Pansel KPK Harus Sangat Selektif agar Titipan Koruptor Tak Lolos

Tolak Penjatahan Kursi Pimpinan KPK
Pernyataan Pers

Melalui Keputusan Presiden nomor 12 tahun 2011 sejak tanggal 24 Mei 2011, panitia seleksi pimpinan KPK dibentuk, dan 13 orang ditunjuk sebagai “penjaga gawang” KPK. Orang-orang yang akan sangat berperan signifikan terhadap nasib KPK empat tahun ke depan. Pansel KPK ini bisa saja menjadi pembunuh KPK, atau sebaliknya, sebagai penyelamat KPK. Tergantung apakah mereka bekerja keras, dengan kriteria yang jelas, visi yang terukur, tanpa konflik kepentingan politik-bisnis dan bersih dari virus koruptor.

Argumentasinya didasarkan pada, bahwa proses seleksi KPK adalah satu fase dimana pertahanan lembaga ini terbuka, sehingga bisa dimasuki oleh siapapun, titipan pihak berkepentingan, atau memang orang-orang yang punya komitmen pemberantasan korupsi. Sejumlah anggota Pansel harus diakui tercatat mempunyai rekam jejak yang relatif baik di bidang masing-masing, akan tetapi hal itu agaknya tidak cukup. Terdapat prasyarat lain yang akan sangat menentukan apakah seleksi Pimpinan KPK periode ke-3 ini berhasil menjaring anak bangsa terbaik, atau justru menyumbangkan pelemahan KPK ke depan. Hal terpenting tentu soal kriteria yang dijadikan dasar bagi pansel untuk menjaring calon. Tidak hanya kriteria yang umum dan multitafsir, akan tetapi harus diturunkan pada hal-hal yang lebih teknis dan bisa diukur secara jelas. Sehingga, masyarakatpun dalam melakukan pengawasan bisa lebih maksimal, seperti dengan melakukan investigasi ulang tentang rekam jejak setiap calon atau bahkan mendorong orang-orang yang diyakini berintegritas untuk mengikuti proses seleksi.
 
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mengusulkan kriteria, sebagai berikut:
1.    Mempunyai integritas yang tidak diragukan
Indikator:
a)    Memiliki kekayaan yang wajar dibanding penghasilan yang sah.
Konvensi PBB Melawan Korupsi menyebutnya dengan istilah illicit enrichment atau unexplained wealth. Untuk membuktikannya, di tahapan tertentu di proses seleksi, semua calon harus melaporkan kekayaannya kepada Pansel dan masyarakat, sehingga baik pansel maupun masyarakat bisa melakukan kroscek dan investigasi mandiri, apakah calon tergolong orang-orang yang kekayaannya wajar atau tidak. Hal ini sangat penting, karena sudah menjadi norma Internasional, bahwa salah satu bentuk korupsi adalah kepemilikan kekayaan yang tidak wajar, berlebihan dan tidak masuk akal dibanding penghasilan yang sah.

Untuk bagian ini, diharapkan Pansel menjalin kerjasama dengan PPATK, dan para calon juga menandatangani pernyataan yang siap diperiksa kekayaan dan rekeningnya terkait dengan proses pencalonannya sebagai pimpinan KPK

b) Tidak pernah dijatuhi sanksi yang secara signifikan dinilai akan berpengaruh besar terhadap kerja-kerja pemberantasan korupsi. Misal: Polisi atau Jaksa, tidak pernah dijatuhi sanksi terkait dengan perkara yang ditanganinya, apalagi perkara kasus korupsi dan kejahatan “kerah putih” lainnya.
2.    Memiliki kredibilitas yang tinggi dimata masyarakat
3.    Sebagai pimpinan, harus mampu membuat perencanaan strategis dan kelembagaan.

  • Konsekuensi logis dari kriteria ini adalah: calon mempunyai pengalaman yang cukup dan teruji sebagai pemimpin selama masa kariernya.
  • Karena selama ini menjadi masalah jika pimpinan KPK tidak berada ditangan pemimpin yang sebenarnya, sehingga sulit dan lamban mengambil keputusan.

4.    Memprioritaskan Penindakan kasus-kasus korupsi struktural, disamping pencegahan
·      Pencegahan memang hal yang penting dilakukan, akan tetapi dalam keadaan negara sudah dililit korupsi yang jika tidak segera ditangani akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah, maka pimpinan KPK diharapkan memprioritaskan penindakan, akan tetapi tidaklah asal menangkap orang, namun meletakkan prioritas pada kasus-kasus strategis, kakap dan bersifat struktural.
5.    Imparsial dan Independen
6.    Memiliki daya tahan dari tekanan kerja dan serangan balik koruptor.
7.    Berani mengambil resiko (bukan tipe safety player). Hal ini salahsatunya diukur dari keberanian, kecepatan dan ketepatan dalam mengambil keputusan.
8.    Punya prioritas dan perencanaan/strategi menghadapi pemberantasan korupsi di sektor: Penegak hukum, Politik-Bisnis, dan Pelayanan Publik.
9.    Punya komitmen melaksanakan tugas Koordinasi dan Supervisi, termasuk berani mengambil-alih kasus korupsi yang mandek di Kepolisian dan Kejaksaan.
10. Terbebas dari konflik kepentingan (politik dan bisnis), bukan anggota parpol, dan tdk pernah bekerja di perusahaan yang pernah berkasus/terkait dg kerja KPK
11. Advokat: tidak pernah membela kasus korupsi
12. Menguasai permasalah substansi dan tekhnis pemberantasan korupsi, dan memahami dengan baik persoalan pencucian uang.
13. Memiliki konsep yang jelas untuk merealisasikan agenda pemiskinan koruptor.
 

Tolak Penjatahan “Kursi” KPK
Selain persoalan kriteria, satu hal yang juga harus ditegaskan oleh Pansel KPK adalah bahwa tidak ada satupun dari 5 posisi pimpinan KPK yang merupakan jatah untuk lembaga atau institusi tertentu. Hal ini sangat penting, karena belakangan mulai muncul suara, seolah-olah pimpinan KPK harus ada (dijatah) untuk Polri dan Kejaksaan. Mereka mendasarkan argumentasinya pada Pasal 21 ayat (4) UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

Pasal 21 ayat (4)
Pimpinan KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum.

Pasal tersebut jelas tidak mengatakan bahwa pimpinan KPK harus berasal dari Polri atau Jaksa, akan tetapi justru memperluas pihak-pihak yang bisa menjadi Penyidik dan Penuntut Umum. Dengan kata lain, jika menurut hukum konvensional penyidik adalah pejabat kepolisian atau PPNS yang dikoordinir oleh Polri, dan Penuntut Umum adalah Jaksa, maka berdasarkan Pasal 21 ayat (4) UU KPK, penyidik dan penuntut umum tidak lagi hanya Polisi dan jaksa, akan tetapi juga melekat pada jabatan 5 pimpinan KPK, siapapun dan darimanapun mereka berasal.

Argumentasi dan desakan pihak-pihak yang menganggap “kursi” KPK sebagai jatah institusi tertentu harus ditolak secara tegas. Apalagi, konsideran ke-2 UU KPK jelas mengatakan, bahwa KPK dibantuk karena institusi yang menangani pemberantasan korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam melakukan pemberantasan korupsi. Kalaupun ada calon pimpinan KPK yang berasal dari dua lembaga penegak hukum tersebut, ia tetap harus diperlakukan sama dan seimbang dengan calon yang lainnya. Dengan kata lain, tidak ada keistimewaan untuk siapapun dalam proses seleksi pimpinan KPK kali ini.

Berdasarkan hal diatas, kami meminta Panitia Seleksi Pimpinan KPK untuk:

  1. Sangat hati-hati dalam menjaring pimpinan KPK, dan tidak terpengaruh dengan tekanan pihak-pihak lain yang bersebrangan dengan pemberantasan korupsi;
  2. Mengadopsi kriteria yang diajukan KPP dan menurunkannya pada tingkatan yang lebih tekhnis dan terukur kemudian menjadikannya sebagai dasar pengambilan keputusan
  3. Bekerjasama dengan PPATK, Ditjen Pajak dan lembaga terkait lainnya untuk melakukan pemeriksaan kekayaan dan kepatuhan pembayaran pajak masing-masing calon.

Jakarta, 16 Juni 2011

Koalisi Pemantau Peradilan

Transparency International Indonesia (TII) – Indonesia Corruption Watch (ICW) – Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) – Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat – Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) – Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI – Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) – Indonesian Legal Rountable (ILR)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan