Panitia Khusus Jangan Terganggu Isu Amplop
Para tokoh Aceh menganggap kerja Pansus RUU Aceh sudah optimal.
Sejumlah anggota dan pemimpin DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam beserta sejumlah tokoh masyarakat Aceh di Jakarta mendapatkan laporan dari Panitia Khusus Pembahas Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh di Executive Club, Hotel Hilton, Sabtu siang lalu.
Tampak hadir antara lain Ketua DPRD Aceh Sayed Fuad Zakaria, Ketua Majelis Adat Teungku H Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Dr Muslim Ibrahim, mantan Gubernur Daerah Istimewa Aceh Prof Syamsudin Mahmud, mantan Duta Besar RI di Amerika Serikat A.R. Ramly, mantan Duta Besar RI di Mesir Bachtiar Aly, serta beberapa wartawan dari Aceh. Sedangkan dari Pansus RUU Aceh antara lain tampak ketuanya, Ferry Mursyidan Baldan, serta anggotanya, Ahmad Farhan Hamid dari Fraksi Partai Amanat Nasional dan T.M. Nurlif dari Fraksi Partai Golkar.
Menurut Farhan, langkah yang ditempuh pemimpin panitia khusus merupakan hal baru. Hal ini dianggap perlu dilakukan untuk menghindari kemungkinan salah tafsir dan kecurigaan yang tidak perlu. Sebab, di Aceh sendiri masih ada aksi yang mengesankan pembahasan materi RUU Aceh tak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Melalui forum inilah kami paparkan seberapa seriusnya pansus ini bekerja, kata dia.
Pertemuan yang dihadiri sekitar 40 orang tokoh masyarakat Aceh itu, menurut Bachtiar, sempat menyinggung soal amplop. Namun, semua anggota Pansus RUU Aceh diminta tidak terganggu oleh isu tersebut. Kami memandang isu amplop itu hanya manuver politik untuk mengganggu kelancaran pembahasan rancangan ini, ujarnya.
Bachtiar, yang dihubungi melalui telepon, mengaku cukup puas dengan kinerja Pansus RUU Aceh. Kami menganggap kerja Pansus sudah optimal, ujarnya. Soal tuduhan dari beberapa kalangan bahwa Pansus bekerja tidak sesuai dengan jadwal, menurut dia, para tokoh yang hadir saat itu berpandangan bahwa Pansus sudah bekerja secara teliti dan hati-hati. Kami beranggapan, lebih baik terlambat daripada selesai cepat tapi di belakang malah muncul masalah, paparnya.
Untuk menghindari prasangka lain yang tak perlu, Bachtiar melanjutkan, sejumlah tokoh mengusulkan agar pembahasan RUU di tingkat panitia kerja berlangsung tidak sepenuhnya tertutup. Setidaknya, kata dia, perwakilan masyarakat Aceh dan anggota DPRD yang selama ini memantau rapat-rapat Pansus tetap mendapatkan akses.
Pada Kamis sore pekan lalu, Pansus merampungkan pembahasan daftar inventarisasi masalah RUU Aceh yang mencapai 1.446 buah. Materi yang masih harus didalami melalui forum rapat panitia kerja mulai pekan ini di antaranya soal judul, klausul nota kesepahaman Helsinki, dan Wali Nanggroe.
Menanggapi soal nama judul RUU yang cukup alot diperdebatkan di Pansus, Syamsudin tak secara khusus memberikan solusi. Menurut Ferry, dia menjelaskan bahwa penamaan untuk wilayah Aceh yang telah dikenal selama ini cukup beragam, seperti Daerah Istimewa Aceh, Serambi Mekah, Tanah Rencong, dan saat ini Nanggroe Aceh Darussalam. Semuanya merujuk ke Aceh, termasuk rencong, yang sebetulnya jenis senjata tajam yang bisa untuk membunuh, kata Ferry menirukan Syamsudin.
Soal berapa lama pembahasan materi RUU Aceh di tingkat panitia kerja, Ferry tak berani memastikannya. Secara pribadi dia ingin semuanya bisa tuntas pada Juni. Tapi, jika hal itu menjadi target resmi, kata dia, jika meleset sehari saja, secara psikologi politik dampaknya tidak kecil. Pokoknya, kami bekerja serius. Semoga sebelum Piala Dunia sudah selesai, he-he-he..., ujarnya. RADEN RACHMADI | SUDRAJAT
Sumber: Koran tempo, 22 Mei 2006