Paket Kebijakan Antikorupsi Jokowi
Tahun 2016 menunjukkan mulai adanya perhatian khusus dari Presiden Joko Widodo terhadap upaya pemberantasan korupsi. Tercatat ada dua gebrakan penting yang dilakukan Presiden. Pertama, kebijakan anti-pungutan liar melalui pembentukan tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Kedua, kebijakan pencegahan korupsi dalam birokrasi yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016. Dua kebijakan tersebut cukup mampu menambah kekuatan negara melawan kejahatan korupsi.
Tim Saber Pungli hingga saat ini telah melakukan 41 operasi tangkap tangan bukan hanya dalam kasus kecil, tapi juga yang berskala besar. Sudah puluhan aparat pemerintah yang diproses hukum. Jumlah pengaduan masyarakat yang diterima tim ini sangat tinggi, mencapai 17.600. Yang paling banyak adalah perkara pelayanan publik berupa pengurusan administrasi perizinan, pembuatan surat dan sertifikat, serta pengurusan paspor. Memang, sejak awal fokus tim ini adalah korupsi dalam pelayanan publik.
Tim ini juga berhasil menangkap pelaku mafia hukum, yakni seorang perwira menengah polisi yang diduga menerima suap terkait dengan pengusutan sebuah perkara di kepolisian dan seorang jaksa di Jawa Timur yang diduga menerima suap atas perkara yang ditanganinya. Dalam kasus ini, apresiasi patut diberikan kepada KPK, yang membantu pengungkapan permainan mafia hukum tersebut.
Catatan kinerja positif tim Saber Pungli menunjukkan bahwa tim ini cukup berhasil memperkuat efektivitas penegakan hukum, khususnya terhadap tipe korupsi administratif yang biasanya terjadi di sektor pelayanan publik. Tipe korupsi ini menimbulkan kerugian yang mungkin secara nominal kecil, tapi tersebar di banyak unit pemerintahan, dari pemerintah pusat sampai unit terkecil di kelurahan atau pemerintah desa. Jika pungli tidak dibasmi, pemerintah menjadi tidak efektif dan dinilai korup, sementara masyarakat akan dirugikan.
Sementara tim Saber Pungli lebih mengarah ke upaya penegakan hukum represif, Inpres Pencegahan Korupsi lebih merupakan upaya preventif untuk menutup peluang terjadinya korupsi. Kebijakan tersebut merupakan instruksi yang ditujukan ke menteri, Jaksa Agung, Kepala Polri, dan kepala lembaga pemerintah non-kementerian serta kepala daerah untuk melaksanakan aksi pemberantasan dan pencegahan korupsi. Inpres ini lebih mengarah ke peningkatan transparansi dan akuntabilitas serta pembentukan sistem atau program pencegahan korupsi di lembaga pemerintah.
Kebijakan ini sebenarnya bukanlah hal baru. Inpres semacam ini dipopulerkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004. Seakan-akan menjadi rutinitas birokrasi, setiap tahun inpres dikeluarkan dengan substansi hampir serupa. Tantangannya adalah sejauh mana inpres ini dilaksanakan oleh lembaga pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah perlu mengevaluasi program-program antikorupsi tersebut. Ada kesan kuat bahwa program yang dirumuskan oleh lembaga pemerintah lebih berbau formalitas untuk memenuhi kewajiban laporan administratif. Tak jarang juga ditemukan kebingungan untuk merumuskan apa yang dimaksudkan dengan program "antikorupsi", terutama di tingkat pemerintah daerah.
Kurang efektifnya inpres ini sebenarnya tergambar dari masih banyaknya pungutan liar dalam birokrasi. Ini menunjukkan belum adanya upaya serius untuk menerapkan prinsip good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga korupsi birokrasi dalam bentuk yang sama selalu terulang.
Hadirnya tim Saber Pungli dan keluarnya Inpres Pencegahan Korupsi semestinya menjadi paket kebijakan antikorupsi yang saling melengkapi. Kedua kebijakan itu memadukan pendekatan represif dan preventif untuk memberantas korupsi dalam birokrasi. Tapi belum tampak adanya keterkaitan di antara keduanya. Masing-masing kebijakan masih berjalan sendiri. Padahal tata kelola pemerintahan yang buruk inilah pangkal masalah pungli. Dan, tanpa penegakan hukum yang tegas, tidak akan muncul efek jera.
Inilah pekerjaan rumah pemerintah pada 2017: membuat paket kebijakan antikorupsi yang terintegrasi dan efektif sebagai bagian dari kebijakan pembaruan di sektor hukum. Dalam jangka pendek, pemerintah harus membuat jembatan yang menghubungkan penegakan hukum represif dengan perbaikan tata kelola pemerintahan. Setidaknya, berbagai persoalan yang ditemukan oleh tim Saber Pungli dapat menjadi pijakan awal untuk memetakan masalah dan menentukan langkah pembenahan.
Untuk itu, harus ada otoritas tunggal yang diberi kewenangan koordinasi. Saat ini ada dua lembaga yang mempunyai peran utama: tim Saber Pungli, yang terdiri atas berbagai lembaga; dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, yang mengkoordinasi pelaksanaan Inpres Pencegahan Korupsi. Otoritas yang mengkoordinasi paket kebijakan ini boleh jadi diberikan ke Kantor Staf Presiden. Sebagai unit kerja Presiden, sudah semestinya ia memastikan setiap kebijakan Presiden dilaksanakan secara tepat.
Kebijakan antikorupsi merupakan salah satu poin penting dalam Nawacita Jokowi-Kalla. Karena itu, kebijakan tersebut seharusnya dipimpin langsung oleh Presiden agar dilaksanakan secara serius dan konsisten.
OCE MADRIL, Dosen Fakultas Hukum UGM dan Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi UGM
------------------
Artikel ini dipublikasikan di Harian Tempo, Selasa, 3 Januari 2017