Pakta Integritas dan Neloe
Senin (14/3), Bank Mandiri Tbk. menandatangani nota kesepahaman dengan Transparency International-Indonesia tentang pakta integritas.
Senin (14/3), Bank Mandiri Tbk. menandatangani nota kesepahaman dengan Transparency International-Indonesia tentang pakta integritas. Pakta integritas ini adalah sistem yang dibangun dan disosialisasi oleh Transparency International di banyak negara yang bertujuan membangun suatu budaya korporasi yang transparan dan akuntabel, suatu prinsip bisnis tanpa suap, pengejawantahan dari prinsip good corporate governance.
Terus terang kami merasa bersyukur bahwa Bank Mandiri yang konon banyak dikritik karena praktek-praktek negatif itu bersedia menundukkan diri pada pakta integritas. Tak ayal lagi, ini adalah suatu lompatan besar yang membutuhkan keberanian besar pula.
Tidak sedikit kritik yang dilontarkan kepada Transparency International-Indonesia karena mau bermitra dengan Bank Mandiri. Kritik itu menganggap Bank Mandiri bukanlah mitra yang layak karena reputasinya yang tak bersih. Lebih jauh kritik itu menyalahkan Transparency International-Indonesia karena menyediakan diri untuk membantu sang Direktur Utama, Neloe, untuk dipilih kembali dalam rapat umum pemegang saham Bank Mandiri. Dengan kata lain, Neloe dianggap membersihkan citranya yang negatif selama ini.
Kami tidak menampik kritikan itu karena kami menyadari bahwa memang banyak cerita negatif yang beredar seputar praktek perbankan dalam tubuh bank itu. Tapi justru di sini tantangan menghadang, yaitu sejauh mana sebuah budaya korporasi yang transparan dan akuntabel bisa dibangun.
Apatisme yang melanda banyak pihak bukanlah sikap positif yang akan menyelesaikan persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela di negeri ini. Kalau dulu Bank Indonesia disebut sebagai sarang penyamun, tugas kita semua untuk membuat suatu sistem yang akan memakan penyamun tersebut. Dan jika Bank Mandiri diibaratkan sebagai bank yang penuh dengan KKN, tugas kita semua untuk mengenyahkan KKN tersebut.
Pola pikir inilah yang membawa kami bertemu dan berdiskusi dengan Neloe. Kami katakan kepadanya agar sistem pengadaan di Bank Mandiri diprioritaskan dalam pelaksanaan pakta integritas ini karena selama ini kebocoran yang paling banyak justru terjadi pada pengadaan (procurement). Karena itu, implementasi Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa perlu menjadi acuan yang tak bisa ditawar lagi.
Tapi Neloe mengatakan bahwa prioritas pakta integritas di Bank Mandiri ada pada penyaluran kredit karena jumlah kredit yang tersalurkan jauh lebih besar ketimbang pengadaan di Bank Mandiri. Tak tanggung-tanggung, jumlah kredit Bank Mandiri di pasar kita kurang-lebih 25 persen dari jumlah kredit yang beredar.
Jadi betapa besar dampak dari pakta integritas ini jika jadi ditegakkan karena akan banyak kelompok kepentingan yang dirugikan dalam tubuh Bank Mandiri.
Dalam kaitan ini, perlu dilihat cakupan pakta integritas tersebut. Ada tujuh komponen pakta ini, yaitu prinsip umum pakta integritas, mekanisme pengawasan dan komisi ombudsman, pemantauan independen, skema perlindungan saksi (termasuk pelapor), mekanisme pengaduan (komplain), penyelesaian konflik, serta hadiah dan hukuman.
Semua ini akan menjadi bagian dari rezim pengawasan yang akhirnya mendorong komisi ombudsman mencarikan penyelesaian. Di sini pelapor atau saksi tak perlu lagi takut akan diintimidasi, dipecat, atau dilaporkan ke polisi serta digugat karena pencemaran nama baik. Alhasil, iklim perbankan di Bank Mandiri akan berubah menjadi lebih bersih dan kompetitif.
Dalam hati saya bertanya, apakah Neloe sadar akan langkah yang diambilnya. Bukankah langkah ini akan bisa menjadi bumerang yang menyerang dirinya sendiri, apalagi dalam iklim berbangsa yang sarat dengan semangat antikorupsi yang kental?
Saya tidak sama sekali menuduh Neloe melakukan korupsi, tapi bukan mustahil akan ada laporan dan pengaduan yang mengarah kepada dirinya. Tapi, dengan nada yang sangat meyakinkan, dia mengatakan dan meminta semua karyawan Bank Mandiri bersiap menerima kemungkinan yang terburuk. Jawaban Neloe terhadap keraguan dan sinisme yang mencuat adalah jelas: perubahan mesti dilakukan.
Kerja merumuskan pakta integritas belum lagi selesai, tapi Neloe sudah diperiksa dan ditahan di Kejaksaan Agung. Statusnya juga sudah menjadi tersangka. Saya tidak tahu apa sesungguhnya kesalahan yang dilakukan Neloe, tapi berita di koran mengaitkannya dengan sejumlah kredit macet yang terjadi di beberapa perusahaan konglomerat. Singkatnya, Neloe dipersalahkan tak menjalankan prudent banking dan ditengarai terlibat dalam praktek berbau korupsi. Tentu jaksa harus membuktikan hal ini di pengadilan nantinya karena tuduhan ini sangat serius.
Dengan rasa simpati saya mencoba memahami betapa sulitnya posisi Neloe sebagai orang nomor satu di Bank Mandiri, bank pelat merah yang paling besar di Indonesia. Dengan beban turut memajukan roda perekonomian negara, tak ayal Neloe harus menyalurkan kredit ke perusahaan-perusahaan yang secara bisnis punya prospek yang menjanjikan.
Dia memang orang yang gesit dan punya antisipasi bisnis yang tajam. Selain membantu para konglomerat, dia mencoba menggaet uang tenaga kerja migran yang akan mengirimkan uangnya ke kampung halamannya.
Harapan di pundak Neloe memang besar dan ini tentu sangat wajar. Sayangnya, ia tidak hidup di negara yang menjalankan good governance. Artinya, Neloe dikelilingi pula oleh para pejabat, baik sipil maupun militer, yang punya kepentingan bisnis, yang sering pula bertindak sebagai calo dan beking berbagai pengusaha.
Tak aneh jika Neloe sering merasa ditekan dan dipaksa untuk menyalurkan kredit meski mungkin saja masih ada hal yang seharusnya diperbaiki oleh si pemohon kredit. Kekuasaannya tak selamanya bisa melawan kekuasaan dari luar. Di sinilah potensi penyalahgunaan kekuasaan bisa terjadi.
Tentu Neloe bisa saja menolak permohonan kredit yang tak memenuhi syarat, dan saya yakin banyak yang ditolaknya. Hanya, apa dia bisa menolak semuanya? Di sinilah Neloe sering mengambil langkah berani, mungkin karena dia yakin kapal Bank Mandiri yang dinakhodainya akan selamat dari terjangan badai. Pengalamannya sebagai nakhoda Bank Mandiri di bawah empat presiden negara ini membuatnya overconfident akan mampu mengatasi semua hambatan.
Tapi waktu tak lagi berpihak pada Neloe. Kampanye antikorupsi di masyarakat menerpa Bank Mandiri dan Neloe pun ikut terseret ke Gedung Bundar Kejaksaan Agung.
Kalau Neloe sekarang mau berdarmabakti membangun bisnis perbankan yang dituntun oleh pakta integritas meski perumusannya belum selesai dilakukan, mungkin ia bisa bercerita tentang tekanan-tekanan yang dihadapinya hingga berbagai kredit harus disalurkan. Para pejabat yang main kuasa selama ini akan gemetaran kalau nama mereka diungkit. Ceritalah, Bung Neloe.
Tapi harapan saya ini sia-sia. Neloe tak akan melakukan hal itu. Sebagai bankir kawakan, Neloe adalah tipe old soldier yang akan memikul semua tanggung jawab.
Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparency International-Indonesia
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 14 Juni 2005