ''Sebagian data juga belum sampai ke pansus. Sebagian data yang mau dikirim BI, misalnya, belum masuk,'' ujarnya saat dihubungi tadi malam (7/2).

Karena itu, kata Anas, secara substansial data yang dimiliki pansus belum sepenuhnya lengkap untuk dikerucutkan menjadi pandangan awal fraksi. ''Nanti, kalau datanya belum lengkap, kesimpulannya bisa misleading (menyesatkan),'' terangnya.

Meski begitu, ujar Anas, kalau ada penyampaian pandangan awal, FPD akan mengutarakan enam substansi pokok. ''Poin-poinnya akan kami sampaikan dengan terang besok di rapat pansus,'' jelasnya.

Ketua FPKB Marwan Jafar juga sependapat bahwa pandangan awal fraksi tidak diperlukan. Tatib DPR, kata dia, merujuk ke UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Tidak diatur soal pandangan awal, kecuali pandangan mini fraksi setelah pemeriksaan tuntas. ''Masak membuat aturan sendiri,'' katanya.

Ketua FPAN Asman Abnur malah tidak tahu ada agenda penyampaian pandangan awal fraksi. ''Nanti saya cek dulu,'' ucapnya.

PPP juga memilih tidak menyampaikan pandangan awal. Juru Bicara PPP M. Romahurmuziy menyatakan, mekanisme itu tidak lazim dan tidak dikenal dalam kepanitiaan angket dan pansus-pansus sebelumnya. ''Pemandangan awal fraksi ini dijadwalkan dalam posisi belum terpenuhinya seluruh kebutuhan data,'' tuturnya. (bay/owi pri/dwi)

Sumber: Jawa Pos, 8 Februari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan