Panja DPR Bantah Intervensi Hukum; Jaksa Sudan Benar-benar Politisasi Hukum
Meskipun dikritik, Panitia Kerja DPR untuk Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah menolak penilaian sejumlah elemen masyarakat bahwa mereka sudah mengintervensi kewenangan eksekutif dan yudikatif dalam pemberantasan korupsi.
Panja DPR menilai rekomendasi mereka masih dalam batas koridor fungsi pengawasan Dewan. Alasannya, selain dasar hukum yang digunakan untuk menjerat anggota DPRD dan pejabat daerah itu salah, dalam praktek banyak juga politisasi dan komersialisasi perkara.
Yang terjadi benar-benar politisasi hukum dan komersialisasi jabatan atas nama hukum. Mereka yang dijerat itu dijadikan ATM hidup oleh jaksa. Intervensi hukum itu terjadi kalau prosesnya benar lalu DPR ikut campur, jelas Wakil Ketua Panja DPR Priyo Budi Santoso (FPG, Jawa Tengah VII), Sabtu (7/10).
Priyo mencontohkan ada yang dijadikan tersangka oleh kejaksaan saat hendak mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Citranya menjadi buruk, akhirnya tamat. Beberapa orang lain kini disiapkan Panja DPR untuk memberi testimoni karena diperas jaksa, ujarnya.
Priyo menegaskan Peraturan Pemerintah Nomor 110/2000 tentang Kedudukan dan Keuangan DPRD dan Penyusunan APBD yang banyak digunakan jaksa untuk menjerat anggota DPRD dan pejabat daerah sudah dibatalkan MA melalui putusan uji materi.
Anggota DPRD yang dijerat menurut Priyo hampir dari seluruh partai. Yang terbanyak adalah PDI Perjuangan, disusul Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan ada dari Partai Keadilan.
Ketua MPR Hidayat Nurwahid juga menilai tidak ada intervensi DPR dalam penanganan korupsi berdasarkan PP Nomor 110/2000. Upaya DPR meminta rehabilitasi politisi DRPD yang tersangkut korupsi dapat dibenarkan untuk menegakkan keadilan. DPR gencar menyosialisasikan agar pemberantasan korupsi tak menyebabkan kriminalisasi anggota DPRD. Apalagi bila itu berdasarkan PP yang sudah dicabut. Ini bukan intervensi, tapi bagian dari hak DPR mengontrol penegakan hukum, kata Hidayat di Bandung, Minggu (8/10).
Bukan urusan DPR
Sebaliknya Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti menilai permintaan Panja DPR agar Presiden merehabilitasi dan memulihkan nama baik anggota DPRD dan kepala daerah akibat penggunaan PP 110/2000, PP No 105/2000 sebagai intervensi hukum. DPR boleh melakukan pengawasan. Yang aneh mengapa rekomendasinya rehabilitasi. Seharusnya, rekomendasi DPR cukup sebatas kebijakan, bukan kasus. Kalau minta rehabilitasi sudah kelewat batas, benar-benar mengintervensi proses hukum yang sudah berjalan, katanya.
Dalam pasal 14 (1) UUD 1945, DPR bukanlah lembaga yang bisa memintakan rehabilitasi. Dalam pasal 14 disebut, Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.(MHF/sut)
Sumber: Kompas, 9 Oktober 2006