Panitia Seleksi KPK Akui Pertimbangkan Kuota
Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mengakui mempertimbangkan kuota antara unsur pemerintah dan masyarakat. Namun, Pansel membantah ada politik afirmasi atau memasukkan orang dengan latar belakang institusi tertentu. Kuota dilakukan cuma untuk proporsionalitas sehingga sinergi bisa tercipta.
Demikian diungkapkan Sekretaris Panitia Seleksi (Pansel) KPK Gunawan Hadisusilo di Jakarta, Kamis (30/8). Ia menganalogikan KPK seperti membangun rumah yang perlu tukang batu, tukang cat, dan tukang las. Komposisi harus seimbang sehingga dapat saling mengisi, ujarnya.
Menurut Gunawan, kuota dipertimbangkan karena Pasal 43 Ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, keanggotaan KPK terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Kedua, karena melihat aspirasi masyarakat tentang kasus apa yang harus ditangani KPK.
Jadi, dengan adanya kombinasi mereka bisa bekerja sama. Tidak ada politik afirmasi. Pansel hanya ingin memenuhi aspirasi masyarakat, kata Gunawan.
Soal dugaan masuknya calon dari jaksa dan polisi menjadi sebuah keharusan dalam komposisi pimpinan KPK, Gunawan menuturkan, Pasal 21 Ayat 4 UU No 30/2002 tentang KPK memang mencantumkan unsur pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum.
Memang tidak ada secara eksplisit pimpinan KPK itu harus dari jaksa dan polisi, tetapi secara implisit ada, ujar Gunawan.
Pengamat hukum tata negara, A Irman Putrasidin, mengingatkan, KPK merupakan lembaga antitesa dari kejaksaan dan kepolisian yang dinilai tidak mampu memberantas korupsi. Jadi, aneh kalau justru ada kuota bagi orang dari institusi yang dinilai gagal memberantas korupsi. Buat apa ada KPK bila orang kejaksaan dan kepolisian hanya pindah kamar, katanya.
Argumen kedua, lanjut Irman, dalam struktur ketatanegaraan, KPK adalah state auxiliary agencies. KPK dibentuk sebagai reaksi atas ketidakberdayaan kekuasaan klasik negara selama ini. (vin)
Sumber: Kompas, 31 Agustus 2007